Nino (2)

142 11 12
                                    

Biarkan aku melihatmu sekali saja. Sebelum aku tidak akan pernah melihatmu lagi.

Aku menyenderkan punggungku ke kursi mobil. Acara perpisahan sudah selesai sejak dua puluh menit yang lalu. Tapi karena teman-teman mengajakku untuk berfoto dulu membuatku baru pulang sekarang.

Aku memejamkan mataku, lelah. Seluruh badanku sakit rasanya. Apalagi kakiku yang dipaksa berjalan-jalan dengan high heels.

Aku menatap ke arah luar jendela. Suasana mobil yang sepi membuatku mengantuk. Coba saja Nino, oma, dan kak Ifa pulang bersama kami. Pasti suasana mobil akan ramai.

Tadi saat acara perpisahan masih berlangsung, tiba-tiba orang tua Nino datang. Aku masih sangat ingat bagaimana wajah bahagia mereka. Tidak lama setelah itu mereka izin pulang duluan karena ingin pergi bersama orang tua Nino. Itu sebabnya mereka tidak pulang bersama kami.

Aku memejamkan mataku yang terasa berat ini. Acara perpisahan yang berlangsung dari sore hingga malam ternyata membuatku lelah dan mengantuk. Dan tanpa sadar. Aku sudah memasuki alam mimpi.

***

Aku terbangun saat cahaya matahari masuk melalui celah tirai jendela kamarku. Aku langsung bangkit dan menuju ke kamar mandi untuk mencuci muka dan sikat gigi. Mandi? Gak libur namanya kalau mandi pagi.

Aku tetap mandi sehari dua kali kok. Ya tapi gitu, mandi paginya jam dua belas siang. Iyasih gak pagi lagi. Yang pentingkan mandi.

Tapi entah kemasukan malaikat mana, aku malah mandi. Padahal ini baru jam delapan. Yah gak apa-apalah rajin sekali-sekali.

Setelah mandi aku membuka jendela kamarku agar udaranya berganti. Walaupun aku tahu jam segini udaranya udah gak bagus lagi. Tapi bukan hanya itu alasanku. Karena kalau hari libur gini aku punya tugas tambahan.

"Nino!!! Bangun, No!!!" aku teriak dari pinggir jendela kamarku. Jendela kamarku memang bersebrangan dengan jendela kamar Nino. Nggak dekat banget sih. Mengingat ada halaman seluas hampir dua meter yang memisahkan rumah nenekku dengan rumah oma Nino.

Aku duduk di pinggir jendelaku saat tidak melihat respon Nino. Apa dia udah bangun ya? Kalo iya mungkin dia lagi di lantai satu sehingga tidak mendengar aku memanggilnya.

Setelah hampir dua menit melamun sambil melihat kamarnya, aku pun bergegas turun ke bawah untuk sarapan.

Sesampainya di bawah aku melihat nenek sedang minum teh di sofa depan televisi. Setelah mengambil sarapanku aku pun duduk disamping nenek yang ternyata sedang nonton drama Korea.

"Udah mandi?" nenek menatapku sebentar. Aku hanya mengangguk sambil terus memakan roti dengan selai strawberry kesukaanku.

"Tumben. Biasanya nunggu adzan Zuhur dulu baru mandi," aku berhenti mengunya lalu menatap nenek tidak setuju.

"Zey kan mandinya sebelum adzan dzuhur, Nek," kataku protes lalu mengambil gelas berisi susu yang kuletakkan di meja kecil di depanku.

"Beda dikit aja," kata nenek lalu kembali fokus kepada drama Korea di televisi.

"Mamamu bilang mau pulang," nenek berkata pelan yang tentu saja masih bisa kudengar.

"Beneran, Nek? Mama sendiri aja?" tanyaku heboh. Bagaimana tidak heboh, aku tinggal dengan nenek karena mama dan papa yang kerja di New York. Karena itu aku jarang bertemu mama dan papa. Mendengar jika mereka akan pulang tentu membuatku senang.

Nenek mengangguk sebelum menjawab pertanyaanku. "Papa juga," aku langsung bersorak heboh saat mendengarnya.

Bayangkan saja tiga bulan tidak bertemu. Hanya telponan atau bertatap muka dari laptop. Itu pun jarang mengingat sibuknya mereka dan perbedaan waktu yang cukup jauh.

TruthTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang