t i g a

42 6 1
                                    

Keyla adalah tetangga sebelah. Anak kecil 3 tahun yang berisik, membuatku muak tiap hari. Ada kalanya kami berbaikan, tetapi di lain hari aku bahkan ngga sudi meminjamkan mainan. (Kedengaran seperti kakak-adik sungguhan menurutku). Kami masih ada hubungan kerabat, tapi jauh. Yang dekat adalah jarak rumah. Serius, dinding rumahnya–yang juga merangkap menjadi kedai sembako–dengan rumah Cik Ani hanya berjarak 30 cm.

Mereka tak mengenal apa itu personal space.

Kembali dengan Keyla. Biar aku mengeluh tentang segala hal yang dia lakukan.

Pertama, dia iri denganku. Atau kalau kau mau lebih spesifik, segala mainan dan bonekaku. Sebagai anak manja nomor satu, aku tentu dapat boneka yang pastinya cantik benar (aku menyombong lagi, tapi tidak bohong).
Dasar anak ingusan, berusaha merebut benda lucu itu dari tanganku. (Suatu hari, ini berujung pada pertengkaran paling savage dalam hidupku, tapi akan kuceritakan nanti). Nyaris setiap hari ia meminjam boneka. Bodohnya, aku buta akan ke-irian dia itu.

Kedua, dia bicara dengan lagak bos besar. Sumpah, kau jika bertemu anak kecil seperti dia pasti ingin ngajak berantem lah. Kalau berbicara, lehernya terdongak, dagunya maju, bibirnya mengerucut, matanya nyalang (tidak, aku berkata benar), dan nadanya naik terus di setiap ujung kalimat. Kira-kira seperti ini:

"Yah, tengoklah Caca. Dia gak mau minjamin bonEKAA!!"

Lengkap dengan segala ekspresi wajahnya.

Tapi di depan orang lain, dia berlaga imut-imut setan. Mendayu-dayu menjijikkan.

Ketiga, yang paling fatal (dan merupakan keuntungan besar bagiku, walau tetap saja menyebalkan), dia cadel.

Ha, anak 3 tahun. Berharap apa kau?

Nah, kecadelan dia berhubungan dengan pertengkaran yang aku sebutkan tadi.

Di suatu siang, aku bermain boneka. Boneka kelinci putih lucu yang setiap minum susu selalu aku elus bagian perutnya. Dari boneka yang lain, yang satu itu ku anak-emaskan. (Itu berarti aku akan melawan siapa saja yang berusaha mengambilnya).

Benar-benar sesuai sangkaku, setan kecil Keyla masuk dalam penglihatan. Melihat boneka gemas subhanallah itu, ia ingin meminjam.

"Ndak," kataku.

Kemudian dia mulai menjerit-jerit dan merebut boneka itu.

Sungguh tindakan salah, karena sudahlah kalah besar, dia juga kalah pintar. (Aku bisa sangat kasar jika marah). Jadi dengan kekuatan bulan, kurebut kembali boneka itu. Tangisnya makin kencang.

Jadi kulempar boneka itu ke mukanya.

Dia memang dasarnya bodoh, berhenti menangis, memegang boneka erat, lalu pergi dengan sesenggukan. Sepanjang jalan, dia mengejekku terus.

Setanku bangkit.

"Rrrrrrr," sahutku.

"Elllll," katanya.

Aku tertawa puas, sedangkan dia langsung ambil langkah seribu. (Masih sambil menangis).

Puas?

Sekarang dia sudah menjadi anak SD. Masih menggelikan, tetapi sudah bisa berpikir benar (kuharap).

*****

Kurang lebih 1 tahun aku di Pauh. Sesuai deskripsi cerita, aku mengalami masa paling menyenangkan di sini. Tanpa gadget (kecuali PS 2).

Setelah Pauh, aku kembali lagi ke Siteba. Hidup normal bersama Nenek.

Lalu, yah, kau tahu, gempa 2009 terjadi. Aku dan abang langsung dipulangkan ke papa dan mama.

Dan mulai sekolah.

Dan berakhirlah.

Terimakasih sudah membaca sebagian kecil pengalamanku dulu. Bittersweet untuk mengakhiri, tapi mau bagaimana lagi.

Cerita ini kudedikasikan untuk mereka yang mengasuhku dulu. Shaping me into what I am now. Thank you. Banyak karakter tidak kuceritakan, banyak kejadian tidak kutuliskan. Simply because I can't.

Cerita ini juga untuk diriku, agar tidak lupa diri. Hasil renungan setelah aku sadar:

Ketika aku terlalu sibuk tumbuh, aku lupa bahwa mereka menua.

Sekali lagi, terima kasih. Aku cinta kalian.

Sampai jumpa.

Lil Bit of FlashbackTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang