Coba kalian tanya kepada seluruh pelajar yang ada di negara ini! Perisitiwa apa yang paling mereka tunggu-tunggu? Jawabannya tentu sama; pulang cepat dan mendapatkan jam kosong. Begitu juga anak kelas XI IPA 1 ini, sudah dua hari ini mereka mendapatkan jam kosong.
Kali ini, yang membuat semua siswa girang karena mendapatkan kabar bahwa Ibu Rita-guru matematika yang terkenal killer-berhalangan untuk mengajar dikarenakan lagi bulan madu bersama Pak Dana-yang juga sebagai guru matematika.
Hanya dengan kabar itu, tetapi sudah cukup membenarkan motto yang mereka buat di laci meja secara bersamaan. “Mau liat kita bahagia? Kurangi pelajaran matematika”.
Tadinya motto itu ingin Handri-murid ternakal di kelas XII IPA 1-buat di dinding belakang kelas, tapi dikarenakan mereka masih menghormati guru yang mengajar mereka dan ada sebagian murid yang tidak setuju sebab kelas itu masih didominasi oleh anak-anak super rajin dan super kutu buku, ya iyalah namanya juga IPA 1, maka Handri memberikan syarat agar mereka menulis motto di laci meja masing-masing.
Kesempatan emas itu juga dimanfaatkan oleh Fiza untuk melanjutkan membaca novelnya. Dalam jarak yang cukup singkat kelas yang tadinya ramai mendadak sepi. Fiza menurunkan novel dari pandangannya lalu matanya menangkap sosok ibu guru cantik nan muda sudah berdiri di depan kelas.
Kok bisa ada Bu Ana, sih? Batin Fiza menggerutu.
“Baik anak-anak, saya di sini menyampaikan amanat Bu Rita untuk mengerjakan soal esai di…”
“Assalamualaikum, Bu”
“Dari mana saja kalian? Ingat, ya, anak-anak, saat kalian berada dalam jam kosong, bukan berarti kalian bebas untuk keluar kelas, mengerti?!”
“Ngerti, Bu” ucap murid serentak dengan nada yang lemas.
“Ituu, Bu… saya tadi membeli buku paket,” Balas Handri. “Saya juga abis dari beli lem buat alat madding, Bu,” Lanjut Dani
“Buku Paket? Bolu kukus pancake dan ketan kali, Bu.” Sahut Ilva yang berada di baris meja pertama, tepat di hadapan Bu Ana berada. “Lem? Ohh lemper ya, Dan?” tambah Vivi yang berada di meja baris ke empat.
Sontak, sahutan asal yang dikeluarkan oleh Ilva dan Vivi berhasil membuat semua murid kelas tertawa, tak terkecuali dengan Fiza yang duduk sendirian di meja yang berada di dekat pintu keluar.
“Sudah, diam kalian!” bentak Bu Ana sembari mengetukkan spidol di papan tulis.
“Dan, di gigi lo ada cabe, tuh!” celetuk Fiza saat tawa semua murid sudah mereda.
“Fiza Tris…”
“Lo mau nipu gue gitu? Nggak bakal bisa weeiii… Apaan pake bilang di gigi gue ada cabe? Gue tadi makan batagor nggak pake cabe, lagi.” Balas Dani memotong ucapan Bu Ana.
Sesaat kemudian, dengan cepat Dani menutup mulut dengan tangan kanannya. “Oppsss… keceplosan,” lanjutnya sembari melirik Bu Ana yang hanya bisa menggelengkan kepala.
Tawa yang tadinya mulai mereda, kembali bergema di ruang kelas itu bersamaan dengan langkah kaki Dani dan Handri yang menuju bangku masing-masing.
“Baik anak-anak, Saya ulangi, kerjakan esai halam…”
Lagi, pembicaraan Bu Ana terpotong. Kali ini, bukan karena ada yang baru masuk lagi, tetapi karena adanya suara riuh yang berasal dari luar kelas. “Apa lagi ini?” ucap Bu Ana kesal.
Seluruh murid di SMA itu termasuk kelas XI IPA 1 langsung berhambur di lapangan setelah kepergian Bu Ana dari kelas mereka. Fiza tertegun dengan apa yang ia lihat di hadapannya sekarang. Sosok Arfa, sahabatnya, kini sedang beradu fisik dengan seorang murid dari kelas XII.
Darah segar mengalir di pelipis dan sudut bibir Arfa. Mengingat cuaca yang sangat terik kali ini, semakin membuat darah itu mengucur lebih deras.
Walaupun Fiza paling anti melihat kejadian seperti ini, tapi tidak untuk kali ini. Ia berlari menghampiri Arfa setelah perkelahian itu berakhir.
“Ar, lo kenapa kayak gini, sih?” bentak Fiza namun dengan nada yang gemetar.
“Gue emosi, Za. Bisa-bisanya si Reza nyakitin Sheira dengan mutusin Sheira,” Arfa mengangkat tubuhnya lalu duduk di atas kasur yang berada di ruang kesehatan. “Gue nggak bisa kalo ngeliat Sheira nangis, apalagi gara-gara sih brengsek itu,” balas Arfa dengan napas yang memburu.
“Tapi, nggak kayak gini juga, Ar. Inget janji lo sama gue. Lo bilang, walaupun lo dimasukkin ke kelas IPS, lo nggak bakal bikin onar di sekolah kayak anak-anak yang lain.” Fiza mengoleskan obat merah di pelipis Arfa, walaupun dalam kondisi penglihatannya yang mengabur disebabkan oleh selaput bening yang ada di matanya.
“Fiza, nggak perlu nangis! Lo malah nambah masalah tau nggak?” ucap Arfa ketus.
Selaput bening itu kini pecah, Arfa memanggil Fiza dengan namanya. Itu artinya Arfa sungguh membentak Fiza. Terulang lagi, setelah sekian lama saat Arfa belum akrab dengan Fiza, Arfa memanggil nama itu disaat ia emosi karena Fiza melakukan kesalahan kecil. Dan kini, Arfa kembali memanggil nama itu, padahal Arfa sudah sangat tahu, bahwa Fiza sangat lemah terhadap kekerasan dan kekasaran.
“Ja-jangan khawatir. Gu-gue nggak bakal nangis lagi,” ucap Fiza di sela-sela isak tangisnya. “dan lo nggak perlu berantem lagi, Karena gue bakal bantuin lo buat balikan sama Sheira.” Fiza memutar badannya lalu meninggalkan Arfa.
Fiza luluh saat ia melewati koridor yang sepi. Disana ia meluapkan tangisnya dengan leluasa.
To be continued😊😊
KAMU SEDANG MEMBACA
Reason
Teen Fiction"Aku tau apa yang membuat orang lain terutama orang tuaku bersikap seperti ini kepadaku, namun apa alasan itu juga berlaku bagimu?" Fiza dan Arfa adalah sahabat, dipertemukan dengan cara yang klasik, walau begitu, kedua orang ini mempunyai cerita di...