Ia tak berharap lebih, di ijinkan memeluk kekasihnya saja ia sudah bersyukur.
Gadis malang itu telah menahan rindunya selama ini, saat Tuhan mempertemukan mereka kembali ia sudah tak bernyawa. Membuat Jinny hanya bisa berdiam diri melihat Hanbin yang saat ini berdiri tepat di hadapannya.
Tangannya yang kecil mencoba memegang lembut wajah sang kekasih, namun usaha itu sia sia, ia tak dapat menyentuhnya, wajar saja kini Jinny hanyalah arwah tanpa raga.
5 menit saja.. Tidak.. 30 detik pun cukup jika ia di berikan kesempatan untuk memeluk Hanbin. Sungguh ia tak mampu lagi meredam rindu hingga liquid bening itu jatuh perlahan membasahi pipi halusnya.
"Aku merindukan mu" ia mencoba berbicara dalam isakannya, namun Hanbin tak dapat mendengar itu.
Jinan yang memperhatikan gerak gerik adiknya melalui balkon pun ikut merasakan kesedihan, matanya memerah saat melihat adiknya yang malang mencoba memeluk sang kekasih.
Tak ingin Hanbin mendengar isakannya Jinan memutuskan untuk pergi, namun drakkk ia menyenggol meja kecil yang berada di sampingnya.
Membuat pria bermarga Kim yang tengah memperhatikan potret keluarga itu memandang ke asal suara.
"Jinny..." ia berseru untuk memastikan.
Jinan yang kebingungan segera bergegas untuk masuk ke dalam kamar.
Jinny yang mendengar namanya disebut pun mengeluarkan senyuman kecil, ternyata Hanbin masih mengingatnya.
Namun tak bisa dipungkiri hati sedikit terluka karena pada kenyataannya Jinan lah yang Hanbin panggil.
Ingin ia menjawab "Aku di sini.. Di samping mu.." namun pria itu sekarang berlalu dari hadapannya, mengejar sang kakak yang mencoba menyembunyikan identitas.
Hanya helaan nafas yang bisa ia hembuskan untuk menahan tangis. Mengikuti sang kekasih yang saat ini tak dapat ia gapai.
"Jinny.. Ini aku!! Mengapa kau menghindar?" pria bernama Hanbin yang saat ini sudah berada di hadap pintu kamar Jinan mencoba menggedor pintu tersebut.
"Aku tidak menghindar Hanbin, aku di sini di samping mu.." Jinny yang mendengar Hanbin berbicara padanya pun menjawab pertanyaan itu dalam hati, karena mulut sudah tak mampu lagi berbicara, hanya air mata yang dapat ia keluarkan.
"Jinny.. Buka pintunya!! Apa aku melakukan kesalahan?" kali ini Hanbin menggedor lebih keras karena ia tak mendengar jawaban apa pun dari balik pintu itu.
"Aniyo.. Kau tidak melakukan kesalahan.. Aku yang salah telah meninggalkan mu" lagi Jinny menjawab pertanyaan kekasihnya itu, walaupun ia tahu Hanbin tak akan mendengarkan.
"Aku.. Aku sedang tidak enak badan.." akhirnya seseorang berbicara dari balik pintu, membuat Hanbin merasa sedikit tenang dari sebelumnya.
"Benarkah? Apakah itu parah? Bukalah Jinny, aku ingin melihat keadaan mu. Ku mohon.." Hanbin masih menganggap orang dibalik pintu itu adalah kekasihnya, dengan sedikit memelas ia meminta Jinan membukakan pintu.
"Aniyoo.. Nanti malam.. Mari bertemu nanti malam.."
"Wae? Jinny-ah kau tidak merindukan ku?"
"Ani Hanbin-ah aku merindukan mu.. sangat.. tap.." Jinny memang merindukan Hanbin, ia mencoba untuk memberi penjelasan yang sia-sia.
"Ku mohon untuk tidak bertanya.. Tentu aku merindukan mu, hanya saja saat ini, aku belum siap.." Jinan yang sudah putus asa, melakukan berbagai cara menghalau Hanbin menemuinya, bagaimana bisa ia menemui Hanbin dengan penampilan seperti ini, setidaknya ia harus berdandan agar terlihat seperti Jinny, batinnya.
"Baiklah.. aku akan kembali lagi nanti malam.." pria itu mengalah, ia tidak ingin berdebat lagi, ia yakin kekasihnya pasti memiliki alasan untuk ini. "Aku.. pulang dulu sayang.." dengan langkah yang berat Hanbin menjauh dari kamar itu, berjalan menuju pintu utama, sesekali ia melihat kembali ke arah kamar dengan seribu pertanyaan di kepala.
Jinny berjalan tepat di samping Hanbin, menemani sang kekasih menuju di mana mobilnya di parkirkan, matanya terus mengabsen detail wajah Hanbin, ekspresi yang melukiskan kekecewaan membuat Jinny sedikit terluka.
"Mianhaee.." kata itu yang ia ucapkan tepat sebelum Hanbin masuk dan mengendarai mobilnya menjauh dari tempat di mana ia berdiri sekarang.
Jinan merebahkan diri di atas ranjang, keraguan terus saja menghantuinya, sudah benarkah yang ia lakukan saat ini? Entahlah.. Ia hanya ingin membantu Jinny, setidaknya hal ini bisa membalas kebaikan yang Jinny lakukan semasa hidup.
"Oppa gomawo.." Jinny yang entah sejak kapan berada di sana menyadarkan Jinan dari lamunannya.
Pria bertubuh kecil itu memandang ke arah kembarannya, terlihat jelas kesedihan di wajah Jinny, bagaimana bisa ia menolak permintaan sang adik jika sudah seperti ini? "Lalu apa yang harus aku lakukan sekarang?" tanya Jinan.
Jinny berdiam sejenak, ia mencoba untuk memikirkan solusinya. "Oppa kemarilah.." ia berjalan keluar menuju ke arah kamarnya, Jinan yang sudah putus asa hanya melangkahkan kakinya mengikuti sang adik.
"Bukalah lemari ku.." Jinny menunjuk ke arah lemari menggunakan dagunya.
"Lalu?" Jinan masih tidak mengerti mengapa Jinny menyuruhnya membuka lemari, ia mencoba melirik ke dalam namun masih belum menemukan jawaban.
"Di atas sana.. ada sebuah wig yang dulu aku kenakan ketika rambut ku masih pendek.. kau bisa memakainya.. Lalu lihatlah laci yang berada di sebelah kiri mu, aku menyimpan alat make up ku di dalam situ.. Dan, bukalah pintu sebelah lemari ini, kau akan menemukan sedikit koleksi baju ku.."
"Kau benar-benar meminta ku untuk memakai ini?" Jinan masih tidak percaya dengan apa yang akan ia lakukan, Jinan yang selalu terlihat manly harus merubah penampilannya menjadi feminim.
Jinny memelas pada sang kakak karena Jinanlah satu-satunya harapan Jinny "Aku tidak pernah mengunakan riasan yang tebal, aku akan membantu mu berdandan, tidak akan sulit.." bujuknya.
"Aishh anak ini, baiklah, aku ak.. "
"Jinan.. Pada siapa kau berbicara? "
-tbc-
Cover by : Veoomize
KAMU SEDANG MEMBACA
TWIN
Fanfiction(Some chapter are private) Pada awalnya Jinan mendapat tugas untuk menyamar menjadi sang adik yang sudah meninggal, Jinny, namun seiring berjalannya waktu Jinan menemukan kejanggalan pada kematian adiknya. Ia berserta Hanbin, kekasih Jinny, memutu...