Chapter 17 : Smile

717 57 40
                                    

Angelo's PoV

Selama aku bersama Cho di rumahnya lima hari yang lalu, tak ada bahaya apa-apa seperti aku pernah hampir dihisap darahku olehnya. Belum lama terjadi, aku masih ingat kejadian mengerikan itu.

Apa dia benar vampir? Ya, kelihatannya begitu. Tapi, kapan kebertahanan mereka dalam menahan rasa haus darah akan usai? Tidak kubayangkan mereka bisa menahan dahaga seumur hidup.

Oh iya. Aku tidak tahu apakah kebertahanan umur seorang vampir sama halnya dengan manusia?

Tapi, untuk apa aku mengetahui itu? Kalau aku tahu, aku hanya akan menambah pengetahuanku tentang vampir realita yang kuhadapi. Bukannya menambah pengetahuan pelajaran Sejarah ke dalam memori yang nanti akan dites senin nanti.

Sekolah Seretie kadang belajar, kadang tidak. Tapi dalam tes otak, para guru lebih perhatian dalam menjadi pembagi soal dan mengawas.

Sebal tapi begitulah sekolah. Untungnya aku suka sekolah. Otakku mampu menampung ingatan dari buku pelajaran meski sedikit yang bisa diterima. Kalau sempat, aku bersikap angkuh kepada Zezen karena aku lebih dominan pelajaran Sejarah dibandingkan Bahasa Inggris. Kami suka bercanda karena itu menyenangkan. Bagian yang paling kusuka adalah saat Zezen menggaruk kepalanya ketika menghadapi soal Matematika. Menurutku dia kelihatan kocak ketika sedang kebingungan. Atau saat melihatku makan spagetti.

Seperti keadaanku sekarang.

"Spagetti melulu," ceplos Zezen.

"Nasi kecap melulu," balasku, kemudian kembali makan dengan nikmat.

"Tapi gue pakai telor ceplok," kata Zezen sambil menusuk bagian tengah telurnya.

"Bodo amat."

"Lo itu selalu aja bikin gue kesel."

"Zen, lo rese kalau lagi makan nasi kecap. Mending minum kecap, deh."

"Bodo amat."

Dengan tenang, aku sama Zezen makan di kantin yang ramai oleh siswa-siswi yang juga ikut makan. Pesan dua es teh adalah sesuatu yang gak terlalu sering aku lakukan. Ini ajakan Zezen beli teh es. Aku ikut saja. Sekali-kali aku beli yang pakai gelas kaca.

Kelar makan, aku dan Zezen jalan keluar dari kantin, mau kembali ke kelas.

Sekelebat, aku melihat sesosok gadis tersenyum padaku. Terasa tidak asing. Aku melihat samar-samar dari arah samping aku dan Zezen melewati koridor yang tidak kami masuki. Tidak begitu jelas. Kepalaku menoleh ke arah sana. Langkahku juga berhenti.

Tidak ada siapa-siapa di koridor sepi itu.

"Napa lo setop jalan? Habis bensin?" Zezen menghampiriku yang tadinya jalan lebih dulu dan hampir meninggalkanku.

"Gak, gak pa-pa," jawabku dengan cepat segera merangkulnya dan melanjutkan perjalanan menuju kelas.

Perak? Rambut Alvina? Kalau memang Alvina, kenapa dia tersenyum seperti itu padaku?

***

Mengenal ketujuh vampir itu, rasanya random. Atau, dunia ini yang random. Aku pikir vampir itu tidak akan pernah ada. Mengingat senyuman Alvina padaku, dia seperti menginginkan sesuatu dariku.

Dan aku harap itu bukanlah sesuatu yang disenangi oleh seorang vampir. Sebanyak apa pun aku berharap, mungkin akan terkabul 20% saja. Entah siapa yang lebih dulu mencicip darahku, akan aku usahakan itu tidak akan pernah terjadi meski lawanku adalah ketujuh vampir yang kumaksud. Mulai sekarang, aku harus menjaga jarak. Terpaksa, aku tidak akan berteman lebih jauh dengan mereka. Semoga bisa.

He is MineTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang