NICA

9 2 0
                                    

***

Ku rasakan sesuatu menghampiriku setelah Alev pergi. Rasa ini selalu mendampingi dimana pun aku berada, kesepian. Aku tau karena sikapku yang pendiam dan misterius membuatku tak punya teman selain Alev. Tapi aku lebih suka seperti ini, hidup tenang tanpa ada gangguan dan kasat mata dari pandangan orang lain.

Ku ambil sebuah fhoto berbingkai hitam dan ku pandangi tanpa suara pada fhoto yang memperlihatkan wajah bahagia sebuah keluarga. Air mataku tak mampu menetes namun hatiku sedang menangis, ku sentuh wajah perempuan muda sekitar awal 30an yang tersenyum pada fhoto itu. Ku berikan senyum terbaikku padanya, namun ku berikan tatapan tajam dan penuh amarah pada laki-laki yang berdiri disampingnya. Laki-laki yang tega menghancurkan hidup istrinya sendiri demi wanita jalang yang bertumpu pada kecantikan. Aku benci mereka,

Aku............

"Non, nyonya dan tuan udah pulang, mereka menunggu nona diruang keluarga", ucap seorang perempuan tua dengan halus, Bi Oci -asisten di rumahku-.

"Maaf bi, tapi aku ga punya keluarga. Bilang pada mereka, keluarga yang ku punya cuma mamah", jawabku dingin.

Setelah mendengar jawabanku, Bi Oci segera pergi, mungkin untuk melaporkan jawabanku pada tuan yang sangat dihormatinya itu. Ah ya dan nyonya kebanggaannya. Jujur, aku juga ga terlalu suka dengan Bi Oci karena dia dipekerjakan atas permohonan ibu tiriku. Aku lebih suka diasuh oleh ibu kandungku sendiri, bukan perempuan yang mengaku-ngaku ibuku. Tapi ayahku tak pernah mengerti itu.

Kini pandanganku tertuju pada langit-langit kamar yang berhiasi bintang buatan. Itu lukisan ibuku, dia sangat pandai melukis dan aku selalu mengagumi setiap lukisannya. Sudah 4 tahun sejak aku terpisah dari ibuku. Aku gatau dimana dia sekarang, bagaimana kabarnya. Tapi aku rindu ibuku, aku yakin aku akan bertemu dengannya lagi, meski pun dia tak akan mengingatku dengan perubahan yang terjadi padaku.

Dulu aku selalu tampil PD dengan rambut pendek berwarna cokelat muda tanpa poni dan dua bola mata yang berbeda warna, mata kananku coklat seperti daratn sedangkan mata kiriku sebiru lautan. Namun kini, aku tampil lugu dengan rambut panjang berwarna hitam beserta poni dan lensa hitam pekat disertai kaca mata hitam. Entahlah, aku juga bingung kenapa aku ingin berubah tapi yang jelas itu karena perpisahan ayah dan ibuku.

***

Pagi menjelang dengan segala sinarnya. Akhirnya pagi ini tiba, aku bisa bebas pergi dari rumah ini -tentu saja menuju sekolahku- segera kuambil tas sekolah dan berjalan menuju garasi dimana Pak Nan, sopir pribadiku berada.

"Pagi Pak Nan", sapaku.

"Eh non Nica, pagi juga non. Udah mau berangkat ?", tanya Pak Nan.

"Iya pak, antar aku kesekolah ya", jawabku.

"Siap non, keliling dunia pun siap bapak antar", gurau Pak Nan dan kubalas senyuman.

Aku ingin tertawa mendengar gurauannya. Tapi aku tak bisa, selama ini kehidupanku suram dan penuh kegelapan. Aku tak bisa teratawa, hanya senyum yang dapat kulakukan. Aku ingat dulu ayahku pernah bilang bahwa tawaku sangat manis. Namun aku tak suka bila dia yang bicara. Bagiku semua yang dia sukai adalah hal yang ku benci.

Tanpa menunggu lagi, aku segera memasuki mobil dan selang 10 menit. Aku telah sampai didepan pintu gerbang sekolah, dari dalam mobil ku lihat sekolah sudah mulai ramai padahal masih jam 06.20, sungguh rajin murid SMA Putih ini.

Ketika ku tolehkan pandanganku pada kaca sebelah kiriku, ku lihat Alev sudah memperlihatkan sederet gigi putihnya. Seandainya aku bisa seperti itu. Ku raba bibirku yang kaku dan segera mungkin aku keluar dari mobil.

"Makasih pak, jemput lagi jam 3 ya", ucapku setelah keluar dari mobil.

"Iya non", jawab Pak Nan sembari memutar arah mobil.

"Yuk Nic", ajak Alev padaku. Namun dia sudah berjalan duluan, mana bisa ku bantah. Ini memang sifat Alev, tak bisa di lawan deh.

Ku ikuti langkah Alev sampai tiba di depan sebuah kelas bertuliskan. 10 IPA-5, ini kelas Alev. Dan kelas ini adalah kelas buangan, tapi aku tidak emngerti kenapa pararel pertama disekolahku bisa masuk kelas ini. Bukannya lebih baik dia masuk kelasku 10 IPA-1, kelas murid pintar. Ah ya, aku lupa dia sangat brutal.

Ku lanjutkan langkahku menuju kelas paling ujung di lantai 3, 10 IPA-1. Di sepanjang perjalanan ku lihat berbagai siswa dari kelas 10-12 berjalan menjauhiku, ku tundukan kepala ketika mendengar beberapa ucapan.

'Eh ini anak aneh yang ga pernah ngomong itu kan ?'

'Masa sekolah favorite gini bisa nerima dia'

'Penampilan culun gitu mah buang aja, gampang banget di bully'

'Tapi denger-denger dia punya kemampuan muncul tiba-tiba'

'Jauh-jauh aja yuk'

Aku tau karena poni panjang yang menutupi hampir seluruh wajahku dan berat badanku yang ringan. Aku bisa berjalan tanpa suara, sehingga murid lain menganggapku muncul tiba-tiba. Setahuku, aku berjalan normal dengan kaki menapak pada tanah.

Tunggu, aku merasa ada tatapan mengikuti gerak langkahku lagi. Sejak awal masuk SMA ini, mata itu selalu memandangku, meski yang lain menganggapku tidak ada.

Kegelisahan beriringan denganku, ku cari pandangan mata itu. Sulit mencarinya dalam situasi ramai seperti itu. Tapi aku yakin dia ada, mata itu ada.

Aku melihatnya, dia berada di balik jendela kelas 10 IPA-2, kelas di sebelah kelasku. Sekilas aku hanya bisa memandang wajahnya karena dia langsung menghilang. yang ku ingat dia memakai jaket abu-abu dengan topi yang menutupi wajahnya. Misterius, itulah yang ku pikirkan.

***

Liontin Hitam Club Kesenian.Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang