"Lo pada tahu 'kan, kalau gue pernah tinggal selama satu tahun sama nenek gue?" tanya Azeya. Semua menggangguk cepat. Benar-benar tidak sabar dengan lanjutan ceritanya.
Tapi Azeya tidak kunjung melanjutkan ceritanya karena wajah Riri yang terlihat bingung. "Itu loh, Ri, yang waktu Zey kelas sembilan," ucap Vika tidak sabaran. Setelah Riri mengangguk tanda bahwa ia tahu, Azeya kembali bercerita.
"Nino itu tetangga nenek gue. Waktu itu gue sama dia sama-sama kelas sembilan. Kami juga satu sekolah bahkan satu kelas. Itu ngebuat gue sama Nino dekat. Kemana-mana kami selalu bareng. Nino itu cowok yang ceria. Suka banget ngelucu tapi jayus. Walaupun gitu dia selalu bisa buat gue ketawa. Nino seperi cowok kebanyakan. Punya kamar yang benar-benar jauh dari kata rapi. Dan kalo udah gitu, gue bakalan bantuin dia beresin kamar."
***
"Nino!!! Nino!!!" teriakku di depan rumahnya. Nino sudah berjanji untuk mengerjakan pr matematika bersamaku. Tapi sudah dua puluh menit dia tidak kunjung datang. Makanya aku menyusul kerumahnya yang berada tepat disebelah rumah nenekku.
"Ada apa, Zey?" tanya kak Ifa yang datang dari arah dapur. Celemek berwarna kuning terpasang di tubuhnya.
"Nino-nya mana ya, Kak?" tanyaku padanya sambil masuk rumah. Kakaknya Nino itu hanya menghela napas lalu menunjuk lantai dua, kamarnya Nino.
"Itu lagi beresin kamarnya yang baru kena bom," aku tersenyum mendengarnya. Baru saja aku ingin ke dapur mengikuti kak Ifa, sebuah teriakan menghentikanku.
"Eyaaa!!! Bantuin gue, Eyaaa!!!" aku melihat ke arah lantai dua. Dimana Nino dengan lebaynya berteriak sambil melambai-lambaikan tangannya. Padahal kamarnya tidak diserang bom sungguhan. Tapi tingkahnya itu seperti kamarnya diserang bom sungguhan saja.
Oh ya, Nino memang memanggilku Eya. Katanya dia ingin yang anti mainstream. Jadi dia memanggilku Eya. Dan hanya dia sendiri yang boleh memanggilku seperti itu.
Aku terkekeh pelan lalu beranjak ke lantai dua. Saat aku sampai di depannya, bukannya menghilang, tingkah lebaynya malah semakin menjadi.
"Eya! Untung lo datang! Sorry kita gak bisa ngerjain pr sekarang soalnya kak Ifa cerewet banget!" katanya sambil memegang bahuku. Menatapku seolah-olah aku adalah malaikat yang dikirim Tuhan untuk membantunya.
"Nino! Kakak denger, ya! Cepat bereskan kamarmu! Zey, gak usah bantuin Nino!" teriak kak Ifa dari dapur. Sedangkan Nino hanya memutar bola matanya malas mendengar ocehan kakak satu-satunya itu.
"Gak apa-apa, Kak! Biar aku bantuin Nino!" mendengar teriakanku Nino langsung tersenyum lebar. Dia langsung menarikku ke kamarnya yang benar-benar jauh dari kata rapi itu.
"Ya ampun, No! Lo ngapain aja sih dikamar? Kok bisa berantakan banget gini?" tanyaku takjub. Bagaimana tidak, kamarnya jauh lebih berantakan saat terakhir kali aku membantunya membereskan kamarnya.
Buku yang berserakan di lantai, selimut di meja belajar, baju dimana-mana, bantal di-
ya ampun! Aku tidak bisa menjabarkannya! Benar-benar berantakan!"Yaudah deh, lo kembalikan barang-barang ke tempatnya. Biar gue kumpulin sampah-sampah," ucapku karena Nino hanya menyengir ke arahku. Nino mengangguk dan langsung melaksanakan apa yang kuperintahkan.
"Oh ya, oma mana, No?" tanyaku yang sedari tadi tidak melihat omanya Nino. Nino tinggal bersama oma dan kakaknya karena orang tua mereka yang bekerja di Singapore.
"Kan pergi bareng nenek lo," katanya sambil mengumpulkan baju yang tercecer di lantai. Aku hanya mengangguk. Setelah itu tidak ada lagi pembicaraan karena kami fokus pada perkerjaan masing-masing.
KAMU SEDANG MEMBACA
Truth
Short Story"Oke, Zey. Truth or dare?" "Jujur." "Siapa cowok yang lo suka?" Azeya memutar bola matanya malas. Ia benar-benar benci dengan permainan ini. Apalagi dengan pertanyaan tidak kreatif itu.