Seperti Tentang Kamu (Part II)

105 1 0
                                    

Dia yang saat ini mendekat kepadaku adalah, dia yang tak pernah seberisik ini sebelumnya. Aku senang mengaguminya sebagai seseorang yang diam dan memiliki dunia di luar sana. Aku menyukai orang yang telah menemukan dirinya, yang mengerti betapa berharganya setiap kesempatan yang ada. Tapi, saat ini aku ingin ada hal yang perlu lebih dimengerti dari sekedar menemukan diri sendiri.

"Boleh aku sekedar berdiam diri ketika berada di dekatmu?"

Kamu tanya kenapa. Aku sebegitu inginnya menjadi diriku yang utuh. Dan diam ini sebentar-sebentar dapat berubah menjadi ragu. Dan diam ini lama kelamaan akan meruntuhkan pertahananku. Dan diam ini akan hanyut dalam pelukmu, tanpa tapi, tanpa mengapa. Dan diam ini akan menutup ketakutanku. Takut yang datang bersamaan dengan bahagia yang kudapatkan ketika bersamamu. Bahagia dan sengsara itu, adalah mereka yang bertolak belakang, selalu memaksa datang dan hinggap beriringan.

"Rasanya komplit!" sorakmu bahagia.

Dengan tatapan sinis aku memandang ke arahmu dan oh, ternyata mata kita bertemu. Membicarakan rindu yang bertamu dan tak dibukakan pintu. Pikirku, ini adalah langkah yang kumulai untuk menunjukkan kebosananku kepadamu.

Jemari itu tak henti-hentinya menari di atas keyboard laptop kesayangan yang kau bilang menemani sejak kau mengerjakan skripsh*t yang akhirnya selesai tahun lalu. Yang kau bilang setelahnya, ketika itu adalah masa-masa terindah bersama wanita yang kini menjadi istri orang lain. Aku yang saat ini menunggu dan terkantuk di hadapanmu selama kurang lebih dua jam, dengan berkegiatan yang hanya menyeruput kopi susu yang ternyata ketika mataku terbuka, kopi panas itu telah berubah menjadi dingin, tersisa ampas. Dan aku sadar, kamu hilang dari hadapanku.

Tangisan anak kecil memecah kedai kopi sore itu, kutengok ke belakang, ternyata kamu yang sedang menggendongnya. Imajinasiku selalu terasa begitu liar, kubayangkan jika saja nanti berkeluarga, mungkin aku akan lebih banyak mengoceh dibanding mendiamkan si bayi. Hidup di tengah perpecahan, memang seperti dipaksa berdiri sendiri di atas puing-puing reruntuhan sisa pertarungan. Tapi aku ingin yang tanpa tapi, kamu mengerti dan menemaniku melewati sisa-sisa reruntuhan itu. Aku ingin tanpa kuungkapkan, kamu paham menghadapi sikap dinginku yang kadang kelewatan.

Dan hari-hari ini, senja yang kulewati berlalu dengan penutup senyummu. Senyum yang anak kecil tampilkan ketika ia menerima cokelat, permen, atau makanan pemanis lainnya. Entah darimana kamu petik senyum sejenis itu. Haruskah aku mengambilnya sebagian untuk kusimpan di dalam kotak penuh kenangan yang kutaruh di pojokan? Tapi aku ingin yakin, cerita ini tak mudah dibuang begitu saja dalam kenangan, tak mudah goyah begitu saja jika bimbang menyerang.

"Cokelatnya kemanisan nih, apalagi makannya di deket kamu."

"Bisa agak logis dikit nggak?" tanyaku ketus. Kadang muak mendengar ocehanmu yang terus-menerus jauh dari kata rasional.

"Ini logis. Beneran, makanya aku bawa air putih."

Dan kita tertawa renyah, tanpa sadar orang-orang sedang mengamati keberisikan berdua. Berisik yang rasa milik berdua, yang lain ngontrak, jadi diam saja.

sebuah tentang.Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang