Bab 2

13 0 0
                                    

“Ya udah, lo jaga kesehatan, ya, Bang! Jangan lupa buat doain gue supaya ntar gue nyusul ke sana!” Fiza melihat wajah abangnya yang terpampang di monitor laptop miliknya.

Nggak mau, ah. Gue nggak mau doain lo kayak gitu. semoga aja lo nggak bisa kuliah,” Dilihatnya abangnya menjulurkan lidahnya di akhir pembicaraan mereka.

“Aneehh… punya abang kok nggak mau dukung adeknya buat kuliah.” Fiza menutup layar laptopnya lalu mengambil novel yang berada di atas lemari untuk dibaca.

Fiza naik ke kasur lalu menyandarkan tubuhnya menggunakan bantal. “Apa jangan-jangan gue emang ditakdirkan nggak kuliah? Ahhh kok gue mikir kayak gitu, sih?”

Fiza menggelengkan kepalanya dengan cepat sembari membuka sampul novelnya. “ohh gue tau, mungkin gue dikasih petunjuk kalau gue beneran bisa jadi penulis? Iyaaa… semoga aja deh,” racau Fiza yang kemudian terbawa arus ke jalan cerita novel yang di hadapannya.

“Fiza!”

Fiza gelabakan saat ia mendengar ketukan pintu kamarnya yang bersamaan dengan suara panggilan dari mamanya. Dengan cepat ia menutup novel dan meletakkannya di balik bantal yang tengah dijadikan tempat bersandar lalu mengganti buku itu dengan buku tebal yang berisikan pelajaran Sains di dalamnya.

“Masuk aja, Ma.”

“Bagus! Mama kira kamu nggak belajar, ternyata Mama salah. Belajar yang bener biar bisa seperti Abangmu!” ucap Mama memegang knop pintu lalu menutupnya kembali setelah ia mendapatkan gumaman serta anggukan dari Fiza.

Fiza mempunyai kakak kandung satu-satunya yang bernama Gilbran. Gilbran baru saja menduduki bangku kuliah bersamaan dengan Fiza saat naik ke kelas XI. Ia berhasil meneruskan pendidikannya ke salah satu Universitas ternama yang ada di Bandung sebagai mahasiswa di Fakultas Kedokteran.

Karena itu, Fiza diminta agar ia bisa menyamai kedudukan abangnya. Ia menerima permintaan mamanya, walaupun harus membohongi Mama dan dirinya sendiri, karena sebenarnya Fiza tidak tertarik untuk menjadi dokter.

Fiza kembali menukarkan buku yang ia baca dengan buku novel yang sebelumnya. Satu ide terlintas di benaknya. Fiza turun dari kasur lalu menuju meja belajar dan mencari salah satu buku yang tersusun rapih di rak buku.

“Ini dia.” Fiza menemukan buku diary-yang mempunyai fungsi ganda sebagai tempat ia menyalurkan ide-idenya. Ia berharap imajinasi yang ia dapat dan ia tuliskan di diary ini dapat ia terbitkan agar semua orang tahu sedikitbanyaknya tentang kehidupan yang ia jalani. Seperti tulisan yang ia buat di tengah-tengah lembar pertama diary-nya. “Menulislah! Karena dengan menulis, kau akan menjadi abadi.”

Fiza meraih handphone-nya, dan mulai memutar koleksi lagu klasik dari dentingan piano kesukaannya dengan volume yang sengaja dikecilkan agar pendengaranmya masih befungsi untuk menangkap suara panggilan dari Mama nantinya.

Dengan pelan ia menghembuskan napasnya dan memulai untuk melanjutkan kerangka-kerangka naskah yang sudah ada sebelumnya.
“Awww…” Fiza menutup diary-nya saat ia merasakan nyeri yang berasal dari perutnya. 20:22, dilihatnya empat angka itu tertera pada jam yang berada di atas nakas.

Fiza mem-pause musik dari ponselnya-tanpa memeriksa apakah ada pesan atau semacamnya- lalu beranjak dari tempat duduknya dan melangkah ke luar kamar untuk memeriksa keadaan dapur.
Sepi, batin Fiza. Langkah Fiza terhenti saat ia melihat mamanya yang sedang sibuk berkomunikasi dengan ibu-ibu kelompok arisan.

“Mama udah makan?”

“Em? Oh, udah kok.” Dengan santai Mama menjawab pertanyaan Fiza denga mata yang masih mengarah ke layar ponsel yang sedang digenggamnya.

Fiza hanya menggumam. Dilanjutkannya langkah kakinya menuju tempat Papa berada. “Pa, udah makan?”

Mata Papa sempat melirik Fiza, namun hanya untuk hitungan detik. Detik berikutnya, mata Papa sudah beralih ke layar laptop di hadapannya yang dilanjutkan sibuk membalik berkas yang tertumpuk di samping laptopnya. “udah, kok. Bareng mama tadi.”

Jawaban yang diberikan oleh kedua orang tuanya nyaris membuat air mata Fiza menggenang di matanya. Rindu. Fiza rindu akan keharmonisan keluarganya yang dulu, saat dimana Fiza seakan tidak pernah merasakan adanya masalah jika ia berada di rumah ini. dan kini? Semua itu berbalik.

Sejak keluarganya sudah menjadi orang yang berada, saat orang tuanya sudah mendapatkan pekerjaan yang berlimpah hasilnya, dan saat Gilbran berhasil masuk sebagai calon dokter yang juga berhasil membuat Gilbran menjadi anak kebanggaan orang tuanya, semua keharmonisan dan semua keadilan yang Fiza rasakan sebelumnya menghilang dengan sendirinya
.
Seperti saat ini. Dulu, saat memasuki jam makan, di rumah ini akan senantiasa terdengar panggilan ajakan untuk berkumpul di meja makan. Dan setelah berada di meja makan, senyuman, candaan, akan senantiasa menjadi jeda saat makan. Kini semua itu hanya berlaku jika Gilbran liburan dan pulang ke rumah mereka. Itu pun yang menjadi jeda dalam proses makan hanyalah pertanyaan-pertanyaan yang diajukan pada Gilbran, candaan orang tuanya terhadap Gilbran, dan sosok Fiza yang hadir, hanyalah sosok yang nyata namun terabaikan.

Saat ini, saat tidak adanya kehadiran Gilbran di rumah, jangankan candaan yang ia dapatkan di meja makan, ajakan makan pun tak pernah ia dapatkan. “Fiza makan dulu ya, Pa, Ma.”

Tidak ada jawaban. Fiza menyuapkan nasinya dengan perlahan, selaput bening yang membendung perlahan mengalir dengan sendirinya seiring kenangan yang terlintas di benaknya.

Dengan langkah yang lemah, Fiza membawa piringnya menuju ke tempat pencuci piring. Di rumah ini memang tidak mencari pembantu, satu-satunya pekerja yang diterima di rumah ini hanyalah sopir yang bertugas mengantar jemput Fiza kemana pun. Akan tetapi, Fiza sangat bersyukur, karena tidak adanya pembantu rumah tangga menjadikan Fiza lebih mandiri.

Kok masih sakit sih? Gumam Fiza sembari membilas piringnya. Sesekali ia menggigit bibirnya untuk menahan perutnya yang sakit.

Praaang.

Fiza tidak kuat menahan sakit yang ia rasakan di bagian perutnya. Tangannya yang lemah tidak sanggup lagi menahan piring yang juga dalam keadaan licin. Nyeri perut yang ia rasakan dengan cepat berubah menjadi mual yang langsung menjalar ke atas.

Fiza langsung berlari menuju kamar mandi dan menghiraukan pecahan piring yang berhamburan di lantai dapur.

“uweeeeekkkk.” Pening dengan perlahan menjalar ke kepala Fiza setelah rasa mualnya mereda. Ia memutar keran wastafel lalu membersihkan mulut dan wajahnya.

“FIZA!”

Fiza menutup kerannya dan berjalan ke arah dapur mengikuti sumber teriakan dari papanya. Dilihatnya Papa yang berkacak pinggang dengan wajah yang merah padam berada di samping Mama yang mempunyai ekspresi yang nyaris sama.

“Kamu itu, yah! Udah remaja masih aja teledor, lain kali hati-hati!” ucap Papa dengan nada yang semakin meninggi.

Fiza tertunduk dan menggelengkan kepalanya dengan pelan. “Ma-maaf , Pa. tadi perut Fiza mual.”

“Paling itu karena mag kamu. Makanya, udah tau kalo punya mag, makan itu dijaga, jangan kelewat kayak gini,” balas Mama ketus.

Fiza telat makan karna nunggu kalian, Pa, Ma. Taunya kalian udah duluan.
Kata-kata itu sempat terbesit di hati Fiza dan dirasa sudah berada di ujung lidahnya.

“Maaf, Ma.” Tidak, Fiza tidak akan pernah mengatakan hal-hal yang sebelumnya terbesit di hatinya, walaupun orang tuanya berkata salah, Fiza tidak akan pernah bisa mengeluarkan kata-kata yang justru semakin menyulut amarah orang tuanya, yang hanya ingin Fiza dapatkan hanyalah  raut wajah bangga dan senyuman dari orang tuanya untuk Fiza.

Jika tidak bisa mendapatkan itu, tidak menghadirkan amarah di wajah orang tuanya saja itu sudah cukup membuat rasa senang tersendiri di hatinya.

“Ya sudah, beresin pecahan piring ini dulu, setelahnya kamu langsung ke kamar dan belajar!” ujar Mama dan berlalu menyusul Papa yang lebih dulu ke ruang tamu.
   
To be countiued😊

ReasonTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang