The Dark Lion

30 1 3
                                    

Sebenarnya aku sangat heran kepadanya. Jika kebanyakan gadis akan senang bila aku ajak pulang bersama tapi, dia justru menolak.

Untuk itu ketika aku melihatnya berjalan kembali, aku terus memperhatikannya sampai kemudian di perempatan yang agak jauh di sana, dia mendapatkan sebuah taksi kosong.

Perlahan kutarik tuas kemudi motorku. Kuikuti dia dengan jarak yang menurutku pas di belakang taksinya agar tidak menimbulkan kecurigaan.

Taksi itu berhenti di sebuah perumahan elit. Di depan sebuah rumah besar dan mewah dengan pilar-pilar tingginya yang menjulang. Halaman depannya begitu asri. Di tumbuhi banyak pohon dan rumput teki. Begitu rapi dan terlihat nyaman.

Enji kemudian turun dan taksi pun melaju kembali.

Kulihat ada sepasang suami istri yang begitu sangat khawatir ketika melihat Enji pulang. Sang ibu terus memeluk Enji namun segera di tepis oleh Enji.

Hei! Apa-apaan dia.

Dering ponsel berbunyi dalam sakuku. Aku pun mengambilnya dan mengangkatnya.

"Hallo."

"Aku punya tugas untukmu." Suara bass di seberang sana yang sudah amat kukenali.

"Apa?"

"Keluarga Wijaya. Semuanya tanpa terkecuali." Ah tugas ini lagi. Kalau boleh jujur aku sebenarnya tidak terlalu menyukainya. Menjadi pembunuh bayaran yang profesional.

Profesi ini sudah kugeluti sejak aku duduk di bangku kelas satu SMA.

Entah kenapa sekarang sepertinya sudah menjadi hobi yang sedikit menyenangkan untukku. Sensasi yang di timbulkan begitu terasa. Teriakan-teriakan mereka begitu merdu di telingaku. Aku selalu suka ketika mereka memohon-mohon agar di kasihani.

Selama aku bekerja menjadi pembunuh profesional semua identitasku hilang. Kosong. Tak ada yang tahu siapa aku sebenarnya. Yang mereka tahu hanyalah The Dark Lion.

Ucapkan namaku di depan para pemilik perusahaan. Maka mereka akan langsung ketakutan.

"Berapa penawaran yang akan kau berikan." Kulihat Enji beserta kedua orangtuanya sudah masuk ke dalam rumah.

"100jt. Jika kau mampu membunuh beserta anak dan isterinya." Penawaran yang menarik. Kutebak ini pasti ada urusannya dengan perusahaan. Kebanyakan pemimpin perusahaan selalu mengandalkan jasaku untuk menghancurkan lawan-lawannya.

"Oke." Panggilan berakhir dan aku pun memasukkan teleponku ke saku kembali.

Aku menjalankan motorku memutar dan kembali menuju tempat tinggalku berada.

Setelah sampai di apartemen, Aku segera mengganti pakaian dan kemudian membuka komputer yang ada di dalam kamarku.

Mencari semua data mengenai Keluarga Wijaya.

Bagiku tidaklah sulit mencari semua data mengenai mereka. Aku tidak butuh bantuan seseorang untuk mencarinya. Karena itu semua begitu mudah meski itu data rahasia pun.

Saat aku telah menemukan semua data mengenai target pekerjaanku malam ini. Aku tersenyum. Kurasa malam ini akan menjadi malam panjang untukku.

Aku melemaskan tubuhku dengan bersandar di sofa. mencoba memejamkan mata sebentar untuk nanti malam.

***

Malam begitu larut dan sunyi. Angin dingin semilir menerpa apapun yang dilewatinya. Aku terus berjalan perlahan dengan mataku yang terus mengawasi sekitar.

Lampu-lampu perumahan ini begitu temaram. Dengan jarak yang jauh antara tiang satu dengan tiang lainnya.

Aku telah sampai di sebuah rumah. Dengan pagar menjulang tinggi berwarna keemasan.

Kemudian, dengan cekatan aku pun memanjat pagarnya tanpa kesusahan. Pistol dan belati begitu rapi kuletakkan di dalam saku.

Rumah besar di depanku begitu sunyi. Dengan semua lampu yang padam.

Aku perlahan memanjat pohon yang langsung tertuju pada lantai dua rumah ini. Tidak susah untuk memanjatnya karena aku sudah terbiasa akan aktivitas ini.

Saat sampai di balkon lantai dua. Aku berjalan tanpa menimbulkan suara menuju pintu yang ternyata tidak terkunci sama sekali.

Aku melangkahkan kakiku masuk dan kemudian mencoba mencari di mana letak kamar mereka.

Saat aku menemukannya. Aku pun masuk dan melihat tepat di sana targetku terbaring dengan nyenyaknya.

Aku melangkah perlahan dan berdiri di sampingnya seperti bayangan karena memang pakaian dan topeng singa yang ku gunakan berwarna hitam serta cahaya kamar ini yang di matikan.

Gadis ini begitu cantik dan mungil. Sayang untuk di bunuh. Tapi, tuntutan pekerjaanlah akhirnya aku mengenyahkan rasa belas kasihanku padanya.

Aku mulai menusuk perutnya. Dia terbangun. Kaget. Dia menatapku dengan mata bulatnya yang kemudian di sertai dengan air mata.

Aku mulai menggerakkan belatiku di sekitar perutnya hingga terpampanglah usus bagian dalamnya. Darah segera mencuar bahkan mengenai pakaianku.

Kutarik ususnya yang berwarna merah muda itu dengan perlahan. Kulihat dia tampak merintih kesakitan. Namun tak dapat mengeluarkan suara karena memang mulutnya sudah kulakban sejak tadi.

Kemudian, kuacungkan belatiku tepat mengenai jantungnya berada. Dia terbelalak kaget dan menatapku. Kemudian perlahan memejamkan mata.

Aku tak tahan melihatnya terus menderita. Maka, kucepatkan proses kematiannya itu.

Kuamati lantai marmer yang nerwarna putih itu kini bersimbah dengan darah. Dengan untaian usus yang menggerombol.

Aku pun keluar dari dalam kamar ini dan menuju kamar di sebelahnya. Dimana kamar target utamaku berada. Tapi, sebelum itu aku telah menghapuskan semua sidik jariku. Entah itu di kamar itu ataupun di mayat anak gadis itu.

Aku perlahan masuk dan kemudian berdiri tepat di seberang target utamaku.

Kuarahkan tanganku, dan kucekik leher isterinya hingga matanya melotot dan napasnya memburu.

Kulihat si Tuan Wijaya terbangun dan kaget melihat isterinya bertarung nyawa di tanganku.

"Kau?! Lepaskan, isteriku!" Aku pun melepaskan cengkramanku di leher isterinya. Dan mereka pun berdekatan dan berpelukan.

"Si... siapa, kau?!" Tuan Wijaya berseru dengan wajah memerah ketakutan.

"Siapa, kau!!" Tuan Wijaya kalap sudah. Raut ketakutan dan amarah tampak ketara.

Aku pun lantas dengan segera menarik rambut isterinya hingga sang isteri terjatuh dari ranjang. Aku terus menyeret tubuh wanita paruh baya itu hingga ke tengah ruangan.

"Lepaskan tanganmu dari isteriku!!"

Aku menyeringai. Perlahan kutebaskan belatiku ke lehernya dan dalam sekejab kepala itu terlepas dari tubuhnya dengan keadaan mata melotot.

"TIDAK!!!" Ah menyenangkan sekali mendengar jeritannya.

Kuambil kepala itu dan kulemparkan menuju Tuan Wijaya duduk. Dia tampak kaget dan menjerit.

Peluh berjatuhan dari pelipis dan keningnya. Membasahi seluruh wajahnya bahkan sampai ke leher. Aku menyeringai.

Perlahan mendekat dan mendekat hingga sampai tepat di sebelahnya. Dia meringsut ke sudut pojok ranjang. Memegang erat selimut.

Mata itu kemudian terbelalak ketika dengan cepat belatiku menghunusnya.

Kraaaksss...
Suara darah muncrat dan suara tulang tengkorak hancur menjadi dua menghamburkan otak berlendir dicampur kentalnya darah.

MARCO
Semarang,
Senin, 17 April 2017

Stay Away!!Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang