s a t u

125 9 0
                                    

Dulu.

Dulu aku kecil.

Lah. Oke lanjut.

Dulu, dimana aku sangat lugu dan mudah dibodohi (aku pernah melewati masa itu juga, tahu!), aku tinggal di Padang. Lebih tepatnya, oper-operan Siteba-Pauh. Kadang aku di Siteba (kepanjangannya Siaga Terhadap Banjir, omong-omong) di rumah Nenek--mamanya Mama--. Kadang aku di Pauh (tau kan? Yang dekat PLTG itu!) di rumah Amak--kakaknya Papa--. Tapi kukira aku lebih ingat (dan hanya akan menceritakan) hari-hariku di Pauh. Karena, yah, kau baru mengingat jangka-panjang di umur empat tahun.

Aku ingat sekali sawah belakang rumah dan parit yang membatasinya. Paritnya masih tidak bisa kusebrangi sampai kini karena aku takut. Kotor sekali soalnya. Atau masakan Amak yang top markotop, atau Kak Nana musuh terbesarku (kami sudah berbaikan karena aku, 'kan, sudah besar!), atau Abak yang jenggotnya sangat mengganggu, atau Cik Ani yang luarbiasa penggeli, atau Bang Ipal yang malang, atau Bang Nanai yang kurus kerempeng, atau kebiasaanku mandi di bak. Dan maksudku dengan mandi di bak adalah berenang di dalam bak air dari keramik selama berjam-jam. Jangan menggelengkan kepala.

Tahun ternakalku sepanjang aku hidup. Indahnya.

Aku akan mengganggu Amak ketika memasak, hal yang rutin kulakukan sehingga Amak tampaknya capek menegurku. Aku akan bertengkar dengan Kak Nana, yang selalu berakhir aku kalah karena ia berkata tidak akan memberiku coklat sepulang dari kampus. Aku akan mengejek Bang Ipal sampai dia mau bermain denganku. Aku akan menggelitik Cik Ani sampai dia marah. Aku akan mengguncang-guncang Abak sampai dia mau membelikanku jajanan. Aku akan menodong Bang Nanai sepulang sekolah, siapa tahu dia beli permen. Aku akan bermain bola kaki sendirian, menendangnya ke pagar rumah Cik Ani sampai ada yang bolong. Lalu aku akan kabur ke rumah Amak dan menonton televisi. Aku akan duduk-duduk di teras belakang rumah dekat dengan parit sambil membawa kayu panjang yang menjadi tongkat Pramuka untuk menempelkan telingaku ke ujungnya, mendengarkan suara air di parit. Aku lalu mencoba untuk memukul apapun yang ada di dalam parit. Setelah bosan, aku akan menarik Amak ke atas (sebutan untuk rumah Aci, kakak Amak), lalu bermain dengan Juan sepupuku sambil menyuruh Amak pulang dengan berteriak kata-kata andalanku:

"Jemput jam lima!"

Aku saat itu juga gak tau jam lima itu berapa lama dan ke arah mana jarum jamnya.

Aku bermain bersama Juan dan Kaka, adiknya. Karena ada ayunan di rumahnya, kami main pesawat-pesawatan. Bukan yang pakai kertas. Kami main pesawat-pesawatan sampai Kaka menangis karena bosan. Akhirnya kami masuk ke dalam rumah Juan, melihat ikan di akuarium. Namun ikan membosankan dan mereka tidak bisa berbicara, jadi kami main masak-masakan. Aku lupa kami memasak (masak-an) apa, tapi aku ingat aku menumbuk banyak sekali bunga. Tapi permainan terhenti karena Kaka mengeluh batu miliknya terlalu kecil. Kami lalu kembali ke rumah Juan. Karena hari sudah cukup sore, kami mandi bersama. Sesuatu yang gak akan pernah kulakukan lagi. Cukup di masa kecil aja, makasih. Amak biasanya mengantarku ke atas sambil membawakan pakaian (untuk kupakai). Sambil menunggu Amak menjemputku, aku melihat ikan lagi.

Lil Bit of FlashbackTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang