BLIND SONG

69 5 15
                                    

Izinkan aku melukis senandungmu dalam kebisuan..

Pagi ini angin taman berhembus tajam, dinginnya bagai menguliti tengkuk ku yang tak tertutup jaket, aku menggelar kanvas putihku, sunyi sejenak.
Aku mengedarkan pandanganku ke berbagai penjuru, mencari hal yang bisa kucintai pagi ini.
Ketika kau melukis, kau harus mencintai apa yang kau lukis, hingga tiap sudut dan tepinya akan kau goreskan dengan sepenuh hati.
Tapi pagi ini aku merasa seperti tak mencintai apapun, aku berdiri. Langkah ku bergerak kearah lain taman, ketempat yang lebih banyak pohon rindang, pohon-pohon itu membiaskan cahaya matahari yang menembus dari sela-sela dedaunan, redup dan indah, gemerisik dedaunan berpadu dengan bisikan angin.
Dan seperti menyatu dengan musik alam begitu saja, sebait petikan gitar mengalun, disusul suara lembut yang mengiringi hembusan angin.
Aku berbalik arah dan mencari sumber suara, lalu mataku menangkapnya, seorang gadis muda yang umurnya mungkin tak jauh berbeda dengan ku, mungkin sekitar 19 atau 18 tahun, jari jemarinya yang mungil begitu lincah memetik gitar senar demi senar, seakan semua bagiannya telah lama bersahabat dengannya, rambut panjangnya terkuncir namun beberapa helai dibiarkan jatuh diwajah halusnya, tertiup sepoi angin pagi. Beberapa orang terlihat berdiri didepannya menikmati pertunjukan musik yang begitu indah dengan suara yang selaras.
Uang receh berjatuhan ke hard case yang tergelar didepan gadis itu, aku berusaha mendekat perlahan sungguh aku merasa jatuh cinta pada apa yang ada dihadapan ku.
Indah, dan semua indraku menyetujuinya, senyum simpul ku muncul begitu saja, diakhir lagu aku bertepuk pelan, ku keluarkan beberapa lembar uang disaku ku dan ku letak kan di hard case nya.
Aku menatap gadis itu lekat-lekat, namun ia tak menatapku balik, aku berjongkok didekatnya, wajah kita hampir sejajar karna kaki jenjang ku dan si gadis yang begitu mungil, gadis itu tersenyum kearah lain, siapa yang ia senyumi? Aku melihat sekeliling, semua orang ditaman itu sedang sibuk, tak ada yang mengajaknya tersenyum kecuali aku yang masih berlutut didekatnya.
“anda ingin lagu lain?” tanyanya.
Kearah mana ia bicara? Aku mengernyitkan dahi.
Gadis itu tertawa kecil “saya bisa merasakan anda didekat saya” katanya lagi, tunggu dulu.
Merasakan? Apakah ia tak bisa melihat ku yang sedekat ini?
Tunggu..
Apakah ia tak bisa melihat?
Detik selanjutnya aku menyadari sebuah tongkat disamping gadis itu, maka sudah jelas.
“ada yang salah? Kenapa anda tidak menjawab pertanyaan saya?” gadis itu kembali berkata. Aku pun terdiam ditempatku dan tersenyum pahit.
Percuma.
Aku berbalik badan dan meninggalkan gadis itu yang kebingungan, ia tau aku meninggalkan tempat itu, ia merasakan langkah ku, dan aku tetap berjalan kembali menuju kanvas ku.
Aku kembali diam, gadis itu dan suaranya masih ada dikepalaku, namun aku masih diam memandang kanvas kosongku hingga mentari berubah begitu terik, aku berdiri.
Tanganku meraih topi hitam dan mengenakannya kekepalaku yang berambut coklat gelap.
Aku merapikan satu persatu kanvas ku, menggulungnya dan memasukannya kedalam drafting tube berukuran besar.
Aku menyusuri jalan pulang tanpa tersesat selangkahpun, padahal sepanjang perjalanan kepalaku hanya berputar memikirkan gadis itu, betapa indahnya.
Aku menghela nafas berat, aku tak boleh mencintai objek hidup lagi.
Aku sudah memutuskan untuk mencintai pemandangan, mencintai alam dan menjadikan itu objek lukis ku.
Dan asal kau tau, pelukis hanya bisa menemukan jiwanya dalam satu hal yang paling ia cintai.
Ia akan kesulitan melukis hal lain, karna kita setia mencintai satu objek dan melukisnya tanpa ada bosan.
Menorehnya dalam sketsa kasar atau menggradasi warnanya dalam baluran cat warna warni.
Terakhir kali aku mencintai objek hidup aku tak bisa melukis lagi, dan aku tak mau terpuruk untuk kedua kalinya, mati dalam bayang, ketakutan setiap kuas atau pensil berada ditanganku, setiap kanvas kosong berubah menjadi wajahnya, senyumnya, dan kesakitan yang mendalam karna telah begitu mengingatnya. Bagaimana aku bisa melupakannya sedangkan tanganku saja bisa melukis detail wajahnya dengan mata tertutup.
Tidak, aku tidak akan mencinta seperti itu lagi.
Ketika semuanya pergi, akulah satu-satunya yang menelan kepedihan itu hidup-hidup.
Dan aku tak bisa lagi.

                              *
Pagi tiba, dan aku terbangun dengan mimpi penuh suara.
Suara gadis itu, dan jemari lentiknya yang memetik gitar terasa begitu nyata untuk sebuah mimpi.
Aku merapikan alat lukisku dan berjalan keluar rumah, kemana tempat yang harus ku tuju? Aku tidak ingin bertemu gadis itu lagi.
Aku menyusuri jalan dengan langkah pelan, mengayun tanpa ada semangat. Apa aku pulang saja?
“permisi anak muda bisa saya menanyakan sebuah alamat? Saya agak kesulitan dengan jalanan di daerah ini” seorang ibu paruh baya bertanya kearah ku. Bagaimana ini?
Aku menghela nafas, berusaha melihat kearah lain namun ku lihat wajah ibu itu begitu lelah, aku mengangkat kedua tanganku, melakukan sebuah gerakan, sebuah..
Isyarat.
Karena sejujurnya aku tak bisa berkata sepatah kata pun kepada siapapun.
Aku bisu sejak lahir.
Ku lihat ibu itu kebingungan dengan apa yang aku lakukan.
“ahh baiklah, sepertinya aku akan menanyakan alamat ini ke orang lain terimakasih anak muda” dan ibu itu berlalu meninggalkanku yang membatu.
Dia yang bisa melihatku saja tak mengerti, lalu bagaimana dengan gadis itu?
Aku kembali menyusuri jalan dan tiba-tida petikan gitar itu terdengar lagi, apa ini sudah menghantui kepalaku? Namun aku membeku.
Gadis itu, dia sedang bernyanyi tak jauh dari tempat ku berdiri.
Ia kembali menggelar hard case nya, dan menyanyikan lagu yang sama, lagu yang indah, lagu yang menceritakan alam yang begitu cantik.
Bagaimana bisa ia menyanyikan lirik itu begitu dalam sedangkan ia tak bisa melihat apa yang sedang ia lantunkan.
Aku terdiam, namun tanpa ku sadari kaki ku telah membawaku berdiri dihadapannya, menikmati bait demi bait senandungnya.
Beberapa orang berdiri disampingku, seperti waktu ditaman, diakhir lagu mereka semua melempar koin, dan aku kembali merogoh celanaku dan mengeluarkan beberapa lembar uang yang pantas didapatkan gadis itu.
Lalu gadis itu tersenyum, tepat kearahku.
Detik selanjutnya benteng pendirianku runtuh, aku mundur beberapa langkah, aku mencari tempat yang tepat untuk menggelar kanvas ku.
Dengan cepat kubongkar semua peralatan lukisku, tanganku dengan tangkas menggores kanvas, garis demi garis aku dedikasikan kepada gadis itu dan nyanyiannya.
Gadis itu kembali bernyanyi, kali ini lagu tentang malam, malam yang indah, sungguh airmataku menetes lembut, namun pandanganku tetap tegas kearah kanvasku, aku menorehkan semua perasaan yang ku rasa, segala kekaguman ku dan debar yang mendera dada ku.
Aku akan melukis gadis itu, bersama senandungnya, tanpa kecuali.
Biarkan aku mencampur warna indah untuk melukiskan nada-nada yang keluar dari bibirnya.
Biarkan aku mencetak segalanya dalam lukisan ini, indah wajahnya, halus suaranya, biarkan aku menuangkannya dan mencintainya.
Detik demi detik dan aku semakin merasa lega, setiap tanganku menoreh apa yang terkurung di kepalaku.
Dan torehan terakhir pun tiba, aku tersenyum. Airmata dipipiku telah mongering tanpa harus ku seka.
Aku bangkit dari kursi lipatku, namun.

“Evelyn..” seorang laki-laki dengan rambut gelap dan wajah oriental menghampirinya, tangannya menggenggam sebuket bunga yang indah.
   “Ayo.. sudah waktunya” laki-laki itu berkata sumringah, Evelyn yang baru ku ketahui namanya tadi tersenyum terlihat begitu bahagia, senyumnya begitu lebar, matanya berbinar, namun tak ada kata yang sanggup keluar dari mulutnya. Mereka berdua membereskan gitar Evelyn dan laki-laki itu membawanya pergi.
Evelyn dan senandungnya pergi..
Aku terdiam, sekali lagi aku merasa bodoh namun tak apa, hatiku tetap tak menyesali keputusannya. Maka aku duduk kembali di kursi lipat ku.
Melukis lagi dan lagi wajah Evelyn, hingga petang tiba dan malam membutakan semuanya.
Aku kembali, dan hatiku terasa begitu berat, rasanya ingin ku buka dadaku dan ku lempar keluar hati ku.
Aku benci perasaan ini, aku benci, tapi sebagai laki-laki aku hanya bisa seperti ini.
Tegar menjadi satu-satunya pilihan.
Tapi aku tak bisa tidur, dan aku hanya ingin terus menerus melukis Evelyn dalam berbagai warna, namun aku benci, benci sekali pada hatiku.
Nafasku seperti terganjal, sesak dan aku tetap terima.
Ke esokan paginya akan tetap kubawa semua lukisan ku ini dan ku berikan pada Evelyn.

                          *
Namun esok yang ku maksud tak pernah datang, Evelyn tak ada dimana-mana. Aku gagal.
Tak bisa menemukannya, tak bisa memberinya lukisanku, ideku mungkin kejam, aku akan memberikan sesuatu untuk dilihat namun ia tak bisa melihat.
Yah.. kuanggap ini hukuman.
Namun hati ini sudah memilih inspirasinya, untuk kali ini aku tak akan berhenti melukis, aku akan melukis Evelyn sebanyak yang aku bisa dan membuang semua bayangan tentangnya sampai habis.

                          ***
Hari-hari berlalu, bulan-bulan berganti, tahun demi tahun kujalani, hingga beberapa rambut putih menyembul menggantikan warna coklat gelap dikepalaku.
Aku terduduk ditaman, kembali menggores kanvasku, tersenyum untuk ribuan kali menatap wajah yang tersenyum balik dari lukisanku.
Tak pernah sedikitpun indahnya pudar dimataku, kepedihan ku untuk berpisah diawal pertemuan sudah pudar, namun cinta pada pandangan pertamaku yang berlebihan ini tak pernah sedikitpun pudar.
Mungkin aku tak akan pernah berbisik pada Evelyn seberapa sedernahanya ia bisa membuatku jatuh cinta.
Tapi tak apa, aku bersyukur bisa melukisnya beserta senandungnya.

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: Apr 23, 2017 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

BLIND SONGTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang