Tiga

20 1 0
                                    

Aku tengah sibuk membuat miniatur rumah ketika tiba-tiba seseorang mendatangiku.

"Eka, bisa bantu aku bikin miniatur gak?", tanyanya, "Aku gak bisa soalnya, lanjutnya.

Ya Allah, ini seperti dijatuhi durian runtuh. Rafael yang bersikap dingin dengan aku, tiba-tiba meminta bantuanku.

Dengan semangat ku katakan 'Ya'.

"Besok bawa alatnya aja, nanti kita buat sama-sama," katanya yang pasti dengan senyum merekah.

"Oke"

Besoknya, dia datang dengan membawa berbagai macam kardus untuk membuat miniatur. Seperti janjiku, aku akan membantunya.

"Repot amat,bang," ledekku.

"Bantuin dong, banyak nih soalnya," pintanya.

Aku mengambil beberapa kardus dari tangannya sambil terkekeh. Dalam hatiku berkata 'ini semua karena aku sayang sama kamu, El,'

"Untuk laporannya kamu buat sendiri ya, nanti kan tinggal di print aja di depan sekolah," pintaku. Sebetulnya aku mau saja membantunya membuat laporan, tapi nanti dia yang terlalu enak.

"Oke deh, aku bikin laporannya dulu," katanya menyanggupi.

"Ka, makan mie rebus dikantin yok, enak kan hujan-hujan makan mie rebus," ajak Bela.

Ya. Memang keadaan hari itu sedang turun hujan. Hujan yang membawa seribu kenangan.

"Ayok deh," sahutku.

Setelah kembali dari kantin, Rafael mengajakku pergi ng-print di depan sekolah.

"Ayok temani, sebentar aja tu," pintanya.

"Mager ih, hujan soalnya,"

"Ayolah, tinggal gerimis aja tu," katanya bersikukuh mengajakku.

Dan ya, aku tidak mungkin menolak.

Selama perjalanan, banyak sepasang mata yang melihat ke arah kami. Ya wajar, karena Rafael begitu populer di kalangan sekolah.

Ada beberapa dari mereka yang berbisik sinis menatap kami. Tapi semua itu aku abaikan hanya demi dia. demi dia.

Sepulang dari ng-print, dia langsung menemui guru mata pelajaran Prakarya dan Kewirausahaan.

"Aku tunggu di kantin aja gin ya," kataku.

"Iya". Iya. Singkat padat dan jelas tapi memiliki seribu satu makna.

Sebuah jawaban yang membuatku harus menunggunya. Harus.

30 menit

1 jam

Dan dia juga belum menemuiku di kantin. Aku memutuskan untuk menyusulnya.

"Datangi Rafael yok Bel," ajaku pada Bela yang masih setia menemaniku.

"Ayok ah, dari pada kita nunggui disini," sahutnya.

Begitu kami mau masuk ke dalam ruang guru, seseorang memunculkan kepalanya keluar pintu.

Rafael. Dia Rafael. Seseorang yang membuatku setia menunggu.

"Udah?" Tanyaku.

"Udah kok, makasih banget ya sudah bantuin aku," ucapnya.

Aku hanya menganggukan kepalaku dengan senyum yang tak pernah lepas dari bibirku.

"Ayok pulang," katanya, tapi entah kepada siapa.

Keadaan di luar masih sama. Awan putih mendominasi langit hari ini dengan rintik-rintik air hujan.

"El, antarin Eka pulang ke rumahku nah, dia belum di jemput, kasihan kalau harus nunggu di sekolah sendirian," pinta Bela yang sontak membuatku menggelengkan kepala dengan cepat.

"Enggak enggak, aku tunggu disini aja," kataku. Tak bisa ku bayangkan seandainya itu benar terjadi.

"Ayok deh ku antar," sahut Rafael.

Dan pasti. Aku tak bisa menolak.

Semua jalan yang kita lewati didominasi oleh banjir. Iya. Karena hujan turun dengan segannya tanpa berhenti.

Setelah sampai dirumah Bela, ia langsung pamit untuk pulang ke rumahnya.

"Makasih ya," ucapku. Hanya itu. Karena mulutku terlalu kaku untuk mengucapkan berbagai kata lainnya.

Tak pernah ku bayangkan sebelumnya aku bisa berduaan dengannya di motor. Alhamdulillah.

"Sama-sama, aku juga makasih tadi sudah di bantuin," katanya lagi, mengucapakn terima kasih.

Aku hanya menganggukan kepalaku. Dan memandangi punggungnya yang perlahan menjauh.

Tak pernah ku sadari, itu adalah momen pertama dan terakhirku padanya. Punggungnya yang menjauh akan semakin menjauh dan menjauh.

Dan tak pernah ku pikirkan, bahwa ini adalah hujan terakhir yang ku habiskan bersamanya.

Hujan yang memberi seribu satu kenangan.

Hujan yang membawanya pergi menjauh. Jauh. Dan semakin jauh.

Jatuh HatiTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang