Butiran keringat membasahi tubuh pria itu di kala suhu sekitar cukup menusuk kulit. Diiringi kesunyian, dan suara langkah sepatunya sendiri, ia berjalan kesana kemari--berputar-putar di depan pintu yang menjadi pembatas akan adanya dua nyawa yang dipertaruhkan di balik sana.
Seharusnya suatu kewajiban bagi dia untuk ada di dalam sana, mendampingi sang malaikat hidupnya untuk melahirkan bidadari kecil ke dalam dunia. Namun itu hanya wajar untuk kasus persalinan pada umumnya. Dan kini yang bisa ia lakukan hanyalah menghadapi kekhawatiran yang teramat sangat di balik pintu hijau yang tertembus suara teriakan penuh derita. Tenggelam dalam panik, sambil mengucap doa pada siapapun yang sedang bertahta di atas sana.
Menit berlalu, dan suara teriakan perlahan mulai mereda. Pria itu mulai berhenti melangkah, dan menatap pintu di depannya lurus-lurus. Entah itu adalah pertanda baik atau buruk, kini yang ada di kepala pria itu hanyalah penyesalan karena telah menciptakan suasana semencekam ini. Bahkan mungkin bisa lebih mencekam.
Hanya diam dalam tatapan kosong, sampai tiga dokter dengan jubah operasinya keluar dari pintu itu. Baru saja salah satu dari mereka hendak bersuara, laki-laki itu langsung menerobos mereka dan memasuki ruang persalinan yang sedari tadi menjadi sumber kekhawatiran yang ia pendam.
Di tengah langkah yang menggebu, pria itu nyaris menabrak seorang perawat yang tengah berdiri membelakanginya. Sayup-sayup terdengar suara tangisan bayi yang cukup lemah di balik punggung perawat tersebut. Seorang dokter yang berdiri tepat di hadapan ranjang seorang wanita yang baru saja melahirkan bayi mungil tersebut menatapnya dengan tatapan lemas. Dengan kondisi wanita di ranjang yang kini wajahnya telah tertutup kain hijau, kemungkinan besar itulah penyebab dari tatapan itu.
Yang benar saja.
Mengapa wajah wanita itu ditutup?!
Ke manakah kuasa para dewa yang konon katanya diselubungi oleh kebaikan?!
Tubuh pria itu bergetar. Dengan segala kejenuhan yang menenuhi otaknya--seperti hewan liar, pria itu langsung melesat dan menghimpit Dokter yang menatapnya hingga punggungnya menabrak tembok dengan keras. Suster yang masih menggendong bayi mungil yang masih menangis itu hanya bisa berteriak panik dan sedikit melangkah menjauh menuju pintu keluar, demi mengamankan bayi mungil di tangannya dari amukan pria itu.
"P ... Pak. Bukankah ini sudah berdasarkan keputusan anda?" Ucap Dokter itu dengan nada bergetar. Sorot mata coklat pria yang kini tengah menghimpit lehernya itu seolah menusuk nyalinya hingga ciut.
"Apalah arti profesi doktermu jika tidak bisa menyelamatkan pasien?" Pria itu menggumam di tengah nadanya yang menggebu.
"Tapi, bukankah sudah dibilang? Kasus pesalinan istri anda berbeda dengan kasus persalinan wanita pada umumnya. Kemungkinan kami agar dapat menyelamatkan mereka sekaligus sangatlah minim." Dokter itu menjelaskan. "Dan bukankah anda sendiri yang menyetujui bahwa keselamatan bayi itu menjadi prioritas uta--"
"DIAM !!!" Emosi pria itu memacu tangannya untuk meraih gunting yang berada di kotak peralatan operasi. Bahkan gunting itu belum bersih dari noda darah bekas persalinan--Dalam sekejap ia tancapkan gunting itu pada perut Dokter.
Sontak perawat yang masih berdiri di depan pintu itu berteriak, mengundang perhatian Si Pria untuk menatapnya dengan bengis dengan gunting yang masih di tangan setelah dilepaskannya hujaman tersebut dari perut Dokter yang kini tengah terduduk lemah--menyandar pada tembok.
Tidak. Tatapan membunuh itu tidak tertuju pada Si Perawat. Melainkan pada sosok mungil yang berada di tangan perawat itu.
"Jadi kamu yang membunuh istriku, iblis kecil?" Senyum bengis tersirat di wajah pria itu. Kewarasan sudah pergi dari bathinnya sejak beberapa menit lalu.
Perawat tersebut semakin panik, dan berlari keluar dari ruang persalinan. Pria itu pun langsung melesat dan hendak menerobos pintu keluar. Namun tepat ketika dirinya sudah dekat dengan pintu, tiga dokter yang tadi berada di luar tiba-tiba masuk dan menyerangnya dengan tiga suntikan yang dalam beberapa detik, menyebabkan otot pria itu melemah.
Perlahan pria itu merasakan pandangannya menjadi buram, dan gelap.Andai saja aku tidak mengucap setuju pada perjanjian iblis itu.
Andai saja uang tidak membutakanku di kala itu.
Semuanya pasti akan menjadi lebih baik.
Kini yang kurasakan hanyalah penyesalan, di balik kegelapan dan kesadaran yang mulai melemah ini.
Malaikat cantikku telah tiada. Peri kecilku telah menjadi iblis kecil yang membunuhnya.Apa yang akan kau lakukan dengan segala keistimewaanmu itu, iblis kecilku yang terkutuk?!
KAMU SEDANG MEMBACA
Separated
Teen Fiction(15+) -slow update- Kehidupan SMA Thalia Veronica yang seharusnya menyenangkan mendadak berubah ketika ia menemukan kenyataan masa lalunya yang kelam. Perasaan kecewanya membuat gadis enam belas tahun tersebut rela mengorbankan apapun demi mengejar...