NICA

6 2 0
                                    

***

Pelajaran berlangsung lama. Ku pandangi Pak Rinan guru biologiku mengajar dengan sabar, selain mengajar biologi Pak Rinan juga sering membantu guru piket mengurusi murid yang telat dan salah satu murid telat tersebut juga murid kesayangan Pak Rinan, Alev. Kalian bisa menilaikan bagaimana Alev, tapi aku salut dia selalu menjadi juara 1.

Bosan memperhatikan Pak Rinan. Pandanganku beralih pada jendela di sebelah kiriku -kebetulan aku duduk di barisan ke-2 paling pinggir sebelah kiri- Pandanganku langsung tertuju pada lapangan futsal, tidak-tidak lebih tepatnya pada murid berseragam olahraga dengan topi abu-abu yang juga melirikku . Dari pandanganku sekarang, aku tidak bisa menebak apakah dia laki-laki atau perempuan karena sebagian tubuhnya tertutupi pohon.

Aneh, apa yang mecolok denganku, kenapa dia terus memandangku. Setahuku, bahkan para guru pun jarang ada yang mengingat namaku meski aku juara ke-2 setelah Alev. Ku pandangi lagi ke arah lapangan futsal tapi dia sudah menghilang, lagi. Aku penasaran dengannya, sudah setengah tahun aku bersekolah di sini tapi aku belum pernah berpapasan dengannya. Padahal...........

"Permisi Pak Rinan, saya ingin mengantarkan murid baru", ucap seorang perempuan berambut kribo pendek, Bu Rena kepala sekolahku. Sontak semua siswa di kelasku menoleh dan beberapa laki-laki berbisik.

'Kira-kira cewek apa cowok ya'

'Gue sih pengennya cewek cantik, cewek disini pada ga normal sih'

'Bener tuh'

"Masuk Ryn", ucap Bu Rena lagi. Ryn ? Marynkah ? atau Ryndia ?

Ku lihat seorang perempuan manis berambut sebahu dengan berbagai aksesoris di dampingi kardigan biru yang membuatnya terlihat cocok untuk menjadi cewek populer dalam sekejap.

"Silahkan perkenalkan diri", ucap suara bariton Pak Rinan.

"Halo, nama gue Alyn Vindya Levala Wi Sanata", sontak aku ingin sekali menertawakan suara cadel r-nya itu. Terdengar lucu bagiku, tapi tidak dengan yang lain. Mereka malah langsung menyapanya.

"Halo Aryn", ucap sebagian besar siswa yang dibalas anggukan sopan dari Aryn.

"Kalo begitu saya tinggal dulu pak", ucap Bu Rena.

"Oh baik bu", jawab Pak Rinan, setelah itu Bu Rena pergi dan ku lihat Pak Rinan mengintruksikan Aryn untuk duduk di bangku paling belakang.

Pandanganku tertuju pada Aryn, seperti ada yang familier dengan wajahnya, hanya gelar Wi Sanata yang ku tau. Menurut ayahku, keluarga itu juga cukup terkenal dan kaya, hanya berbeda 2 tingkat di bawah keluarga Joclyn, keluargaku.

***

Mana sih dia, rasanya aku ingin marah karena mencarinya dari tadi. Sudah setengah jam sejak bel pulang sekolah berbunyi, tapi aku belum bertemu Alev, setahuku dia akan pulang 10 menit sebelum bel berkumandang. Yang buat aku tambah kesal itu, semua murid yang bertemu denganku malah pada kabur, inilah yang tak ku suka. Aku memang ingin kasat mata, tapi bukan untuk di jauhi.

Akhirnya aku lihat dia, tapi apa-apaan dia membawa para pria berbody preman gitu ? Mana pada bawa senjata lagi.

"Woy Nic, pulang duluan aja. Gue masih ada urusan", teriaknya dengan lantang. Kuhampiri Alev lalu bertanya, "urusan apa ?".

"Tawuran dulu sama SMA sebelah, bentar doang koo", jawabnya santai, aku yang deg-degan. Tawuran ? Itukan bahaya !.

"Kamu jangan macem-macem Lev, ntar kalo kamu kena bacok gimana ?", Ah ! Pertanyaan bodoh apa ini ! Sudah jelas lawannya lah yang akan kena bacok.

"Udah deh lo pulang aja Nic, gue mesti cabut nih. Anak-anak udah pada nungguin nih", pintanya. Anak-anak ? Yang bener aja, segitu preman di bilang anak-anak. Tapi ya sudahlah dari pada aku yang kena bacok, ga serukan ?

"Oke deh", jawabku pada akhirnya.

Aku berjalan menuju parkiran dan masuk ke dalam mobil yang bersupir Pak Nan. Ku amati jalanan di sekelilingku tapi ada yang berbeda dengan arah jalan pulang.

"Pak kita mau kemana ?", tanyaku penasaran, tapi Pak Nan tidak menjawab. Aku tau ini pasti suruhan ayahku.

"Pak, kita pulang aja ya", pintaku, namun hasilnya masih sama, tidak ada jawaban. Akhirnya aku pasrah, ku ikuti kemana pun mobil ini membawaku pergi.

Di depan sebuah rumah yang tak kalah mewah dengan rumahku, mobil ini berhenti. Tanpa diminta aku segera turun dan memasuki rumah itu. Ku dapati pekarangan yang luas dengan berbagai bunga, sangat mirip dengan pekaranganku dulu tapi kemudian berubah ketika perempuan itu datang dan ibuku pergi. Aku terus berjalan hingga memasuki sebuah ruangan tepat setelah pintu depan rumah itu.

"Ini anak saya, Veronica", ku tolehkan kepala mencari orang yang menyebut namaku, itu ayahku yang sedang duduk berhadapan dengan sepasang suami istri yang ku tebak adalah sesama pengusaha.

Tak butuh waktu lama untuk aku berkenalan dengan mereka. Selepas itu, ayahku berpamitan pulang bersamaku. Dari yang ku dapat, ternyata mereka adalah orang tua Aryn -keluarga Wi Sanata- Tapi aku belum melihat Aryn di mana pun dari tadi.

Ketika sampai di rumah, ibu tiriku menyambutku dengan pelukannya yang segera ku tepis dan terus melangkah.

"NICA, jangan ga sopan sama mamah kamu", langkahku terhenti ketika ayahku berteriak.

"Mamah ? Siapa ? Dia ? Jangan harap", balasku dingin. "Mamahku pergi karena wanita ini, pantaskah aku sebut dia mamah ?", lanjutku lagi.

"Mamahmu pergi karena kemauannya sendiri".

"Justru mamah pergi gara-gara dia. Kalau dia ada disini ! Untuk apa mamah juga ada ! Untuk di bandingkan ?" tanya ku pada ayahku. "Maaf mamahku tidak sebodoh itu !", ucapku menutup pembicaraan yang membuat ayah dan ibu tiriku terdiam.

***

Liontin Hitam Club Kesenian.Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang