Bab 1.

23 1 0
                                    

“Lo belum bisa move on juga, Ar?”

Fiza menutup novelnya lalu mengarahkan tubuhnya menghadap Arfa yang tengah menyandarkan tubuh di samping salah satu tiang yang berada di luar kelas Fiza.

Arfa mengangguk dan mengembuskan napas pelan. “Susah, Za.”

Fiza berdecak dan menggeleng pelan. “Ar, lo sadar, kan? Kita udah kelas sebelas lho! Itu artinya udah hampir se-ta-hun, Ar. Udah hampir setahun lo putus sama dia.” ucap Fiza menegaskan kata setahun dan putus.

Arfa Sandy Andriko-lebih sering dipanggil Arfa- adalah sahabat Fiza sejak satu tahun yang lalu, lebih tepatnya saat mereka baru masuk di SMA Agrapana 6 yang ada di Jakarta ini. waktu itu, Arfa punya pacar yang ternyata adalah teman Fiza sejak mos. Mereka murid dari kelas yang berbeda, Arfa kelas X.2 dan Fiza kelas X.4.

Lambat laun Fiza mulai akrab dengan Arfa, karena setiap jam istirahat dan jam pulang sekolah, Fiza selalu ikut dengan Sheira dikarenakan hanya Sheira yang sudah cukup dikenal oleh Fiza sejak mos, dan karena dimana pun Sheira berada pasti akan ada Arfa di sampingnya, jadilah kemana-mana mereka selalu bertiga.

Akan tetapi, kekariban yang dirasakan oleh Sheira, Arfa dan Fiza tidak begitu lama. Sheira yang mulai merenggangkan hubungan antara dia dan kedua orang itu, lalu berujung dengan benar-benar memutuskan hubungan terhadap Arfa juga memutuskan komunikasinya dengan Fiza setelah keakraban mereka berdua-Arfa dan Fiza- semakin bertambah.

Arfa menoleh kearah Fiza yang bersandar di daun pintu. “Kan udah gue bilang susah, Za. Lo, sih, nggak pernah ngerasain putus, makanya nggak bisa move on. Jangankan putus, ngerasain pacaran aja belum pernah.”

Spontan, perkataan Arfa disambut dengan jitakan keras di dahinya yang berasal dari tangan milik Fiza.
“Enak aja. Nih ya, gini-gini juga gue pernah ngerasain gimana susahnya move on. Tapi gue nggak kayak lo tuh, yang gelisah galau merana dan gundah gulana,” cibir Fiza hiperbolis.

Ekpresi datar yang nyaris bisa dikatakan “meremehkan” dari wajah Arfa pun dengan cepat berubah. Tangan yang sebelumnya berada di dalam saku celana, serta-merta ia  lipatkan di depan dada seiring tubuhnya yang menghadap ke Fiza.
“Apaan tadi? Gue nggak salah denger?” ucap Arfa dengan mata yang mengintimidasi.

Pupil mata Fiza melebar serta mulutnya terkatup rapat. Ia merutuki lidahnya yang terlewat lancar untuk bicara. Mati, gue. Arfa pasti bakalan kepo banget nih.

“Fizaaa!!”
Gue bilang apa ya?

“Fizaaaa!!”
Boong aja kali ya?

“FIZAAAAA!!!”

“EHH IYA GUE BOONG,”

Teriakan Fiza berhasil membuat semua murid yang ada di dalam kelas menoleh ke arah mereka berdua dan dilanjutkan suara gedubrak yang cukup keras. Fiza dengan cepat memutar kepalanya untuk melihat ke dalam kelas dan mencari tahu sumber suara itu. Ternyata suara itu berasal dari meja milik Handri yang berada di sudut kelas.

“WOOOIII, bisa diem nggak, sih? Kalo mau teriak itu ya di hutan, jangan di kelas!!! Gangguin orang tidur aja,” gerutu Handri dengan suara serak.
“Apaan, sih, Handri? Lo juga salah kali. Tidur itu ya di rumah, jangan di kelas!!” tukas Tias yang berada di tengah-tengah perkumpulan para siswi pecinta gosip.

Handri kembali terbaring di bangku-yang sengaja ia susun agar pas dengan tubuhnya yang jangkung-dan menutup wajah menggunakan jaketnya. “Terserah gue, lah!”

Kemudian hening. Handri yang mungkin sudah menyambung mimpi di siang bolongnya, juga Tias yang tidak merespon lagi akibat Karis yang melanjutkan gosipnya tentang krim wajah-yang katanya bisa memutihkan wajah seputih Bella swan di film twilight-yang baru saja di belinya secara online tadi malam, tentang cowok ganteng yang di jalan tadi pagi, juga tentang Pak Roni yang sedang mengejar cintanya Ibu Sari-guru di SMA mereka.

ReasonTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang