Lelaki Surga (2)

128 23 7
                                    


Sebenarnya saya masih curi-curi waktu untuk mempublish ini. alhamdulillah, ada juga.

yasudah langsung saja...

silakan vote dan komentar.

Gemuruh suara sapu, pel, dan alat kebersihan lain menjadi fokus utama Pondok hari ini. Tiga hari lagi akhirrusanah1. Oleh karena itu, ada kegiatan bersih-bersih bersama kali ini. Para santri membereskan kamarnya dan juga kawasan pondok. Aku mengusap peluh yang berguguran, lelah juga setelah mengepel koridor kamar di lantai dua gedung putri.

"Mbak, istirahat dulu. Biar gantian sama saya," pinta seorang santri berjilbab biru muda. Aku mengangguk. Kuserahkan alat pel yang kugenggam dan beralih duduk sebentar dekat dengan tiang pembatas balkon.

"Ra, lihat ke gerbang. Sebentar lagi akan ada tamu istimewa masuk kemari," Anisah menunjuk ke arah gerbang pondok putri. Aku mengernyit heran tak memahami maksudnya. Anisah hanya tersenyum jahil lalu berbisik di telingaku, "orang istimewamu sebentar lagi datang."

Aku tak mengindahkan kalimat Anisah. Belaian lembut angin yang menenangkan menyapu raut kelelahan dari parasku. Anisah masih setia berada di sampingku. Dia malah asyik bersandar di bahuku. Aku tak masalah, mungkin dia juga kecapaian. Sesaat kemudian, terdengar suara nyaring pengurus santri putri.

"Santri putra akan masuk pondok putri untuk membereskan gudang belakang!"

"Gus Saiful bakal ikut masuk."

"Pakai khimar2! Semuanya pakai khimar!"

Aku tersentak mendengar kabar ini. Baru kemarin aku membuka surat Gus Saiful yang membuatku sulit tidur semalaman dan sekarang dia bertandang kemari. Aku bergegas menyembunyikan diriku dari balik tiang balkon. Mengamati Gus Saiful bersama rombongan ikhwan yang membuat hening suasana. Kami sebagai santri putri memahami kodrat perempuan yang sesungguhnya, sehingga tak berani memanggil nama pujaan hati apabila dia di depan mata. Kami tak memiliki keberanian semacam itu.

Mata elang Gus Saiful mengamati pondok dengan seksama. Entah apa yang dia cari. Aku meringkuk di balik tiang ketika pandangannya menyapu tempat persembunyianku. Sekilas sebelum aku membuang muka, kulihat senyum tipis di bibirnya. Aduh, hatiku berdebar kencang. Astaghfirullah, hilangkan perasaan ini Ya Allah. Aku tak mau ada hal-hal yang mengganggu proses ngajiku di sini.

Sementara itu bisik-bisik dari berbagai arah mulai berdengung. Lirih, pelan tapi jelas dan gamblang mengomentari penampilan ikhwan yang kini ada di sana. Tetapi hanya satu pembicaraan yang fokus kudengar.

"Eh, itu Gus Saiful-kan? Yang serba putih itu?"

"Iya, Masya Allah. Kelihatan lebih berkarisma ya."

"Seperti Malaikat."

"Hei, dia bukan malaikat. Tapi laki-laki penghuni surga."

"Laki-laki surga."

***

Pembicaraan Gus Saiful sang laki-laki surga terus berputar dalam otakku. Sangat pantas apabila beliau dipanggil lelaki surga. Jikalau dalam pelajaran akhlaq disebutkan ratusan prilaku terpuji, maka hampir seluruh sifat itu dapat dilihat dalam diri Gus Saiful. Beliau mungkin bukanlah juara OSN Internasional yang kerap diundang dalam berbagai acara talkshow televisi swasta, tapi cukup dengan bertemu dengan beliau sekali saja sudah akan membuat hati tiap orangtua berminat untuk berlomba-lomba menjadi mertua beliau. Sudahlah lupakan saja tentang Gus Saiful, mengapa juga aku harus memikirkan beliau?! Lebih baik aku membereskan lemariku saja.

Kitab-kitab tampak berserakan tak rapi di rak mungilku. Seakan tengah bersitegang dengan buku-buku lain yang kutumpuk begitu saja. Akhir-akhir ini aku terlalu sibuk, tak bisa menyempatkan diri untuk sekedar menyentuh tumpukan kitab yang sangat berantakan. Aku mulai memilah-milah kitab dan buku berdasarkan jenis lalu menatanya sampai 'cukup' rapi untuk dilihat.

"Assalamu'alaikum Mbak Zahra. Masih sibuk ya, Mbak?"

Aku membalikkan badan. Melihat ke arah seorang gadis ayu yang tersenyum manis ke arahku. Aku menjawab salamnya cepat, "Wa'alaikumsalam, Mel. Ada apa?"

"Ini mbak. Tadi ada yang nitip," Amel memberikanku selembar amplop. Aku terkejut, seingatku Abah dan Ibuku di rumah tak pernah bertukar kabar menggunakan surat. Lalu surat ini dari siapa? Aku melayangkan pandangan bertanya pada Amel yang masih setia berada di hadapanku.

"Tadi Ning Alifa yang ngasih Mbak," jawabnya. Ning Alifa? Seingatku aku tak begitu dekat dengan putri pertama Pak Kyai itu. Hanya sekedar mengetahui nama dan kurasa tak mungkin Ning Alifa tahu siapa aku.

Berusaha tak mengindahkan kebingunganku, kuterima amplop itu penuh dengan rasa penasaran, tetapi aku tidak ingin ada yang mengetahui isi amplop tersebut. Hingga aku terpaksa harus menunggu larut malam. Setelah kupastikan seluruh penghuni kamar I 2 terbuai mimpi, segera kubaca secarik kertas yang terdapat di dalam amplop bersampul ilalang rumput hijau itu.

Assalamu'alaiki, Zahra

Masih mengingatku? Sang pengagum kalimat indahmu.

Bolehkah aku meminta suatu hal darimu?

Jika tak keberatan. Rangkaikan sepuluh puisi tentang sang lelaki surga untukku

Nanti puisinya bisa kau titipkan ke kakakku, Mbak Alifa. Kau mengenalnya bukan?

Jazakillah khairan katsir

Saiful

Dadaku bergemuruh, untuk apa Gus yang satu ini meminta sepuluh puisi dariku?! Kubuang semua fikiran negatif yang sempat menggelayut jauh jauh. Mungkin Gus Saiful hanya ingin melihat karyaku saja sejak tidak sengaja membaca puisiku yang terselip dalam kitabku.

Kumulai konsentrasi untuk menulis kalimat tapi otakku serasa tumpul. Berkali-kali sudah kucoba. Namun, pensilku patah arang rasanya, tak bernyawa. Aku tak bisa menulis jika fikiranku dipenuhi oleh Gus Saiful. Arghh. Rabbi, apa yang terjadi pada diriku?!

***

1 akhirrusanah = akhir tahun, biasanya ada acara penutupan tahun ajaran di pondok. Biasanya dilaksanakan sebelum bulan puasa. Karena awal tahun pelajaran di pondok biasanya di awali setelah lebaran.

2 khimar = kerudung/jilbab.

bagaimana?? kasih saran ya guys.

jangan lupa tinggalkan jejak guys...


Trilogi Safir SurgaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang