Kencan Sehari

13 3 2
                                    

(Edited DONE)

“Aku pengen curhat, tapi nggak bisa lewat sms. Jalan, yuk,” ajaknya melalui sms saat aku sedang ibadah Jumat Agung di gereja.

Aku tidak bertanya, ke mana kami akan pergi, namun aku menyetujui ajakannya. Dia akan menjemputku sepulangku dari gereja. Namun tiba-tiba hujan mengguyur kota. Kupikir janji dibatalkan karena hujan, sehingga aku pun pulang ke rumah. Tetapi tak lama kemudian, hujan berhenti.

“Jadi, nggak?” tanyaku untuk memastikan.

“Jadi. Aku tunggu di jembatan dekat rumahmu,” balasnya.

“Tapi aku nggak punya helm.”

“Aku bawa dua.”

Aku mengganti kemejaku dengan kaos yang nyaman. Sebelum keluar rumah, kukenakan jaket jeans berwarna biru tua untuk menghalangi sinar matahari menyengat kulitku. Aku menyebrangi jalan dan berlari-lari kecil menghampiri Angga yang sedang duduk di atas jok motornya. Dia menyerahkan helm kepadaku sebelum aku duduk di jok belakang motornya. Aku baru sadar, ini pertama kalinya bokongku menyentuh jok motor Angga. Dan pertama kalinya juga kami jalan berdua.

Motor melaju di jalan yang lengang. Tanpa bertanya, aku sudah tahu ke mana tujuan kami, melihat arah motor dilajukan. Sebelum tiba di tempat tujuan, Angga singgah dulu di sebuah rumah mungil. Aku menunggunya di sisi sepeda motor, sementara ia masuk ke dalam rumah. Tidak terlalu lama, dia keluar.

“Ini rumah mamaku,” katanya sambil menstater motornya. “Kamu cewek kedua setelah mantan pacarku yang kubawa ke mari.”

Aku cukup tersanjung, meskipun faktanya aku hanya menginjak pekarangan depan rumah itu. Motor hanya melaju sebentar, dan kami pun sampai di tempat tujuan. Sebuah kebun binatang yang sudah ‘nggak aktif’ lagi sebagai tempat wisata. Kenapa dibilang begitu? Karena hewan yang hidup di sana cuma ada dua ekor burung, dan tiga ekor beruang madu, serta serangga seperti semut, nyamuk dan sebangsanya. Tempat itu kurang terawat, kotor dan jarang diinjak orang. Kami duduk di sebuah gazebo mungil yang agak lembab karena habis hujan.

“Jadi, mari kita mulai sesi curhatnya,” kataku setengah menggoda.

Angga terkekeh, “Sebenarnya aku cuma pengen ngajak kamu jalan aja. Kita kan nggak pernah jalan berdua, nggak pernah ngobrol berdua face to face begini.”

Aku mengangguk-angguk. Kami terdiam sesaat. Aku memang tidak pandai membuka pembicaraan. Akhirnya dialah yang buka suara duluan. Dimulai dengan cerita tentang keluarganya. Orang tuanya ternyata sudah bercerai. Yang kami singgahi tadi adalah rumah mama kandungnya, sedangkan dia kini tinggal bersama papa dengan ibu tirinya. Baru kemudian dia kembali curhat tentang mantan pacarnya, Indah.

“Watakku memang keras. Aku juga gampang tersulut emosi. Bahkan aku pernah nampar cewek loh!”

Aku terbelalak sambil menempelkan kedua telapak tangan di pipiku, “Hah? Gila, jahat banget!”

“Tapi kalau aku sudah sayang sama seorang cewek, aku bisa menahan emosi dan mencoba untuk pengertian serta perhatian. Aku kalau pacaran serius, nggak mau main-main. Aku ini tipe cowok setia loh, nggak suka bohong, apalagi selingkuh.”

Alisku terangkat sebelah. “Oh ya?”

“Beneran. Aku nggak suka ada kebohongan dan rahasia di dalam sebuah hubungan. Aku paling benci dibohongi. Aku bahkan bisa nangis kalau dibohongi.”

Aku terbahak, “Nangis? Kok segitunya?”

“Memangnya cowok nggak boleh nangis? Cowok kan juga manusia, boleh dong mengekspresikan diri, termasuk nangis.”

Aku mengangguk-angguk, “Ya, bener juga sih. Terus, kemarin putus sama Indah itu karena dia bohongin kamu?”

“Banyak alasan sebenarnya. Mungkin kami memang nggak cocok satu sama lain. Kami sering berantem. Selama ini memang aku sabar, selalu mengalah. Maklum lah, masih SMP, ababil. Tapi masa terus-terusan ngalah, kan jadi capek hati.”

“Jomblo dong, nih?”

“Iya. Mau daftar? Ambil nomor antrian dulu, ke seribu.”

“Jiaaahhh, panjang amat, keburu tua gue…”

Kami terbahak.

“Nah, sekarang giliranmu cerita,” todongnya.

Aku tergeragap, “Hah? Cerita apa? Aku nggak punya cerita hidup apa-apa, gini-gini aja.”

“Dengar-dengar, kamu mantannya Benny ya?”

Aku mendengus. Aku sangat tidak ingin mengakui hal itu. Aku selalu menganggap bahwa aku tidak pernah pacaran.

“Sebenarnya itu nggak bisa dibilang pacaran. Aku nggak pernah suka sama dia. Dulunya kami duduk bareng di kelas dan lumayan akrab. Tapi sejak dia nyatakan cinta lewat telepon, aku mulai menjauh. Awalnya kutolak, tapi teman-teman mendesak, akhirnya kuterima. Cuman seminggu. Dan nggak pernah nge-date. Tiap dia telpon, aku selalu pura-pura tidur. Di kelas pun, aku pindah tempat duduk. Jujur saja, ini pertama kalinya aku jalan berdua sama cowok…” Malu-malu aku meliriknya, “Sama kamu.”

“Wah, aku tersanjung, jadi yang pertama, hehehe… Terus, habis itu masa nggak pernah pacaran lagi?”

“Nggak pernah. Nggak laku saya, hehehe…”

“Ah, masa nggak laku? Kamu cantik, kok.”

“Oh, terima kasih,” kataku berakting sombong sambil mengibaskan rambut panjangku.

“Waduh, salah ngomong, jadi ge-er dia,” gumamnya.

Kami tertawa bersama.

“Yah, nggak dapat yang pas aja. Misalnya, aku suka seseorang, tapi dia nggak suka aku. Atau ada yang suka sama aku kayak Benny, tapi akunya yang nggak suka. Nggak pernah ada yang ‘klik’ gitu.”

Kami terdiam sesaat. Entah apa yang dipikirkannya di balik matanya yang sedang menerawang. Sementara aku menyambung kalimatku yang belum selesai, di dalam hati, “Aku berharap ‘klik’-nya sama kamu”.

“Keliling-keliling, yuk!” ajaknya tiba-tiba.

Kami berjalan bersama di dataran yang agak mendaki. Tidak ada apapun yang bisa dilihat di tempat ini selain pepohonan yang menggugurkan daun kering. Sayup-sayup aku mendengar nada merdu yang keluar dari mulutnya. Nada itu terhenti saat dia sadar, aku memperhatikannya.

“Aku suka banget menyanyi. Kalau bisa, aku pengen ikutan Indonesian Idol, hehehe…”

“Aku doain deh, semoga bisa lolos.”

“Amin. Oh iya, hari minggu besok di gerejaku aku ikut paduan suara untuk acara Paskah. Kamu bisa ke gerejaku?”

“Ah, di gerejaku juga ada acara Paskah. Kayaknya aku nggak bisa, deh,” kataku dengan sangat menyesal.

Dia menunduk sedih, “Sayang banget, padahal aku pengin orang yang penting bagiku, melihatku bernyanyi di atas panggung, karena ini pertama kalinya bagiku.”

Aku hampir terpeleset. Bukan hanya karena kata-katanya, tetapi juga karena saat itu kami sedang menuruni dataran. Lagipula aku sebenarnya takut dengan ketinggian. Angga menggenggam tanganku, agar aku tidak jatuh. Ini pertama kalinya aku bergandengan tangan dengan seorang cowok. Kami seumuran, tetapi tanganku tampak kecil di dalam genggamannya.

Saat inilah, baru bisa kurasakan jantung yang berdebar dengan kencang, darah berdesir-desir di bawah kulit, serta kupu-kupu yang sudah keluar dari kepompong berterbangan di dalam perutku. Setelah sampai di tanah yang datar, dia melepaskan tanganku yang sebenarnya tak pernah ingin kulepaskan.

Aku sadar penuh, aku menyukainya.

***

Sebuah Jawaban ✔Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang