14. EMPAT BELAS

5.3K 221 2
                                    

Sara menatap langit-langit kamarnya. Menemukan Tama sudah tertidur nyenyak di sebelahnya. Sudah berapa jam dia habiskan di dalam mimpi barusan? Kepalanya sedikit pusing. Sepertinya dia terlalu lama tidur dan kurang minum. Perlahan-lahan tanpa berniat membangunkan suaminya Sara bergerak ke lantai bawah. Dia butuh beberapa tegukan air.

Sambil minum dikumpulkannya ingatannya. Kadang dia lupa apa saja yang dia alami di dalam mimpinya. Begitu juga sekarang. Rasanya banyak yang terlewatkan. Ingatannya terasa kosong. Semuanya terasa samar-samar.

Sara melangkah menuju sofa dan berbaring di sana. Tanpa selimut atau bantal. Dia harus kembali ke dalam mimpinya.

"Kembalilah Sara."

Yudha berbisik lembut dengan wajah sendu. Mereka berdua telentang menghadap langit yang biru. Pandangannya sedikit silau. Sedang tengah hari di sini. Padahal tadinya masih dini hari di sana.

"Katakan padaku Yudha."

"Hati-hati dengan apa yang kau inginkan. Cukup Indi saja. Mulailah hidup barumu di dunia nyata."

"Kalau mimpiku bisa seindah ini kenapa aku harus kembali ke dunia nyata?"

"Harga yang harus kau bayar terlalu mahal Sara. Kembalilah sebelum semuanya terlambat."

Sara bangkit dan melangkah meninggalkan Yudha.

Hari yang dia lihat sekarang tak lagi terang. Suhu udara dingin. Tama masih di sebelahnya. Dunia nyata. Yudha memintanya kembali. Yudha yang ada di dalam mimpinya. Bagaimana dengan Yudha yang ada di dunia nyata? Apakah dia akan mengatakan hal yang sama?

Bagaimana dia akan menjelaskannya pada pria itu. Tak ada yang boleh tahu soal pembunuhan Indi. Tapi dia butuh jawaban yang jelas mengenai mimpi-mimpinya. Apakah memang mimpinya punya kekuatan seperti itu?

"Ada apa?"

Mata Tama terbuka. Sejak kapan dia bangun?

"Tidak ada apa-apa."

"Apa kamu bermimpi buruk lagi?"

"Tidak."

Tama meraih kepalanya. Membenamkannya di dadanya yang bidang. Untuk pertama kalinya suaminya itu sedekat itu dengannya di tempat tidur. Dipejamkannya matanya. Bukan karena dia ingin tidur. Dia hanya ingin meyakinkan dirinya ini bukan mimpi.

"Tidurlah. Bermimpilah yang indah."

Sara menarik napasnya panjang saat mendengar kata "mimpi indah". Tak ada lagi mimpi indah untuknya. Mimpinya sekarang terasa mengerikan. Dia takut dengan dirinya sendiri. Dirinya yang ada di dalam mimpi. Dirinya yang kedua. Sara yang lain. Iya Sara yang mencekik Indi sampai dia kehabisan napas.

Itu terjadi dalam mimpi kan?

"Maaf kalau selama ini memperlakukanmu seperti orang asing."

Bisikan Tama menenangkannya. Napasnya terasa hangat. Ranjangnya tak lagi terasa dingin. Tubuh hangat Tama menyatu dengan dirinya.

"Kalau masih susah tidur, besok ke tempat Yudha lagi ya. Dia pasti mau membantu."

"Iya..."

Beberapa saat kemudian Tama terlelap lagi. Sara sendiri terjaga sampai pagi. Dia takut untuk tidur. Takut dengan dirinya sendiri akan melakukan hal yang buruk. Takut akan ada pembunuhan lagi yang akan dia lakukan.

Matahari pagi menyilaukan. Sara bangkit lebih dulu dari ranjang dan masuk ke kamar mandi. Selesai mandi dia segera ke dapur dan menyiapkan sarapan untuk suaminya yang masih terlelap tidur. Hari ini dia akan menemui Yudha. Yudha yang dia kenal di alam nyata. Bukan yang ada dalam mimpinya.

Sara sendiri tak yakin dia bisa menjelaskan soal mimpi anehnya. Namun Yudha mungkin tahu rahasia besar dari mimpi-mimpinya. Dia ingat betul mimpinya yang pertama kali semenjak bertemu Yudha. Pria itu ada di dalam mimpinya.

Taksi bergerak perlahan ketika hampir tiba di lokasi yang dituju. Berhenti tepat di depan gedung yang dimaksud Sara. Perempuan itu membayar dengan beberapa lembar uang lalu menghambur keluar. Langkahnya cepat masuk ke gedung yang pernah dia datangi sebelumnya. Tak ada yang berubah. Belum ada.

Dia tak lagi mengetuk pintu. Dia masuk ke ruangan itu dan menemukan Yudha sedang membaca sebuah buku tebal berwarna merah. Mata mereka bertemu. Alis pria itu naik sedikit melihat kecemasan di wajah Sara.

"Tidak bisa tidur lagi?"

"Aku takut."

"Takut kenapa?"

"Mimpi-mimpi yang kualami terasa begitu nyata."

"Mimpi hanya bunga tidur. Tidak ada yang perlu ditakutkan. Duduklah."

Sara menuju sofa dan duduk.  Tangannya saling meremas. Yudha meletakkan bukunya di meja dan duduk di depan Sara.

"Bagaimana kalau mimpi yang kita alami menjadi nyata?"

"Itu pasti sebuah kebetulan."

"Benarkah?"

"Memangnya apa mimpimu?"

"Aku memimpikanmu."

"Saya?"

Yudha menahan napasnya. Jika yang dimaksud Sara adalah soal hari itu, itu sama sekali bukan mimpi. Dia telah menggauli istri sahabatnya hari itu. Perempuan ini pikir itu hanya mimpi?

"Bagaimana kalau itu bukan mimpi?"

"Bukan mimpi?"

"Sara, apakah sulit sekali membedakan yang mana mimpi yang mana nyata?"

Sara mengerutkan keningnya. Mengumpulkan semua potongan ingatannya. Ingatan tentang mimpi-mimpinya. Itu hanya mimpi. Tidak mungkin Yudha yang dia lihat selain di ruangan ini adalah nyata. Apalagi hari itu, apa yang mereka lakukan sangat tidak pantas jika benar-benar terjadi di dunia nyata.

"Itu mimpi."

"Sara, itu nyata."

"Bagian yang mana?"

"Hari itu, kita..."

"Tidak itu mimpi!"

Sara bangkit. Berlari menuju pintu. Sebelum dirinya sempat memutar pegangan pintu Yudha menariknya. Tangan pria itu bergerak mengunci pintu cokelat itu dengan cepat.

"Ini bukan mimpi."

Yudha memegangi wajah Sara. Mendekatkan bibirnya dan menciuminya dengan hangat. Dada mereka menyatu. Demikian napas mereka yang memburu. Sara membalas semua ciuman itu.  Sama hangatnya. Sentuhan yang dia rindukan. Terasa memang benar-benar nyata.

Bersambung...

WILDEST DREAMTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang