Lelaki Surga (4)

149 17 10
                                    

Pijar bintang berusaha berujar

Tentang cinta dan kasih Tuhan

Yang diberikan bersama Sang Utusan

Bernama agung Sayyid Muhammad

Oh, Sayyid Muhammad

Nabi yang penuh kasih untuk seluruh umat

Sayyid Muhammad, Nabiku

Cintaku yang kurindu

Dambaan kalbu di relung waktu

"Zahra, di panggil itu," seorang santri menepuk bahuku. Lantas aku menoleh ke arah pintu. Seorang gadis mungil nan ayu sudah menantiku.

Aku melangkah maju, memastikan mataku tak salah mengenali gadis itu, Ning Dian, putri bungsu Pak Kyai atau adik Gus Saiful yang masih duduk di bangku Ibtidaiyah kelas tsani*. Mata besar Ning Dian menatapku galak. Dengan sebelah tangan yang ditekuk menyentuh pinggul, jelas kesal hati Ning Dian saat ini. Aku membaca basmallah dalam hati, menghalau pikiran-pikiran yang berselang dalam diri.

"Mbak yang namanya Mbak Zahra?" dia memastikan dengan mendongakkan kepalanya menantangku. Aku mengernyitkan dahi, mengapa nada Ning Dian tajam seperti itu.

"Mbak jangan bikin saya tambah capai. Kalau benar Mbak yang namanya Mbak Zahra buruan ke teras belakang ndalem. Sudah ditunggu keluarga. Kalau bukan tolong sampaikan pesan saya tadi ke Mbak Zahra yang asli," aku kaget. Gaya bicara putri Pak Kyai ini sangat 'wah', berbeda dari keluarga ndalem lainnya. Aku hanya menganggukkan kepala, bingung harus berbicara apa.

"Ya sudah. Kalau begitu pesan dari 'Mas' sudah saya sampaikan. Entah Mbak ini Mbak Zahra asli atau bukan. Yang penting saya sudah bilang. Saya pamit. Assalamu'alaikum!"

Ning Dian melengos dari hadapanku. Aku mengelus dadaku perlahan. Beristighfar menyucikan hati dan diri. Tanpa berusaha berpikir lebih lama, aku langsung mengambil sandal dan merapikan jilbab sejenak sebelum turun ke ndalem menjumpai keluargaku.

Akhirrusanah memang diadakan malam ini. Secara otomatis ndalem ramai dengan kunjungan para wali santri yang diundang sekaligus untuk menjemput putra-putri selepas acara akhirrusanah nanti. Sebenarnya sudah di sediakan rumah kunjung atau rumah tempat dimana keluarga santri bisa beristirahat setelah menempuh perjalanan jauh sekaligus untuk tempat ngobrol bersama santri sebelum acara akhirrusanah dimulai. Rumah kunjung ini aslinya rumah warga yang tinggal di sekitar pondok. Karena Akhirrusannah merupakan acara wajib tahunan maka sudah biasa sistem kerja sama dengan Pondok seperti ini.

Aku sebenarnya sedikit bimbang saat melangkahkan kaki masuk ke ndalem. Rumah kunjung biasanya dibedakan berdasarkan kota asal santri. Karena aku berasal dari Pekalongan, maka seharusnya keluargaku berada di rumah kunjung Pekalongan, bukan di teras belakang ndalem seperti ini.

"Ibu kok bisa di sini?" tanyaku setelah mencium tangan Abah Ibuku.

Kakak laki-lakiku yang masih selonjor menendang kakiku pelan. "Dek, kamu lupa ya nanti malam ada akhirrusanah, makanya Ibu datang kemari," tukasnya sok tahu tujuanku bertanya.

Aku memberengut kesal. Mas Faiz masih sama seperti dulu, menyebalkan dan sok tahu. Ibu tertawa melihat interaksiku dengan Mas Faiz.

"Ih, maksudku kok Abah Ibu bisa ada di ndalem? Mboten ten** Rumah Kunjung?"

"Tadi di sana ramai sekali, Nduk. Ndak ada tempat buat duduk. Abahmu sampai bingung. Untungnya ada santri yang kenal Abahmu ini, terus diajak ke sini. Dia bilang sebentar lagi kamu bakal datang. Eh beneran," jelas Ibu sembari mengelus kepalaku pelan. Sungguh, elusan yang kurindukan.

Mendengar cerita Ibu aku jadi penasaran. Siapa gerangan santri yang beliau maksud. Kusambungkan cerita Ibu dengan kalimat Ning Dian tadi. "Pokoknya pesan 'Mas' sudah saya sampaikan," Ning Dian memang tidak menyebut siapa Mas yang dia maksud. Tapi setahuku kakak laki-laki Ning Dian hanya Gus Saiful. Mungkinkah Gus Saiful dan Abah sudah saling mengenal? Untuk apa? Apakah untuk memperlancar hubungan dengan sang calon mertua? Pipiku bersemu memikirkan pikiran anehku itu.

Aku tak begitu bersemangat saat acara akhirrusannah berlangsung. Bayangan kehangatan pelukan Ibu membuat gairahku menurun. Aku dan keluargaku terpaksa terpisah karena tempat duduk kami memang agak jauh. Santri dikumpulkan bersama dengan para santri yang lain di bagian agak depan. Sementara pihak keluarga di belakang.

Anisah yang menangkap gelagatku memicingkan matanya. Pandangannya menelisikku dari atas sampai bawah seolah sedang mencari tahu penyebab perubahan suasana hatiku. Aku tersenyum miring penuh keterpaksaan.

"Kenapa Ra? Kok murung?" aku tak langsung menjawab malah memainkan ujung jilbabku.

Anisah menatapku lekat. Masih menunggu jawabanku. Aku hanya menggelengkan tanda aku tak apa-apa. Tapi bukan Anisah namanya jika tak berhasil mendapatkan apa yang dia inginkan.

"Cuma badmood. Lagi pengen bareng Ibu. Tapi kok malah jauhan gini."

Anisah menepuk bahuku pelan. "Sabar, bentar lagi ketemu kok. Malah bakal pulang bareng ke kampung halaman. Iyakan?" tanyanya menguatkanku.

Aku hanya mengangguk. Aku sungguh sudah tak sabar. Inginku terbang melintasi waktu setelah itu memeluk Ibuku dan berkumpul bersama keluargaku di Pekalongan. Ah... Padahal sebentar lagi.

_____________________________________________________________

1 Ibtidaiyah kelas tsani = setara dengan SD kelas dua. (tsani=dua)

2 Mboten ten.... = Tidak di.....


Saya minta maaf updatenya terlambat. Silakan vote dan berikan saya masukan ya.

BTW, selamat Hari Buruh dan Hari Pendidikan Nasional serta happy milad untukku. :)




Trilogi Safir SurgaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang