Siapa Dia?

147 11 3
                                    

Seiring berjalannya waktu, aku dan Angga menjadi semakin dekat, meskipun hanya berhubungan via sms. Kami memang jarang bertemu, karena beda sekolah. Kami hanya bertemu dan saling menyapa saat di gereja. Namun hampir setiap malam dia mengirimiku sms, dari basa-basi seperti bertanya ‘lagi ngapain?’, membicarakan hal-hal ringan, hingga curhat yang agak serius. Lebih sering dia yang curhat kepadaku, tentang masalah yang dialaminya di Komisi Gereja. Sifatnya yang keras membuat beberapa pengurus senior tidak menyukainya. Aku tidak bisa melakukan apapun, kecuali menjadi pendengar yang setia.

Dan permasalahan itu berbuntut panjang, hingga dia memutuskan untuk pindah gereja. Intensitas pertemuan kami pun semakin berkurang hingga tidak pernah bertemu sama sekali. Meskipun begitu, kami masih sering sms-an. Kadang-kadang dia titip salam lewat Jo, teman sekolahku namun beda kelas, yang ternyata juga merupakan temannya Angga.

Suatu kali, Jo datang ke kelasku. Dia menyerahkan sebuah buku novel berjudul ‘Plis, I’m Not Princess’ kepadaku.

“Angga nitip ini ke aku, untuk kamu,” jelas Jo.

Angga memang tahu kalau aku sangat suka membaca buku cerita, entah itu komik, cerpen, maupun novel. Dia pun tahu kegemaranku menulis cerita, serta impianku untuk menjadi penulis terkenal, dan dia mendukungku. Tetapi aku tetap terkejut dengan pemberiannya yang tiba-tiba ini, padahal aku tidak sedang berulang tahun sekarang.

“Makasih, ya, novelnya. Kok tiba-tiba ngasih? Aku nggak lagi ulang tahun loh,” aku mengirim pesan kepadanya.

“Nggak ada apa-apa, cuman kangen aja,” balasnya.

Aku tersenyum, setelah mengetahui bahwa dia merindukanku. Tetapi jantungku tidak berdebar kencang. Aku tidak merasakan desir-desir darah di bawah kulitku. Tidak ada kupu-kupu yang berterbangan di dalam perutku. Intinya, aku tidak merasakan tanda-tanda jatuh cinta pada umumnya. Aku hanya merasa senang dan nyaman.

***

Ujian akhir sekolah sudah hampir dekat. Sebagai siswa sekolah kejuruan, kami masih harus melewati ujian kompetensi terlebih dahulu. Dimulai dengan magang di perusahaan maupun kantor pemerintah, kemudian membuat laporannya, lalu membuat project work sesuai dengan jurusan masing-masing yang diakhiri dengan ujian kompetensi jurusan. Aku jurusan akuntansi. Project work-ku adalah membuat laporan keuangan dengan nama perusahaan karangan sendiri, disertai dengan proposalnya, seperti membuat perusahaan sungguhan. Tugas itu menyita seluruh waktuku, sampai lembur di sekolah segala untuk menginput laporan itu ke dalam program MYOB.

Karena kesibukan itu, aku jarang sms-an dengan Angga. Mungkin dia juga sibuk belajar untuk menghadapi UAN, aku tidak terlalu peduli. Setelah aku melalui ujian kompetensi, dia mulai menghubungiku lagi. Dia mengajakku untuk hadir di acara ulang tahun Komisi Remaja gerejaku. Aku tidak pernah ikut Komisi Remaja, meskipun aku juga masih remaja. Ibadah Sekolah Minggu berbarengan dengan ibadah Komisi Remaja, sehingga setiap minggu biasanya aku langsung ikut ibadah umum. Aku malu kalau tiba-tiba nongol di acara, padahal tidak pernah ikut ibadahnya tiap minggu.

“Wah, aku lebih malu lagi, karena aku kan udah keluar dari sana,” katanya ketika aku menolak untuk ikut. “Tapi aku kepingin pergi. Ayolah, Din, temani aku.”

Akhirnya aku pun setuju. Sebelum acara di mulai, aku sudah datang duluan dan menunggunya di bawah tangga. Tidak lama kemudian, dia datang mengendarai sepeda motor dengan earphone yang tergantung di telinga. Setelah memarkir motornya, dia menghampiriku. Ini pertama kali kami bertemu lagi setelah sekian lama tak pernah bersua.

“Belum mulai, ya?” tanyanya.

“Masih sepi tuh. Biasa, ngaret. Apa tuh?” tanyaku saat dia mengeluarkan sesuatu dari saku jaketnya.

“Mp3,” dia menunjukkan sebuah benda berbentuk kotak kecil berwarna abu-abu silver. “Mau dengar?”

Aku mengangguk. Dia melepas earphone dari telinganya dan memberikan mp3-nya kepadaku. First Love dari Utada Hikaru mengalun merdu.

“Waduh, garang-garang lagunya romantis, bo,” godaku.

Dia tersenyum. “Titip dulu ya, aku mau keluar sebentar.”

Dia pergi menjauh meninggalkanku yang masih duduk di tangga bersama mp3-nya. Sampai aula gereja penuh dan acara hampir di mulai, Angga masih belum datang juga. Aku pun berniat untuk menyusulnya. Hampir sampai di dekat pagar, aku melihatnya berjalan masuk.

“Hei, sudah mau mulai,” panggilku.

Tetapi dia terus berjalan, tidak mengindahkan panggilanku. Raut wajahnya tampak mengeras. Di belakangnya, seorang gadis mengikutinya. Dia berambut lurus panjang, memakai gaun berwarna cokelat, matanya sipit, bertubuh mungil dan kurus. Dari gerak-gerik mereka, tampaknya mereka sedang bertengkar. Bukan jenis pertengkaran antar teman biasa. Sepertinya mereka adalah sepasang kekasih, yang sedang bertengkar.

“Angga, dengerin dulu! Kamu kok nggak pernah mau dengerin aku, sih?” seru cewek itu berusaha menangkap tangan Angga.

Angga menepisnya, “Kamu yang nggak pernah dengerin aku. Sudahlah, aku capek!”

Mereka terus berlalu di depan mataku. Sepertinya aku invisible bagi mereka. Masih bingung, aku mengikuti mereka masuk ke dalam gereja. Tadinya aku pikir, aku akan duduk berdua dengan Angga sepanjang ibadah. Nyatanya dia duduk di pojok kiri, sedang aku di pojok kanan dengan Hetty, adiknya Hadi yang baru bergabung di Komisi Sekolah Minggu. Dia sempat meminjam alkitabku dan memakainya hingga ibadah selesai. Aku sampai memakai alkitab berdua dengan Hetty.

Setelah ibadah selesai, acara dilanjutkan dengan barbeque di lapangan basket di belakang gereja. Dia sama sekali mengacuhkanku, kecuali untuk mengembalikan alkitab sebelum kami keluar dari gereja. Dia terus berada di sisi cewek kurus berbaju cokelat itu. Menahan kedongkolan, aku mengambil ayam hasil pembakaran bersama Hetty. Kami makan berdua dalam diam, karena dia sama pendiamnya denganku. Aku tidak mempedulikan Angga lagi yang entah berada di mana.

Untungnya Hetty bisa mengendarai motor, dan dia bersedia mengantarku – yang tidak bisa mengendarai kendaraan apapun – pulang.

“Andien!” Aku mendengar suara Angga memanggilku.

Aku menoleh, melihatnya sedang berdiri di sisi cewek berbaju cokelat bersama gerombolan cewek-cewek seusia dengan cewek itu, sambil membawa piring kertas berisi ayam.

“Udah mau pulang?” tanyanya.

“Iya, sama temanku,” aku menunjuk Hetty dengan jempolku.

“Oke, hati-hati ya.”

Diam-diam aku mendengus kesal. Aku sempat berharap akan diantarkan pulang olehnya. Dia yang mengajakku ke mari. Katanya, dia tidak punya teman, malu sendirian. Nyatanya, akulah yang sendirian. Jika tidak ada Hetty, mungkin aku sudah plonga-plongo kayak kebo dongo.

Aku pulang dengan kekecewaan mendalam. Entah karena aku merasa kesepian di tengah keramaian, atau karena kehadiran cewek berbaju cokelat yang merebut perhatian Angga dariku.

***

Tujuh hari setelah acara ulang tahun Komisi Remaja yang membuatku dongkol setengah mati, Angga kembali menghubungiku.

Aku barusan putus sama cewekku.”

Okey, kini aku yakin kalau cewek berbaju cokelat minggu lalu itu adalah pacarnya.

Loh, kenapa?” Sesungguhnya aku tidak peduli alasan kenapa mereka bisa putus.

Dia bilang aku terlalu posesif. Dia nggak suka aku ngelarang-ngelarang dia sms-an sama cowok lain.

Lah, bukannya dia sendiri juga sms-an dengan cewek lain – aku.

Oh, jadi kamu ini tipe cowok cemburuan, dan dia nggak suka?”

Iya. Habisnya gimana, aku memang nggak suka dia berhubungan dengan cowok lain. Wajar kan, kalau aku cemburu.”

Yah, tapi kalau cemburuan, cewek juga nggak nyaman, Ga. Kamu harus lebih percaya sama cewekmu. Mungkin cowok-cowok itu cuman temannya aja, bukan ada maksud selingkuh dan sebagainya. Yah, kayak kita gini, cuma teman.

Yeah, cuma teman.

Sebuah Jawaban ✔Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang