Prolog

251 134 301
                                    

"Eh, Nik. Gimana? Yang ini bagus gak?" tanya Kak Anika sembari berlenggok di depan cermin mengenakan gaun satinnya dan sesekali menelengkan kepalanya ke arahku yang tengah berpikir untuk memberi pendapat.

"Hm ... lumayan lah daripada yang tadi."

"Dari tadi lumayan mulu. Kapan bagusnya." Sungutnya mencebikkan bibir. Aku hanya tersenyum kecil dan kembali memfokuskan diri menulis puisi. Ia meraih tas jinjingnya, meratakan bedak dan riasan di wajahnya lalu mengenakan sepatu hak tinggi berwarna hitam yang sudah ia siapkan di samping lemari.

Aku mengamatinya dari wajah sampai ke batas terbawah sepatunya, "Sepatu yang dikasih Mama?"

Ia mengehela napas lalu menarik sudut bibirnya membentuk senyuman, "Kamu mau pake juga?"

"Bukan itu. Maksudku, kenapa pake sepatu itu ke tempat kerja paksaan yang haram? Aku cuma gak mau nilai suci Mama ternodai di sana."

Kak Anika menunduk seraya melangkahkan kakinya ke arahku. Ia menanarkan setiap mata yang memandangnya dengan kemurnian yang berada jauh dari jangkauan manusia. Ia berjongkok di depanku. Menggenggam tanganku lembut seperti seorang putri surgawi yang hendak memberbaiki setapak kecil manusia di bumi.

"Nika, semua yang Kakak lakukan kemarin, hari ini, besok, kapan pun. Semuanya buat Nika dan Kakak. Dan ingat, jangan benci Ayah karena ini, oke? Kita gak bisa merumitkan keadaan yang sudah rumit, dan kita gak boleh." Ia tersenyum begitu tenang seperti sedang tidak ada kekacauan apa pun di semesta. Bimala, ia begitu murni dan tulus.

Aku mengepal kedua tanganku. "Seharusnya Ayah gak gini. Ayah udah gila. Dan kenapa juga Kakak nurutin paksaan Ayah untuk membuat janji sama rekan-rekan kerjanya hanya untuk kesenangan mereka dan keuntungan yang Ayah peroleh dari hasil Kakak menjual diri karena paksaan dia sendiri?" aku menguatkan suara pada tiap kata-kata. Ia tertegun lalu menggeleng pelan.

Kak Anika melirik jam tangan lamanya. "Eh, udah jam sembilan nih. Kamu tidur ya. Kakak paling udah pulang jam dua subuh nanti. Jaga diri." Ia bangkit dan mengecup keningku. Derap kakinya cepat menuju lantai bawah. Aku berjalan menuju balkon, memperhatikan pak Jaka membukakan pintu mobil untuk Kak Anika. Ia tersenyum kepada Pak Jaka dari kursi sopir dan melajukan mobilnya ke bingar jalan raya.

Dari balkon kamarku, tampak pusat kota yang begitu terang. Gemerlapnya layak Venus alias bintang kejora di atas sana. Andai tanganku mampu menggapai kejora. Atau matahari, lalu meledakkannya. Agar orang-orang sadar betapa pentingnya menjaga apa yang Tuhan berikan untuk kita miliki saat ini. Matahari datang sebagai penghangat bumi agar manusia tidak merasa sepi di kala dingin. Bumi tercipta untuk menghidupkan skenario tiap-tiap manusia. Lalu, lihatlah. Betapa hinanya manusia. Mengotori kesucian bumi dengan fitnah, kebohongan, dan keangkaraan. Menciptakan derita di mana-mana, perang, membuat para penjaga sulit tidur karena tidak ada kedamaian. Alkohol, orang mabuk, perbudakan seksual yang paling parahnya kurasa, seperti Kak Anika.

Apa bumi tidak cukup luas bagi kita untuk menentukan skenario bahagia? Tanpa harus hidup dalam paksaan sesuatu yang sangat terhina. Aku tidak akan pernah mengerti bagaimana manusia dapat begitu keji karena keserakahan dan dengki dirinya sendiri. Bagaimana manusia bisa melupakan cinta kepada sesama karena memaksakan kehendak yang tidak manusiawi.

"Jangan tanyakan soal keserakahan dunia kepada Venus, ia mendengarmu tapi tidak memahami soal duniamu." Aku mendapati Eros sedang menyandarkan punggungnya ke balkon. Ia memainkan kukunya lalu menoleh ke arahku.

"Apa yang kau lakukan di sini, Eros? Membaca pikiranku?" aku berdiri dari sandaranku, dengan kedua lengan bersedekap di depan dada.

"Itu bakatku, bukan kesengajaanku. Gaia memintaku ke sini, menjenguk keadaanmu. Ia sedang ada masalah di sana." Ia mengisyaratkanku dengan matanya untuk melihat ke langit. Begitu gelap, yang seharusnya purnama tampak malam ini, cahayanya tertutup gugusan awan gelap bergerumul di langit.

Aku memalingkan wajah ke arah jantung kota, di mana gema musik selalu mengiringi langkah kaki para manusia di atas lantai dansa. Aku tidak suka bingar, aku suka sepi. Sepi, bukan kesepian.

"Apa Gaia tidak bisa memperbaiki takdir seseorang?" tanyaku tanpa kembali menatap Eros.

"Itu bukan urusan Gaia, itu urusan yang Agung."

"Lalu apa gunanya ia jika bukan mengatur takdir manusia di bumi?"

"Mengawasi kehidupan spesiesmu dan spesies lain." Sontak aku dan Eros berbalik badan, mendapati Gaia sedang merapikan gaun hijaunya yang sampai terseret di lantai. Ia tersenyum menatap kami berdua.

"Apa yang kau maksud adalah takdir kakakmu, Nika?" aku tertunduk. Gaia menyisihkan rambut yang menghalangi sebagian wajahku. Aku melihat manik mata emasnya mengkilat seperti titik pusat kehidupan di mayapada. Tidak pernah pudar, selalu ada.

Eros menghela napas. "Cinta bisa mengubah segalanya," Eros menelan ludahnya. "tapi, cinta, kehidupan, dan keindahan adalah takdir dari yang Mahakuasa."

"Lalu siapa yang menakdirkan kekacauan? Maksudku, seperti aku?" aku mengerutkan dahi ke arah Eros lalu Gaia. Eros menyedekapkan tangannya dan membuang napas.

"Manusia sendiri. Khaos lahir karena sejak awal kehidupan manusia, kehancuran sudah diprediksikan." Jawab Gaia dengan suara lembutnya yang khas.

"Bukan berarti kau akan menjadi sebuah kehancuran selamanya, Nika. Keindahan bermetamorfosa menjadi kehancuran lalu kembali menjadi keindahan, tidak akan berhenti. Begitulah siklus hidup manusia," timpal Eros, langkahnya mendekatiku. "semuanya akan baik-baik saja." Ia tersenyum, disusul manik mata Gaia yang semakin berkilau menandakan ada kebahagiaan baru yang lahir di bumi. Apa itu aku? Tidak, aku Khaos. Kehancuran dan kehampaan mayapada.

Titik ekuilibrium seorang Khaos adalah saat konflik demi konflik di bumi ini berkurang. Entah itu konflik internal dirinya, maupun konflik eksternal pada gerbang dunia manusia, bumi. Khaos hidup tersembunyi di dalam tiap kehancuran yang kita lihat. Peran Khaos menjelma di mana-mana. Bahkan merasuki tubuh seorang yang sedang koma. Menari-nari bagai aksara indah pada derita kehancuran dan kehampaan yang kian mendunia.

Kisah Khaos aku hidupkan bersama dengan cinta, bumi, dan neraka. Seorang Khaos yang dihadapkan pada kenyataan di mayapada. Dunia yang tak lagi pantas disebut dunia karena penuh dengan angkara. Ketamakan manusia membuat manusia itu sendiri muak hidup di dunianya. Memijak pada tanah di atas bumi. Namun, tidak merawat tanah yang dipijaknya. Begitulah manusia, bukan? Ceritakan padaku lebih banyak perihal ketamakan mereka.

KhaosTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang