Kamu, adalah tempat di mana hanya mentari yang bersinar yang mampu mengintip seluruh hati itu. Kamu, seperti wangi cahaya matahari pagi yang memaksa memberi kehangatan ketika tahu ada aku yang sedang merasa dingin sendirian. Dan jika, aku harus memilih kamu atau hangat mentari itu, aku akan dengan pasti memilihmu. Karena dalam gelap, yang kubutuhkan adalah cahaya. Karena tanpa kamu, duniaku akan terasa lebih redup. Seperti lampu-lampu tembakan yang kamu bilang banyak terjual di pinggir jalan. Lampu redup yang diciptakan oleh Dokter Lampu dalam satu jam.
Ini aku dan selalu aku tokoh utamanya. Pasangan dari tokoh utama ini tentunya merupakan orang kedua penting di dalam cerita. Itu kamu, dan masih kamu. Kisah ini adalah kisah yang kesekian kalinya kutulis dari bagian-bagian di hidupku. Kamu, mungkin salah satu bagian penting dari itu. Bagiku, kamu tahu bagaimana cara berbicara yang baik dan menggambarkan rasa nyaman dengan orang asing. Itu adalah bagian penting yang akan kamu gunakan ketika kamu tersesat dan sendiri tanpa ada alat bantu selain bertanya dengan penduduk sekitar. Bagaimana jika, kita berdua tersesat dan kamu hanya diam sembari harap-harap cemas akan bantuan datang. Bukan, maksudku, perihal ini, kamu akan mudah bertemu dengan banyak orang baru di luar sana yang akan membantu membangun hubungan yang meraih impianmu di kemudian hari. Aku suka juga mengamatimu yang terlihat serius memandang layar komputer berjam-jam bahkan ketika waktu kerja di kantor telah usai. Begini, ini memang dunia serba digital yang menuntut kita memanfaatkannya dengan baik agar tak salah jalan atau ketinggalan zaman. Tapi, mengingat waktumu yang hampir seharian kamu gunakan menatap layar itu, aku sedikit takut kamu akan memakai kacamata ketika anak kedua kita masuk sekolah dasar.
Tentang bagaimana cerita ini berjalan, baiknya kuperkenalkan kamu pada teman-teman. Dia adalah lelaki bertubuh gempal, berkulit coklat sedang, memiliki rambut ikal (yang jika disisakan jambulnya akan menjadi keriting), memiliki jambang dan kumis tipis di area wajahnya. Dia, pemerhati gambar sampul pada susu kotak yang beberapa kali kuberikan padanya selalu berkomentar, "Gak ada yang gambarnya cowok apa?"
Semoga ini bukan tentang pelajaran yang aku tidak lulus-lulus melewati ujjiannya. Semoga, ini perasaan yang tidak sekedarnya hadir. Tapi, perasaanku sungguh aku tak pernah andil untuk mengontrolnya selama ini. Kamu tahu, ada yang berperan jauh lebih besar dari sekedar perasaan-perasaan penuh prasangka ini. Kamu tahu, hanya Tuhan sang maha pembolak-balik hati. Dan semoga, ini bukan tulisan terakhirku yang menceritakan tentang betapa lugunya kamu saat ini. Karena aku selalu ingin ada berbagai macam rasa yang dapat kita bagi secara nyata, kurasakan secara nyata, dan akan menjadi bahan tulisan untuk kusampaikan perlahan secara maya kepada para pembaca.
Kasih kisah ini dimulai saat dering alarm kebakaran di gedung sebelah kantorku dan dia berbunyi begitu keras. Membangunkannya yang sedang tertidur lelap di sofa, siang hari, dan memecah suasana ruangan yang tadinya begitu sunyi dengan alat pendengar yang digunakan masing-masing pekerja. Kamu, yang dengan gemasnya menggunakan jaket hoodie berwarna abu muda, lantas melompat dan lari ke arah mejaku yang tepat di samping sofa. "Eh, itu apaan?" tanyamu, dengan wajah terhias mata membelalak, baru saja terjaga dari dengkurmu yang sedikit mengganggu.
"Itu simulasi di gedung sebelah. Udah tidur aja lagi."
Ini bukan kali pertama aku membubuhkan kalimat sok perhatian kepadamu. Tapi, mau dikata apa, ini kan hanya sebuah awal cerita. Dan kini aku dan kamu, menjadi sedekat itu. Sedekat kotak susu yang beberapa kali kuberikan dan kamu mengunggahnya di media sosial sembari menyantumkan namaku di dalamnya. Atau sedekat, kamu buatkan aku teh manis hangat ketika aku berpuasa di hari-hari kerja, dan mungkin sedekat kamu rela memberikan nasi padang yang dibeli untukmu tetapi merasa tidak tega melihatku kelaparan setelah waktunya berbuka. Dan menjadi sedekat percakapan di telepon, "Kamu lagi pakai baju warna apa?"
Hal-hal tidak rasional rasanya mulai menghampiri pikiranku akhir-akhir ini sejak mengenalmu lebih dekat. Sejak adanya percakapan yang begitu dalam, seperti mengisi daya baterai di antara kita yang mulai aus, yang lama kelamaan akan terbuang. Tahu bagaimana rindu ini berteriak ketika kita tak betemu sepanjang minggu lalu karena tuntutan kerja? Dia berseru, degup mulai mengeras bila mengingat tawamu yang sama sekali tidak terdengar renyah. Degup mulai kencang ketika suaramu di speaker telepon genggamku terdengar lebih dewasa daripada kelihatannya. "Ya udah, aku mau kerja dulu ini. Jangan telat makannya."
Lantas aku tersenyum. Mulai gila lagi, rupanya.
KAMU SEDANG MEMBACA
sebuah tentang.
Teen FictionBerbagai tentang rasa yang tercipta pada satu manusia. Cerita-cerita yang terbentuk pada sebuah perjalanan menuju tentang yang sebenarnya. Dibangun dengan sisa-sisa senyum atau patah hati yang berniat membubuhi setiap akhir kisah. Semoga maya ini me...