Satu

57 6 2
                                    

Pagi itu dengan semangatnya aku bangun dari tidur lelapku untuk segera pergi ke sekolah.

Hari ini aku akan bertemu dengan guru ter-killer, mami kantin dan teman-temanku, yaitu Rani, Sekar dan Mira serta teman satu kelasku, dulu.

Dan di hari ini juga, aku akan melihat perjuangan yang ku lakukan untuk semester kemarin.

"Hei gengs, ya ampun apa kabar?" , sapaku.

"Alhamdulillah, baik. Jadi pada liburan kemana nih?", tanya Ayu.

"Ah sekitaran rumah aja".

"Yuk, buruan kita ke lapangan, nanti kena marah lagi sama pak Yono. Mira sudah nungguin dari tadi", ajak Rani.

Hari ini adalah hari pertama kita kembali mengadakan upacara di sekolah setelah kurang lebih 2 minggu libur sekolah.

Setelah upacara selesai, seluruh siswa wajib mencari dimana kelas barunya sekarang, karena sistem di sekolah ini setiap kenaikan kelas mulai dari ipa 1-5, ips 1-5 akan mendapatkan rolling sesuai nilai.

"Coba.. cek nama.. kalian di gedung baru...soalnya kelas 11 bakalan belajar di sana," lapor Mira dengan suara terbata-bata.

"Tadi sih.. aku liat namaku, Sekar dan Rani ada di ipa 1," sambungnya lagi.

"Terus namaku ada dimana?" Tanyaku.

"Belum liat," sahutnya. Sebuah jawaban yang membuat ambigu, antar senang atau justru sedih.

Aku berlari menuju gedung baru, memperhatikan satu per satu daftar nama yang tertempel di kaca kelas.

Aku hampir saja jatuh pingsan ketika melihat sebuah nama tertulis di sana. "PRITA EKA PRAMASTI"

Ya. Itu namaku. Dan yang membuatku hampir pingsan adalah fakta bahwa nama itu terpasang di kaca kelas XI IPA 4.

Aku tak tahu harus bagaimana mendeskripsikan raut wajah ku saat ini. Terlebih isi hatiku. Rasanya seperti menelan duri dan tersangkut dalam kerongkongan.

Aku memutuskan untuk menemui teman-temanku, berniat mengadu dan berkeluh kesah. Tapi, satu lagi kenyataan pahit yang harus ku hadapi. Mereka semua telah pulang. Meninggalkan aku sendiri disini dengan luka yang ku rasa sendiri.

Malam harinya, tiba-tiba mama datang ke kamarku. Aku tak mampu menyembunyikan raut sedihku. Walaupun bisa, mama tetap saja mampu membaca raut wajah seseorang.

"Hidup kalau kamu ratapi saja tidak bakal berubah, kamu harus berusaha lebih giat lagi dan yang paling penting adalah kamu berdoa, meminta agar diberi kecerdasan dan ilmu yang bermanfaat," kata mama.

Nasihat mama tadi berhasil membangunkan ku dari kesedihan yang ku rasakan. Aku segera bangkit dari tempat tidurku dan segera berwudhu. Kemudian sholat.

"Ya Allah, ampuni segala dosa yang telah ku perbuat. Aku tahu, Engkau tidak akan memberi cobaan kepada hamba mu melebihi batas kemampuannya. Berikan aku petunjuk atas masalah yang ku hadapi. Dan satu pinta ku, hadirkan seseorang yang mampu membuatku semangat kembali untuk berangkat sekolah. Hanya kepada mu aku meminta Ya Allah. Amin,"

Dan aku terus meng-aminkan doaku hingga tak sadar aku telah tertidur lelap.

Jatuh HatiTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang