Chapter 02

20 2 0
                                    

"..ia akan baik-baik saja, tenanglah"

Samar-samar suara itu memasuki keheningan dalam jiwa Inara, gadis itu bersusah payah mencoba menggerakan jari tangannya yang terasa sangat kaku dan juga seolah mustahil jika ia bisa melakukannya.

"..udah tiga hari loh kamu tidur, gak bosen apa?"

Suara itu terdengar menggema ditelinga Inara. Terasa dekat namun terlalu sulit untuk ia gapai, gadis itu masih tetap berusaha menggerakan tubuhnya yang kaku itu.

"... Cause your sky, Cause your sky, full of stars. I'm gonna give you my heart.."

Lantunan merdu suara itu seolah menggema disertai dengan rasa hangat yang menjalar di tangan Inara. Pemilik suara itu bernyanyi seraya menggenggam erat tangan gadis itu.

"..cause your sky, cause yor sky full of stars. Cause you lie of the path"

Hati Inara seolah berbunga ketika mendengar suara bass itu menyanyikan lagu favoritnya. Bersamaan dengan lantunan, rasa hangat mulai menjalar dari telapak tangan gadis itu.

Inara mencoba membalas genggaman dari tangan itu, dan berhasil sedikit demi sedikit tubuhnya bisa di gerakan. Dengan perlahan ia mencoba membuka matanya, awalnya terasa sulit namun pada akhirnya gadis itu bisa melakukannya.

Sesosok pemuda dengan senyum manis itu menyapa pandangan Inara. "Aa-lan?"

"Akhirnya kamu sadar juga. Abang dah khawatir dari kemaren, abang panggil dokter ya!" Ucap pemuda itu lalu berlari pergi menghilang dari pandangan.

Tidak berapa lama datanglah sesosok pria memakai jas putih yang kemudian tersenyum pada Inara.

Alan mengamati hal yang dilakukan Dokter ketika memeriksa adiknya. Pandangan pemuda itu tertuju pada badge-name milik dokter itu, Dr. Yuki Mahesa.

"Adikmu sudah tidak apa-apa kemungkinan 2 atau 3 hari kedepan ia bisa pulang kerumah. Jangan terlalu banyak ajak dia bicara, ya meskipun tak apa tapi keadaannya belum pulih total"Ucap Dokter tersebut sembari menatap Alan.

Inara mengerutkan dahinya seraya memegang kepalanya yang terasa sakit. "Kepalaku"

"Inara, kamu juga jangan sering menyentuh ataupun menggaruk kepalamu, takutnya nanti jahitan yang ada disana bisa lepas. Mengerti?"sambung Dokter itu seraya menjauhkan tangan Inara dari kepalanya.

Gadis itu mengangguk lalu tersenyum tipis "Terima kasih"

Alan tersenyum lalu membungkuk kearah Dokter tersebut "Terima kasih Dr. Yuki"

Pemuda berjas putih tersenyum sembari sedikit menunduk lalu keluar dari ruangan tersebut.
Sementara Alan ia mengamati Inara hingga pada akhirnya ia berbicara layaknya seorang Dokter "Jangan terlalu sering megang luka di kepalamu, jahitannya belum kering. Takutnya jahitan itu bisa lepas. Mengerti?"

"Hmm" Balas Inara seraya menatap datar Alan.

"Kenapa saat itu, kamu gak minta jemput sama abang, huh?" Pria itu langsung meleparkan pertanyaan itu pada Inara seraya menaikkan sebelah alisnya.

"Gak mau ngerepotin. Lagipula kalo nelpon pasti abang masih sibuk" Jawab Inara membuat alis pria itu kembali seperti semula.

Alan memegangi dagunya lalu melirik Inara "Ya juga sih. Tapi paling gak kamu telpon dulu apa, palingan cuma 25 menit nunggunya"

Inara menatap langit-langit rumah sakit yang bercat putih--semuanya putih termasuk dinding. Gadis itu mengerutkan dahinya ketika ia melihat jam dinding rumah sakit berwarna biru tergantung diatas televisi, ia teringat sesuatu ketika menatap warna biru--bus itu.

IllusionTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang