Dua hari semenjak kejadian itu, Rania tidak Sekolah. Dia memilih untuk mengunci dirinya dikamar. Ketika ibunya bertanya mengapa tidak ingin Sekolah, Rania mengatakan bahwa dia sedang demam, padahal termometer menunjukkan bahwa suhu tubuhnya 35 derajat celcius. Yang berarti dia tidak apa-apa. Bukan hanya itu tetapi lebih parahnya lagi Rania jarang bahkan hampir tidak pernah keluar dari kamar. Makan satu hari sekali, itupun kalau ibunya memaksanya.
Tiba-tiba Randy--kakak Rania muncul didepan pintu. Rania menoleh, "budayakan ketuk pintu sebelum masuk."
"Tok, tok, tok," Randy mengetuk pintu.
Rania membuang muka, "Dihh."
Randy kemudian menghampiri Rania dan tidur dipunggung adiknya itu. "Berat nyet!, lo pikir lo ringan?, badan kayak gajah gitu." Oceh Rania yang sebenarnya tidak benar. Hanya saja Rania suka mengatakan Randy berbadan gajah.
"Bodoh amat!." Randy mengelak.
Rania terus menyiku Randy dengan tangannya berharap kakaknya itu akan menyingkir dari punggungnya. "Minggir, bisa gak sih biarin gue sendiri. Gue lagi PMS, jangan mancing gue jadi monster."
Randy bangun dari posisi terbaringnya, "emang PMS apa sih?, pergi mati sana?."
Rania memasang tatapan membunuh, "bosan hidup lo?,"
Randy terkekeh pelan, "hehehh, terus btw kenapa lo gak Sekolah-sekolah?, niatan jadi pengangguran yah?."
Rania tersenyum, "Bukannya situ yang pengangguran ya?," ucapnya lalu kembali memasang raut wajah datar.
Randy menggigit bibirnya, ingin sekali menggemas adiknya ini. "Gue bukan pengangguran, tapi belum dapat kerja."
Rania mengangguk, "sebelas duabelas lah."
Randy mengambil sesuatu dari kantongnya. "Dek, mau gak?." Ucapnya ketika sebatang delfi sudah berada didalam tangannya. Rania hendak mengambilnya, tetapi Randy menarik tangannya lagi. "Ada syaratnya."
"Apa?"
"Balik ke Sekolah."
"No, thanks." Rania membuang muka, "dasar kakak pelit. Pantas aja gak dapat-dapat cewek sampai sekarang."
Randy menarik rambut Rania, "gue dengar."
Rania menggosok kepalanya, "sakit nyet."
"Mendingan lo balik ke Sekolah, lo gak kasihan sama ibu, kalau ayah tahu pasti dia bakal marah." Ucap Randy membuat hati Rania sedikit tersentuh. Rania tahu bahwa ini akan melukai perasaan ibunya. Tetapi Rania juga ingin dimengerti bahwa kejadian dua hari lalu sangatlah memalukan baginya. Tentang ayah, Rania tidak perlu memikirkan ayahnya, dia sudah tidak memiliki ayah, dia terlahir tanpa ayah.
"Gue gak punya ayah. Kakak boleh anggap dia ayah kakak, tapi gue gak. Ayah macam apa yang rela ninggalin istrinya demi wanita lain." Ucap Rania tajam.
Randy menyerah, dia tahu bahwa tidak semudah itu untuk memaafkan. Ayahnya sudah terlanjur menyakiti Rania. Sejak kelas enam SD, ibu dan ayah Rania memang sudah berpisah. Mereka belum cerai, hanya saja ayah Rania yang sudah pergi dengan wanita lain. Rania memang belum tahu pasti kebenarannya karena ibunya mengusir ayah Rania dengan paksa. Rania tidak mau tahu bagaimana kebenarannya. Kalau memang ayah Rania tidak melakukan kesalahan, mengapa dia tidak kembali pada Rania dan keluarganya. Rania tahu bahwa mungkin dia akan bertemu dengan ayahnya suatu saat nanti. Lima tahun tidak bertatap muka tentu Rania merindukan ayahnya. Tetapi dia menahan itu. Jika suatu saat dia bertemu dengan ayahnya yang sudah memiliki keluarga baru, Rania berjanji bahwa dia tidak akan menangis, karena hatinya terlanjur mati.
Randy menutup pintu kamar Rania, sambil berharap Rania akan kembali Sekolah.
Didalam kamar, Rania kembali merenung. Bahwa dia tidak akan selamanya begini. Dia harus Sekolah, dia harus membahagiakan ibunya. Cukup hanya ayah Rania yang menyakiti hati ibunya, jangan dirinya lagi.
***
Pada kenyataannya, hanya "Cinta" mungkin tidak cukup untuk mempertahankan hubungan.
Di media ada foto Rania ya❤
KAMU SEDANG MEMBACA
Just Not Mine (Selesai)
Teen FictionAku yakin setiap pertemuan akan selalu ada perpisahan. Dan itu adalah yang paling ku takutkan. Aku tidak pernah menyesal untuk mengenalmu, karena itu adalah saat-saat terindah dalam hidupku. Aku hanya menyesal karena tidak dapat berbagi lebih banyak...