BEHIND

218 7 0
                                    

Selesai sudah hukuman yang harus dijalani Lia. Dia menyeka keringatnya dan duduk di pinggir lapangan. Pak Diding tersenyum, lalu menyodorkan air mineral yang masih tersegel pada gadis itu.

  "Gimana? Capek,kan?!!" tanya pak Diding.

Lia menggeleng.

"Enakan gini, Pak, ketimbang belajar. Bosan cuma duduk dan ngedengerin doang," jawabnya sambil membuka segel air mineral itu.

"Itu, kan, tugas kamu Au sebagai seorang pelajar. Jangan seperti bapak yang pendidikannya sedikit makanya nih jadi seperti sekarang."

Liat tersenyum mendengar pernyataan Pak Diding tersebut.

"Bapak bohong," kata Lia lalu menenggak air minumnya.

"Bapak sarjana pertanian ITB, kan?!!"

Pak Diding terperangah memandang Lia. "Dari mana kamu tau Au?"

Lia tetap tersenyum.

"Bapak barusan ngaku," katanya santai.

"Serius,Au. Kamu tahu dari mana?"

Lia tersenyum lebar. "Ada fotokopian skripsi bapak digudang. Entah kenapa ada disana. Saya iseng baca dan nemuin nama lengkap bapak disana. Saya juga tadi asal nebak aja, kok, kalo bapak sarjana ITB."

"Kalo bapak nggak cerita, nggak pa-pa kok. Saya mulutnya ember. Susah buat jaga rahasia, mending cari orang yang siap menyediakan dadanya untuk menjadi kuburan selamanya bagi rahasia Bapak."

Pak Diding kembali tersenyum. "Bapak suka dengan apa adanya kamu."

Lia balas tersenyum. Saat itu, Niken dan Anggi kemudian lewat di depan Lia.

"Hai, Guys!" sapa Lia. "Tunggu bentar." Niken dan Anggi berhenti, namun tidak mendekati Lia. Gadis itu lalu bangun.

"Bentar, ya, Pak. Saya ada urusan sama mereka."

"Iya, silahkan." Pak Diding mengangguk.

Lia tersenyum pada Anggi dan Niken. "Jalan,yuk! Makan es krim di McDonald's." ajaknya dengan suara riang.

Niken dan Anggi kontan berpandangan bingung.

"Aduh,gimana,ya,Au?" Niken keliatan berpikir.

Lia tampak tak mengerti. "Aduh gimana apanya?"

"Gue lagi sakit datang bulan, nih. Pengin buru-buru pulang.

Gue mau rebahan," ujar Niken sambil memegangi perutnya.

Anggi kemudian menyambung, "Gue juga nggak bisa, Au.
Mau nganterin nyokap ke bogor, Ada sodara gue yang sakit."

Lia lalu berusaha keliatan untuk maklum dengan keadaan dua orang yang sedang berhalangan ini.

"Oke, deh, kalo kalian nggak bisa. Hmm, pulangnya mau bareng?" Tanya Lia lagi.

"Lo bawa mobil apa?" tanya Anggi dengan mata berbinar.

Lia menggeleng. "Nggak lagi bawa mobil. Tadi pagi mobil gue mogok dan gue kesekolah juga ..."

"Au, kita duluan, yahh.  Sampek besok. Dah!"

Kalimat Lia langsung terpotong. Lia memandang agak jengkel pada Anggi dan Niken yang seenaknya memotong kalimatnya tanpa membiarkan dirinya selesai bercerita. Niken dan Anggi lalu kembali melanjutkan langkahnya tanpa melihat lagi pada Lia. Pak Diding melihat Lia dengan seksama, lalu menggeleng perlahan.

Lia pun kembali ke tempat duduknya semula di pinggir lapangan.

"Udah?" tanya Pak Diding.

Gadis itu menoleh dan mengangguk. "Udah, Pak."

"Mau pulang?"

Lia mengangguk.

"Iya, Pak. Saya harus ke ruang BK dulu ngambil tas saya yang tadi saya titip di sana. Pulang duluan, ya, Pak."

Pak Diding mengangguk, lalu membiarkan Lia pergi.

Dengan langkah gontai, Lia berjalan menuju ruang BK.
Dari kejauhan terlihat Pak Umar mulai menutup pintu itu dan hendak menggembok pintunya. Lia mempercepat langkahnya.

"Eh-eh, Pak, sebentar. Tas saya masih didalam."

Pak Umar menoleh dan mengurungkan niatnya menggembok. Dia kembali membuka pintu tersebut tanpa suara.

Lia langsung masuk dan mengambil tasnya yang masih ada di atas meja.

"Makasih, Pak," kata Lia ketika sudah keluar dari ruang BK.

"Hmm," balas Pak Umar. Dia lalu menutup dan menggembok ruangan tersebut.

Lia sudah tak heran dengan perlakuan tak menyenangkan orang-orang terhadapnya. Memang Lia juga yang menyebabkan mereka semua pergi dan menjauh. Lia-lah yang menyingkirkan orang-orang yang berusaha mendekatinya. Lia seolah mawar yang memiliki duri yang siap melukai siapa saja. Yang mengagumi dan berusaha meraihnya.

Lia juga tidak terlalu memedulikan itu semua dan memilih bergegas pulang. Ketika dia sedang menunggu taksi di depan gerbang sekolah, sayup-sayup dia mendengar suara Anggi dan Niken yang sedang tertawa-tawa bersama seseorang lainya.

Gadis itu memundurkan sedikit badannya untuk memastikan apakah itu mereka atau bukan. Ternyata benar. Niken dan Anggi memang sedang tertawa-tawa di balik pohon rindang bersama dengan Rara.

PACARKU NYEBELINTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang