Sampai detik ini Dega tak kunjung datang. Kemana ia pergi? kenapa ia tak tepati janji?
"Ayo pulang"
Suara mama membuat lamunanku buyar, sudah berapa kali mama mengucapkan kalimat itu dan sudah berapa kali pula aku menjawab dengan jawaban yang sama,
"Tunggu sebentar ma, Dega akan datang"
Mama menarik nafas, "Sudah lewat dari waktu yang ia janjikan bukan? lebih baik sekarang kita pulang, dan tanyakan kepadanya ketika kita sudah di rumah"
Aku mengangguk pasrah untuk meng-iyakan ajakan mama.
Di tengah perjalanan aku hanya melihat keluar kaca, memandang setiap jalan yang aku lalui, ya.. siapa tau melihatnya.
Ketika mulai memasuki daerah blok rumahku, aku dapat melihat ada beberapa bendera kuning dan tenda biru.
Rumah Dega tampak begitu ramai, banyak orang yang datang dengan pakaian serba hitamnya.
"Ada apa?" tanyaku pada mama
Mama menggeleng tidak tahu.
"Siapa yang mengahadap Tuhan?" seruku bermonolog dalam hati.
Saat papa menghentikan mobil, aku langsung membuka pintu dengan cepat, turun dengan perasaan gusar yang terasa semakin kuat.
"Ah tidak mungkin"
Aku masih berusaha untuk tidak berpikir bahwa Dega yang berada disana.
Aku merasa ada yang menepuk pundakku, oh ternyata mama dari Dega yang aku tunggu.
"Hai cantik, maaf ya Dega tidak bisa datang"
Tunggu, mengapa senyum mamanya terlihat berbeda?
"Dega dimana tante?"
"Ada di ruang tamu, temui sana. Mungkin untuk yang terakhir kalinya" jawab mama Dega dengan senyum pilu
"Terakhir kali? apa Dega ingin pergi?"
"Dia tidak ingin pergi, namun...sudahlah, temui saja sayang, kamu akan tau nantinya"
Aku mengangguk meski belum mengerti.
Aku berjalan memasuki ruang tamu, disana sudah banyak orang yang berpakaian serba hitam dan membaca rapalan doa dari kitab suci, entah untuk siapa.
Aku menyapu pandangan sekitar, tak ku temui dirinya, aku berjalan lagi, berjalan mendekati jasad yang terbaring di atas tikar dengan kain putih yang menutupi tubuhnya.
Aku membuka kain penutup, kini aku dapat melihat jasad yang telah terbaring untuk selamanya.
Oh tuhan..
Tubuhku terasa kaku, untuk menangis saja rasanya aku tidak bisa. Aku terlalu terkejut atas apa yang aku lihat.
Dega...
Iya.. Dega yang sedang terbaring dan ditutupi oleh kain putih, Dega sahabatku, sahabat yang sejak beberapa jam lalu aku nantikan kedatangannya.
Wajahnya masih terlihat tampan walau kulitnya sudah memucat, tangannya yang biasa memelukku erat kini kaku dan hampir membiru.
Tangisku pecah, aku meraung-raung memanggil namanya.
"Ternyata ini alasan kamu gak datang hah? iya? jawab Dega! tolong jangan diam seperti ini!"
Aku kembali menangis dengan hebat. Bukan untuk menunjukkan betapa sakit dan terpukulnya aku sekarang, tapi karena air mata dan rasa pedih ini sudah tak dapat ditahan lagi.
Andai kau tau, rasanya pedih sekali ditinggal orang yang kau sayang, apalagi ditinggal untuk selama-lamanya. Terlebih jika kau dipaksa oleh takdir untuk mengikhlaskannya.
Aku kembali bermonolog dalam hati,
Apa aku bisa tegar? bisa mengikhlaskannya yang selama ini menemaniku menjalani hari?
Mama memelukku dari belakang, mencoba memberikan semangat untukku.
Aku menatap mama dan mama balik menatapku dengan tatapan mengertinya.
"Sudah, ikhlaskan, biarkan Dega tenang di alam barunya"
Aku menggeleng, aku tidak bisa, ini terlalu cepat.
"Ikhlaskan sayang, perlahan kamu akan terbiasa"
Aku menatap mama, dan mama menganggukkan kepala.
Perlahan aku melepaskan pelukanku pada jasadnya, aku mulai mengambil buku yang sama seperti orang-orang berbaju hitam itu pegang, aku mulai membaca rapalan doa untuknya.

KAMU SEDANG MEMBACA
Aku, Kamu dan Memori
ContoSebaik-baik nya manusia merencanakan, pada akhirnya akan terkalahkan oleh rencana Tuhan yang lebih indah. Jadi apa perlu kita menyesali tentang apa yang telah terjadi? Aku rasa tak perlu, lebih baik kita mengenangnya disini. A short story by @Peachy...