delapan

1 0 0
                                    

.

Melia berlari, ralat, berjalan cepat menuju ke arah ruang kerja ayahnya berada. Tanpa permisi terlebih dahulu, ia langsung membukanya kasar. Tapi sayang, ia hanya disambut oleh angin dari dalam ruangan tersebut.

Ia menutup pintu itu kembali dan berjalan ke arah dapur. Membawa amarah yang sekali-kali dapat meletus memecah kepalanya.

Disana. Kedua orang tuanya tengah berbincang di meja makan dan tersentak mendapati dirinya sudah berada seruangan dengan mereka.

"Melia? Nice timing. Kemarilah, makan malam-"

"Daddy, kita perlu bicara." ucap Melia datar memotong ucapan ibunya.

Lucas menoleh ke arah putrinya. "Sangat tidak sopan. Dimana ibumu masih berbicara-"

"Apa perlu kuulangi? Daddy, kita perlu bicara." titah Melia tidak ingin dibantah. Tidak saat ini.

Lucas mengernyit lalu menaikkan alisnya acuh, "Bicaralah disini saja. Turuti perkataan ibumu tadi,"

Melia menatap ayahnya geram. Tapi tak urung akhirnya ia menuruti perintah ayahnya itu.

"Dad,"

"Hm?"

"Sampai kapan Daddy akan seperti ini?" ia menatap wajah lelah ayahnya.

Kedua alis Lucas menyatu, "Apa maksudmu, sayang?"

"Apa Daddy memang ingin bermain-main lagi dengan putri bungsumu ini? Dad, batalkan rencana gilamu itu. Please," rujuk Melia dengan tatapan kesal yang masih kentara.

Lucas menatap istrinya. Mencari peralihan agar putri tidak semakin berbuat ulah diluar kendalinya.

Grace seakan mengerti dengan kebungkaman suaminya, mencoba berbicara dengan anaknya itu.

"Melia, kurasa sebaiknya kamu makan malam dulu, ya?"

"Mom, apa sekarang waktu yang tepat untuk makan malam?" ucap Melia tidak mengalihkan pandangannya.

Grace langsung terdiam menyadari perubahan sikap anaknya. Ia memilih untuk mundur dan membiarkan putrinya kembali berdebat dengan suaminya.

"Dad, tidak bisakah daddy berpikir lebih logis lagi? Kenapa harus aku, dad? Kenapa daddy tidak mencari dahulu dimana Alex sekarang?"

"Keputusan sudah bulat, sayang. Pihak orang tua Jovian juga sudah menyetujuinya,"

"What?! Dad, kenapa daddy gak pernah bilang ke aku? Kenapa semuanya begitu tiba-tiba?" rengek Melia meminta penjelasan dengan takdir hidupnya yang berbanding terbalik dengan apa yang selama ini ia inginkan.

"Maaf sayang, semuanya sudah daddy persiapkan sebaik mungkin. Daddy, tidak ingin mengulang kesalahan yang sama."

"Tapi dad, apa semua ini akan berjalan baik padaku? I mean, aku masih muda dan banyak yang ingin aku capai. Kenapa buru-buru sekali menikahkanku?"

"Melia, salah satu penyebab dan jawaban atas semua pertanyaanmu adalah kakakmu sendiri, Alex."

Melia terdiam. Lalu sedetik kemudian ia menggeleng. Mematahkan persepsi ayahnya bahwa ini semua bukanlah salah kakaknya. Ini semua adalah kesalahan ayahnya sendiri.

"No, Dad. Ini semua bukan salah Alex," Melia mengucapkannya dengan pelupuk mata yang kian terasa pedih. Membuatnya harus mengedipkan mata yang malah menjatuhkan setetes air mata.

Setidaknya dengan ia menangis, amarah yang menyelimutinya berangsur-angsur meredup.

"Ini salah Ayah. Semuanya dan dari awal, ini memang kesalahanmu,"

*

Pukul 7.30 pm

Suasana di ruang makan terasa sangat sepi dan hanya diisi oleh seorang gadis yang tengah memakan makan malamnya dengan tidak nafsu.

Pikirannya melayang kemana-mana. Ia bahkan tidak bisa merangkai semua pikirannya sendiri yang saat ini lalu lalang tak tentu arah di otaknya.

Apakah aku melakukan kesalahan? Bodoh. Tentu saja.

"Melia," sesosok wanita paruh baya berjalan dengan lemah kearahnya. Ia berusaha memberikan senyuman terbaik yang bisa ia lakukan.

"Ya?"

Grace mengalihkan sejenak pandangannya ke arah piring putrinya lalu tersenyum kecut.

"Apakah makanannya tidak enak?"

"Tidak! Sungguh, masakan Mommy memang yang paling terbaik!" ucap Melia kosong dengan kedua jempol terangkat.

Grace menatap prihatin. Bukan seperti ini Melia yang seperti biasanya. Ia menghela nafas dan menggenggam tangan putrinya.

"Mommy sudah berusaha bicara dengan Ayahmu,"

Grace menunduk membuat Melia semakin penasaran dengan kelanjutan kalimat ibunya.

"Tapi Ayahmu memang keras kepala. Keputusannya sudah bulat dan ia tidak ingin diganggu gugat,"

Kini giliran Melia yang tertunduk. Apa-apaan? Sebegitu teganya seorang Lucas Cassius membiarkan putrinya sendiri menderita hanya demi mengembalikan nama baik keluarganya.

"Tapi, Mommy mohon padamu dengan sangat, sangat sekali, Melia. Tolong kali ini saja, turuti perintah Ayahmu."

"Kenapa aku harus menurutinya, Mom. Kenapa bukan Alex yang seharusnya dihukum?"

Grace memejamkan matanya lelah. Lalu tersenyum pahit mendengar kalimat yang baru saja terlontar dari bibir putrinya.

"Apapun itu, apapun semua persepsi buruk tentang ayahmu, ini semua beliau lakukan juga demi kebaikanmu, sayang."

Melia melepaskan genggaman tangan ibunya membuat Grace terhenyak.

"Aku membencinya," lirihnya.

"Sayang, ketahuilah bahwa sekarang kondisi ayahnya sangat kacau. Berita bahwa kakakmu yang menghilang di hari H pertunangannya, membuat ayahmu  kalang kabut."

"Ini salah Alex yang egois," lirihnya lagi.

"Benar, ini salah Alex. Mommy tau, saat ini kamu sangat marah pada semua orang. Tapi percayalah, semuanya akan dapat kamu pahami seiring dengan berjalannya waktu."

"Tapi ini salah Daddy karena membiarkan egonya merenggut kebahagian orang lain!" lirih Melia final dengan tangan terkepal kuat.

Grace menatap putrinya tidak terbaca. Merasakan getaran amarah dari gadis di depannya yang kini bernafas dengan berat tanpa sebab.

"Mom,"

"Iya, sayang?"

"Apa Mommy tahu, kalau Alex dan Jovian tidak memiliki perasaan satu sama lain?" sebelah alis Grace terangkat.

"Apa maksudmu, sayang?"

"Mom, apa kau sungguh tidak tahu?" Melia mengangkat kembali kepalanya. Segelintir perasaan geli merambat di perutnya.

"Apa yang kau bicarakan? Mereka sudah bersama selama hampir 10 tahun. Sudah pasti mereka saling mencintai,"

"Apa Daddy juga tidak tahu hal ini? Tentang mereka yang sebenarnya tidak memiliki perasaan satu sama lain?"

Grace terdiam. Entah ia harus menjawab apa untuk pertanyaan putrinya yang satu ini.

Melia tertawa sumbang dengan pandangannya yang kosong. Lalu ia kembali menatap ibunya dengan tatapan yang sangat aneh.

"Entah ini hanya perasaanku saja atau tidak, tapi kurasa tindakan Alex ada benarnya juga."

Grace semakin menyatukan alisnya bingung. Sebenarnya apa yang dibicarakan oleh putrinya ini.

"Mom, maaf aku harus mengatakan ini. Tapi sungguh, kalian ini benar-benar bodoh, ya?"

Hening. Ingin sekali Grace memarahi ucapan kasar putrinya yang kelewat batas itu. Tapi entah, sesuatu hal seolah mengurungkan niatnya tersebut.

Dengan sebal, Melia mendecak, "Ah, sial. Aku sudah mengatai orang tua Jovian bodoh terlebih dahulu,"

SCANDALTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang