7,4M

1.7K 72 0
                                    

Tidak bisa dipungkiri bahwa Senja kali ini masih tenggelam dalam suasana sedunya, tiba-tiba saja seseorang itu hadir kembali. Seseorang yang dulunya pernah membuat Senja harus berlutut didepannya dan terasa hina. Meskipun untuk menyakitinya saat ini tidak mungkin mengingat ada Gernald, Jingga atau ... Mars. Tetap saja bayangannya itu tak pernah ikut pudar.

Butuh waktu kesekian lama untuk menghapusnya meski harus berbekas, sekalinya ada mungkin mustahil jika tak bisa menghilang dari pikirannya. Senja takut, orang itu akan membawa hatinya pulang. Senja takut, orang itu akan membuat hatinya jatuh. Senja takut, orang itu akan membuat tubuhnya kembali bertekuk lutut.

Tiba-tiba saja gerimis.

Tidak ada guntur yang menemani, tidak ada semburan petir yang terdengar, dan Senja yakin langit diluar tak mau menunjukkan sekelebat hitamnya. Semuanya tampak cerah, mungkin gerimis ini pertanda, bahwa semuanya dapat berjalan tak sesuai arus yang diminta.

Saat ini, lamunan Senja buyar membayangkan bagaimana pertemuan pertamanya dengan sosok Galaksi. Ralat, dia adalah Mars.

"Jingga mau ke Bandung, menyusul Mars."

Ah, iya.

Senja baru ingat jika Mars belum pulang dari Bandung, sudah satu minggu dan itu terasa lama tanpa kehadirannya. Apakah ini semua karna dirinya? Perasaannya yang terlampau jauh untuk dapat dimiliki sepenuh hati, dan hanya mampu dimiliki Mars setengah hati saja.

Satu kata untuk Senja sekarang. Miris.

Suara Jingga dari dalam ruangan Gernald membuat Senja berhenti melangkahkan kakinya bermaksud menuju dapur. Tiba-tiba saja kakinya menginginkan mendengarkan pernyataan dari Gernald sekarang, Senja juga tidak tahu mengapa bisa mendadak seperti ini.

"Ini yang papa takutkan ketika kamu sudah beranjak remaja dan mengenal cinta, Jingga." Sergah Gernald sedikit menghela nafasnya pelan, ada rasa putus asa didalamnya. "Kamu nggak pernah mau berpikir dengan logika, selalu mengutamakan atas nama cinta."

"Kalau papa memang takut Jingga jatuh cinta, kenapa papa membiarkan Senja bisa merasakannya?" Tanya Jingga terdengar seolah meminta penjelasan.

Padahal, semuanya sudah jelas. Gernald khawatir padanya, Gernald cemas kepadanya karna sikap Jingga yang terkadang terkesan keras kepala terhadap sesuatu yang harus jadi miliknya. Tipikal introvert, dan itu yang rupanya membedakannya dengan Senja yang begitu penurut dan kalem.

"Senja nggak pernah berpikir pendek kayak kamu, Senja bisa berpikir dewasa tanpa papa suruh!" Ujar Gernald sedikit meninggikan nada bicaranya. "Intinya, papa lebih percaya sama Senja daripada kamu!"

Dari sudut ruangan itu, Senja bisa mendengar decakan sebal dari Jingga. Rasanya perih, melihat keluarga yang awalnya damai dan tenang tiba-tiba saja semakin runyam.

"Terserah, Jingga nggak harus minta ijin dari Papa."

Hingga tak lama kemudian, suara bariton Gernald terdengar lebih meninggi dari sebelumnya. "Jingga!"

Terlambat.

Suara langkah kaki mulai semakin mendekat ke arah pintu membuat Senja yang awalnya berada didekatnya langsung segera beranjak dari sana hingga kehilangan keseimbangan tubuhnya dan jatuh karna sebuah kursi meja makan didepannya.

Di Ruang Rindu Kita BertemuTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang