Pagi ini Fiza menyusuri koridor sekolahnya dengan langkah gontai. Kejadian yang dialaminya tadi malam membuatnya tidak bisa tertidur semalaman karena air matanya yang terus mengalir. Wajah lusuh dengan kantung mata yang membesar dan menghitam masih senatiasa terlihat walaupun Fiza sudah berusaha menyamarkannya.
"Fiza!"
Langkah Fiza terhenti saat didengarnya seseorang memanggil namanya dari arah belakang. Dengan malas Fiza berbalik dan dilihatnya badan milik Arfa yang tengah berlari kecil kearahnya.
"Arfa? Tumben lo udah dateng jam segini!" celetuk Fiza dan kembali membalik badannya.
Arfa berhenti sejenak, mencerna kembali apa yang diucapkan oleh Fiza.
"Apaan? Lo tuh yang tumben telat dateng. Lo nggak liat ya, sekarang udah jam berapa?" Tanya Arfa setelah ia berhasil menyejajarkan langkahnya dengan Fiza.
Mendengar pertanyaan Arfa, Fiza langsung mengangkat pergelangan tangannya untuk dapat melihat jarum jam yang melekat disana.
"Ya ampun, enam lewat empat puluh! kok gue bisa telat gini sih?" raut lemas Fiza mendadak berubah jadi gusar. Ia mempercepat langkahnya tanpa mempedulikan kata-kata Arfa yang dilontarkan karena ditinggalkan oleh Fiza.
"Astaga Fiza, kok gue ditinggal. Stop dulu deh! Gue mau ngomong. Lagian nggak terlalu telat, kan masuknya jam tujuh" Ucap Arfa yang berhasil menghadang jalan untuk Fiza.
Walaupun terpaksa, Fiza masih menuruti perintah yang diberikan oleh Arfa. Daripada memperpanjang masalah dan akhirnya malah tambah bikin telat, mending turutin aja. Pikir Fiza.
"Nah gitu dong! Gue mau ngomong soal--- ehh bentar lo kenapa, Za? Kok mata lo bengkak gitu? Lo nangis?" ucap Arfa.
Fiza mengembuskan napas pelan lalu memutar bola matanya. "pertanyaan yang mau banget dijawab yang mana?" Fiza melanjutkan langkahnya namun kali ini secara perlahan beriringan dengan langkah Arfa yang berada di sampingnya.
Bukannya langsung menjawab pertanyaan dari Fiza, Arfa malah memperlihatkan seringaiannya. "Maaf mbak bro, gue cuma khawatir aja. Ya udah gue ulang, apa yang udah bikin lo nangis?"
"Lo," jawab Fiza datar
Jawaban Fiza sukses membuat Arfa terngangah dan memberhentikan langkahnya sejenak."Gu-Gue, Za? Kok gue? Emang gue abis ngapain lo-"
"Astaga, Arfa. Mulutnya kok lancar banget sih?" tukas Fiza memotong pertanyaan Arfa. "Lo nggak inget, kemaren lo ngebentak gue setelah lo ngelanggar janji buat nggak berantem lagi?" ujar Fiza sinis.
"Eh? Jadi lo bener-bener marah, Za? Iya? Aduhh maaf banget, Za, lo kan tau kalo gue emosi nggak bakal ada yang bisa ngontrol gue, jadi maaf banget ya! pantes sms gue tadi malem nggak lo bales,"
Fiza memutar bola matanya, lalu berfikir sejenak, "heh?" gumamnya heran. Kali ini langkah Fizalah yang mendadak terhenti. Dengan cepat ia merogoh ponsel yang ada di saku roknya.
"Duh, Ar! Lo tadi malem sms gue yak? Maaf banget ya, Ar. Gue nggak tau." Sesal Fiza seusai mengecek handphone-nya yang berisikan pesan masuk dari Arfa.
Arfa memicingkan alisnya sebelah, "bentar, Za! Lo nggak bales sms gue gara-gara nggak tau? Itu berarti lo nggak marah sama gue? Lah trus yang bikin lo nangis siapa?"
"Gue jelasinnya nanti aja deh, Ar. Tiga menit lagi mau masuk nih," ujar Fiza dengan raut memelas.
Arfa mengembuskan napas pelan, sedikit kecewa karena tidak langsung mendapat jawaban dari Fiza, "ya udah, deh. Gue tunggu di kantin pas jam istirahat nanti yah!" balas Arfa akhirnya sembari mengacak rambut Fiza lalu berjalan meninggalkannya tepat di depan kelas Fiza.
KAMU SEDANG MEMBACA
Reason
Teen Fiction"Aku tau apa yang membuat orang lain terutama orang tuaku bersikap seperti ini kepadaku, namun apa alasan itu juga berlaku bagimu?" Fiza dan Arfa adalah sahabat, dipertemukan dengan cara yang klasik, walau begitu, kedua orang ini mempunyai cerita di...