Kuusap-usap mataku yang tidak bisa terpejam. Di atas kasur aku mencoba berguling guling mencari posisi yang nyaman tapi hasilnya nihil. 2 hari sudah sejak lamaran Vian kepadaku. Dia hanya bilang akan menunggu jawabanku. Tapi tidak ingin menunggu lama, jadi besok harinya dia ingin meminta kepastian dariku. Dan bodohnya lagi besok juga hari pernikahan Ryan. Mengingat nama itu lagi membuatku sesak .
Ryan ...
Dulu dia hadir saat aku masih sangat polos dan lugu. Di bangku sekolah selama 3 tahun dia mengejar cinta dariku. Walau tidak pernah terucap kata cinta darinya tapi dari sikapnya, dari celetukan teman- teman ku dan juga temannya kalau Ryan itu memang suka denganku. Dulu aku tarik ulur perasaan Ryan tak pernah memberinya kepastian. Meski dari sikapnya jelas kalau dia mencintaiku.
Kadang masih terekam jelas di otakku bagaimana tatapan mata elangnya menatapku, atau panggilan manisnya kepadaku. Tapi hanya sebatas itu. Aku hanya menunggu dan menunggu, sampai hari kelulusanpun aku tak pernah mendapatkan kepastian dari cintanya. Ryan menguap begitu saja, seperti asap setelah kami tidak lagi berada di bangku sekolah.
Tapi hatiku sudah menjadi miliknya, seutuhnya. Kutolak secara halus semua pria yang mendekatiku hanya untuk menunggu keajaiban kalau Ryan suatu hari nanti akan datang dan menyatakan cinta, kepadaku.
Tapi harapanku itu ternyata cuma sebatas asa yang kosong. Buktinya, Ryan akan menikah dengan Fransisca, temanku satu kelasku juga.
Kupejamkan mata mencoba mengistirahatkan rasa sesak di dada yang makin menyesakkan mengikat oksigen di sekitarku membuatku semakin sesak. Aku harus bisa. Bukankah Ryan sudah melupakanku untuk selamanya. Dan aku tidak boleh terlarut oleh semuanya.
Aku harus tidur malam ini, setidaknya itu bisa menghilangkan pikiran yang membuat semuanya menjadi sulit. Besok aku akan hadapi semuanya.
*****
"Mbak Aline!" Teriakan Evan mengagetkanku ketika aku baru saja keluar dari kamar. Pagi ini aku masih malas untuk melakukan aktivitas apapun sebenarnya.
"Apa sih Van? "
Pertanyaanku itu aku ucapkan saat aku melangkah ke arah meja makan. Kulihat bunda sudah menyendokkan nasi goreng ke dalam piring. Evan menyeringai lucu ke arahku dengan menyesap susu coklatnya.
Sudah mau jadi calon dokter juga minumnya, masih saja susu coklat adikku ini."Ada Mbak Nadia tuh sudah di depan, " ucapnya sambil menyuapkan nasi goreng.
kulihat jam yang melingkar di tangan. Semalam aku memang janjian dengan Nadia sahabatku sejak SMA, sampai sekarang. Sahabatku yang masih setia denganku. Nadia juga yang memberikan pekerjaan kepadaku di hotel milik keluarganya. Sedangkan dia sendiri kini telah menjadi polwan mengikuti jejak papanya ."Bun ..Aline berangkat dulu ya." Pamitku pada bunda yang sudah duduk manis di depan meja makan.
"Eh..sarapan dulu Line." Bunda menoleh ke arahku.
"Ehmm sudah telat ni bun ..Aline juga belum cari kado." Kusesap susu yang terhidang di meja.
"Ya udah tapi jangan lupa, makan nanti Lin ...tipesmu bisa kambuh loh." selalu bunda mengingatkan akan kelemahanku itu.
"Siap deh bun." Aku mengacungkan kedua jempolku ke arah Bunda.
"Tenang bun ada dokter Vian kok yang bakal merawat Mbak Aline dengan setia kalau Mbak Aline sakit." Celetukan Evan itu langsung membuat tubuhku kaku. Kenapa nama itu lagi yang di singgung untuk mengawali hari ini.
.
"Tidak ada hubungannya Vian denganku." Aku melotot galak ke arah Evan, yang hanya di balas Dengan seringaian jahil di wajahnya. Sungguh semuanya membuatku pening pagi ini.
KAMU SEDANG MEMBACA
Sweet Popcorn
RomanceAku masih menunggu selama 10 tahun ini cinta yang sia-sia. Karena cinta itu tidak pernah terucap dariku. Cinta pertamaku yang telah membelengguku selama ini. Membuatku sesak dan tidak bisa bernafas. Dan penantian itu berakhir dengan. Sepucuk undanga...