Empat

26 3 8
                                    

Hari ini kita akan melaksanakan upacara untuk memperingati hari jadi kota kita.

Aku sudah tidak sabar menunggu seseorang. Seseorang yang menjadi alasan aku harus hadir disini.

"Buruan masuk, ntar keburu ditutup pagernya," perintah Bela.

"Pasti lagi nungguin Rafael kan?" Tebak Nita

Aku cuman mendengus ketika Nita dapat membaca pikiranku.

"Udah. Tungguin di dalam aja,"

Belum sempat aku menjawab, tanganku sudah ditarik Bela untuk segera masuk ke dalam lapangan.

Sekitar 20 menit kemudian, aku berpikir untuk menelpon Rafael. Tapi hasilnya nihil, Rafael tidak mengangkat telponku.

"Mungkin lagi dijalan, soalnya macet tadi," kata Nita. Entah kenapa, dia bisa membaca apa yang ku pikir dan rasakan.

5 menit kemudian

Rafael is calling...

"Ya hallo," sahutku dengan seulas senyum, "Kamu dimana, El?" Sambungku lagi.

"Aku sudah diparkiran, masih nungguin teman," terdengar sahutan dari seberang telpon. Kalau didengar, suaranya santai tanpa beban.

"Oke," aku memutuskan telpon sepihak. Ada sesuatu yang mengganjal di pikiranku.

Siapa yang ditunggunya? Ku pikir dia akan datang kesini karena aku, ternyata aku salah. Ada seseorang yang ditunggunya. Tapi siapa orang itu?

Aku hanya bisa membatin. Dan selama berada dalam lapangan, pikiranku tak berada disitu. Aku memikirkan El, dan mungkin El sedang memikirkan seseorang yang aku tak tahu.

"Cari minum yuk, haus nih," ajak Bela yang sukses membangunkan ku dari lamunan.

Eh..

"Lagian upacara sudah selesai juga, habis beli minum langsung ke parkiran aja," sahut Nita.

Aku hanya mengangguk. Entah apa yang ku pikirkan saat ini tapi yang pasti aku tengah mengkhawatirkan El.

Aku tidak akan pernah melupakan kejadian hari itu. Dan akan aku pastikan, hari itu akan menjadi noda hitam dalam catatan pribadiku.

Aku tidak salah melihat karena aku percaya, yang aku lihat adalah El. Harusnya aku bahagia karena berhasil bertemu dengannya hari ini. Tapi dia tidak sendiri, dia tengah bersama orang lain yang tidak aku kenal.

Seseorang yang berhasil menghancurkan kisahku hanya untuk menghidupkan kisahnya.

"Loh El, ngapain?" Kata Nita

"Hapeku masih dipinjam sama dia," jawabnya sambil menunjuk ke arah cewek yang berada di sampingnya.

Cewek itu lantas tersenyum ke arah kami. Dan hanya aku yang tidak membalas senyumannya. Mungkin bagi Nita dan Bela, itu adalah senyuman tanda perkenalan tapi bagiku, senyuman itu adalah senyuman yang menusuk.

Lututku terasa lemas. Kerongkonganku kering bagai tak pernah tersiram air. Dan nafasku tersengal - sengal menahan sakit. Aku bahkan tak sanggup melihat ke arah El.

"Ayok," ajakku ke Nita dan Bela

Entah kemana aku akan pergi tapi aku hanya ingin pergi. Semakin aku berada di hadapn El, semakin aku sakit.

Dan aku memilih pulang.

Ketika sampai ditengah jalan, hape ku bergetar tanda telpon masuk.

Sekar is calling...

"Kenapa?" Sahutku malas

"Join sini kita liat - liat novel," ajaknya

Senyumku tercuat tatkala mendengar kata 'Novel'. Dan segera aku mengiyakan.

Tak ada yang ku beli sebenarnya hanya melihat-lihat, tapi itu mampu membuatku lupa sejenak akan masalah hatiku tadi. Aku cukup terhibur sekarang.

Makasih Ya Allah, Kau masih menghadirkan seseorang yang mampu menghiburku ketika aku sedih.

Tapi, itu hanya sementara.

Ketika berada dirumah, malam harinya, aku kembali teringat akan kejadian tadi.

Seolah telah sukses merekam, otakku kembali memutarkan adegan demi adegan dan banyak menampakkan wajah El, dengan senyum bahagianya.

Aku mulai merasakan air mataku yang hangat membasahi pipiku. Entab dosa apa yang telah aku lakukan pada El sampai dia setega ini denganku.

Segala perjuanganku untuknya, dibalas dengan sangat tidak hormat. Aku menyadari, agama kami berbeda. Aku hanya ingin kita bersama dalam hubungan persahabatan.

Lantas, mengapa kau menangisinya?. Logika ku mulai bertanya.

Aku pun tak tahu mengapa aku sesedih ini jadinya. Harusnya aku bahagia melihat dia bahagia. Tapi ekspetasi dan realita sungguh jauh berbeda.

Logikaku mengatakan bahwa ; aku salah karena tidak membalas senyuman cewek itu karena dia tidak tahu cerita antara aku dengan El. Dan harusnya aku bahagia, aku harus siap kalau sewaktu-waktu El mengatakan bahwa cewek itu pacarnya.

Tapi Hatiku berkata : betapa jahatnya El yang telah membuatku sakit. Rasanya tak dapat di ungkapkan dengan kata-kata. Rafael yang dulu ku dambakan telah menghancurkan semua yang aku impikan.

Malam itu aku menangis sejadi-jadinya. Otakku mulai menampilkan kebiasaan yang aku jalani dengan El. Perkataannya muncul kembali, seolah mengingatkan. Aku tak sanggup menahan sakitnya.

Aku menangis hingga air mataku tak lagi menetes. Ku lihat mataku mulai sembab. Aku sudah tidak memikirkan apa respon teman-temanku besok ketika mereka melihat mataku menjadi begini. Aku sudah tidak memikirkan mereka.

Dan malam ini aku berharap otakku tidak lagi menampilkan wajah El. Aku hanya ingin tidur dengan tenang.

Dear Rafael,

Aku tidak tahu kesalahan apa yang telah membuatmu tega melakukan hal sejahat itu kepadaku. I always be kind of you. So, why you be cruel to me?
Kalau kamu tidak bisa balas perasaanku, jangan kamu sakiti aku. Dan kalau kamu ingin membalas kebaikanku, bukan dengan cara yang seperti ini. Aku sayang sama kamu El.

Ku tulis catatan itu dengan air mata yang tak henti mengalir. Rasa sesak memenuhi rongga dadaku, aku kembali menangis. Hingga tak sadar, aku mulai terlelap.

* hai, aku minta maaf ya karena telat upload. Soalnya aku lagi UKK, jadi fokusnya terbagi-bagi deh.
Jangan bosan menunggu cerita selanjutnya ya..😊

Salam

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: May 16, 2017 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

Jatuh HatiTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang