MONOLOG SUBUH

85 0 0
                                    

"Terimakasih, Bu Sonya ! Maturnuwun, Kang Dal !"

Teriakanku lebur dalam bantingan pintu mobil dan deras hujan yang makin kurang ajar. Sekejap saja mobil kantor yang kutumpangi lenyap dalam pandangan.

"Oalah Kang Dal, Kang Dal. Bawa orang hamil gedhe kok masih bisa ngebut," rutukku dalam hati.

Angin kencang semestinya bisa melempar tubuh kerempengku tepat sampai depan pintu kontrakan. Tetapi payung jumbo pinjaman Kang Dal dan bungkusan makanan sisa meeting barusan sungguh merepotkan untukku bisa melewati gang sempit yang pesingnya amit-amit.

"Habis lembur, Mas Subuh? Nggak nunggu subuh saja pulangnya?"

Kupercepat langkahku.

"Ngopi-ngopi sini dulu, Mas. Dingin-dingin begini kalau ada yang nemenin kan jadi anget."

"Haish, kemayu," batinku.

Suara empuk si bibir merah, empunya warung 24 jam menggodaku untuk mampir. Kasihan juga perempuan ini hanya berteman pelakon sinetron dari televisi tabungnya yang mini. Hujan lebat barangkali. Orang-orang memilih untuk berselimut rapat atau saling dekap berlindung di tempat hangat.

"Sudah ada lauk, Mpok. Mau tirakat di rumah saja, jadi suami siaga,"

Kutunjukkan tas keresek di tangan kiri, berniat memamerkan sekotak nasi padang restoran terkemuka yang pasti mahal harganya. Terasa sebuah benda kecil merosot ke dasar bungkusan. Dadaku kembali berdegup kencang. Kakiku makin gesit melangkah. Tak peduli pemilik warung berbalas teriak marah.

"Alaaah...istri di kampung saja! Mending siaga di sini sama aye!"

***

Aku dan tas keresek hitam di balik pintu.

Cklek! Buru-buru kututup dan kunci kuputar dua kali. Kupastikan semua gorden tertutup rapat. Tidak ada yang boleh melihat.

Hausku sedari tadi tidak membuatku melirik galon isi ulang yang penuhnya tinggal seperempat. Aroma nasi padang yang begitu menggiurkan di mobil pun sudah tidak menarik lagi. Wejangan khas istriku untuk selalu berwudhu setiap kali masuk rumah sepulang kerja kulanggar malam ini.

"Cuci tangan cuci kaki itu buat anak-anak, Mas. Kalau Mas Subuh mau nabung pahala, ya wudhu saja sekalian. Kalau sudah wudhu terus ketiduran belum sempet isya'an kan malaikat bisa bangunin tengah malam, ndak bolong shalatnya," tutur istriku berulangkali. Entah ilmu dari kyai mana yang ia sampaikan.

Tidak ada siapa-siapa selain aku.

Sudah hampir dua bulan istriku kuantar pulang ke rumah ibunya. Bukan! Bukan karena aku melukai hatinya dan membuat merah pipinya seperti lirik lagu lawas kesukaan ibu mertua, tetapi sudah menjadi kesepakatan kami berdua untuk anak pertama lebih baik lahir di kampung saja. Pengalaman baru bagi ibunya si janin, pasti akan lebih ringan jika didampingi orang tua yang jauh lebih berpengalaman soal jabang bayi. Lagi pula di Jakarta... Ah, kota menyebalkan ini sudah cukup merepotkan untuk menyambung hidup dari hari ke hari. Untuk bayar kontrakan saja mesti disiasati hutang sana sini. Untuk biaya melahirkan bagi seorang pendatang ? Mustahil rasanya. Bukannya dapat jaminan kesehatan, aku sempat khawatir terusir dari kota angkuh ini karena KTP daerah yang kupunya tidak pernah kulaporkan ijin tinggalnya secara resmi. Khawatir terjebak birokrasi yang butuh uang lagi dan lagi.

Bungkusan nasi padang pemberian bu Sonya yang semula tergolek di lantai kupindahkan ke atas kasur busaku.

Bu Sonya yang baik hati. Sebulan yang lalu ia diangkat sebagai Kepala Divisi Sumber Daya Manusia, salah satu posisi bergengsi di kantorku. Tetapi sikapnya masih sama seperti saat aku diwawancarainya pertama kali.

MONOLOG SUBUHTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang