Aku menyesap pelan green tea latte yang baru saja diantar oleh seorang pelayan kafe. Aku tak bisa menghentikan diriku dari keinginan menggerakkan kaki. Sebelum meninggal, Mama pernah bilang bahwa aku mengidap restless leg syndrome. Kata Mama, awal mulanya adalah dari ansietasku yang berlebihan. Hingga aku kerap kali mencari sesuatu untuk menyalurkan kegelisahan serta kecemasanku.
Ini sangat mengganggu. Orang-orang yang berjalan di samping tempatku duduk, atau duduk di sampingku seringkali melihat ke arah kaki kananku yang tidak bisa diam. Bahkan, anak-anak kecil yang datang bersama orang tuanya berhenti dan membisu menatap kakiku. Refleks aku mencoba mengontrol kegelisahanku yang berlebihan dan berhenti menggerakkan kaki.
Konsep hitam putih sepertinya sudah menjadi dua warna utama yang dilekatkan dalam peranku, Khaos. Aku adalah perumpamaan sebuah badai di tengah laut yang menjadi sebab gelombang-gelombang tinggi bermunculan menggantikan gelapnya biru laut dengan angin kuat. Seperti sepasang tangan yang saling menarik ke arah berlawanan. Bisa dikatakan, aku seperti titik keseimbangan dalam suatu getaran, yaitu konflik dan berbagai macam problematika merambat serta bercabang menjadi macam-macam gelombang.
Satu konflik menghasilkan konflik lainnya. Penciptaan peranku, ditakdirkan sebagai kekacauan dan kehampaan.
"Mbak, Mbak," sebuah telapak tangan dilambaikan di depan wajahku. Lamunanku praktis buyar. Aku memasang senyum spontan di wajahku. Seorang laki-laki. Ia berhenti melambaikan telapak tangannya, "Ini bukunya jatoh, hampir saya injek tadi." Tangan kanannya menyodorkan sebuah buku bersampul hitam. Buku sketsaku.
"Eh, aduh. Makasih ya, Mas," Kataku diikuti dengan anggukan kepala, seraya mengambil buku yang disodorkannya. Perkataanku hanya ia balas dengan sudut bibirnya yang membentuk lengkungan.
Aku memerhatikannya celingukan, seperti mencari sesuatu. Ia menghela napas kasar, lalu mengurut dahinya yang dikerutkan.
"Ada apa, ya?" tanyaku. Praktis ia tersenyum kepadaku sambil menggaruk kepalanya kebingungan.
"Em ... Mbak, saya boleh duduk di sini gak? Udah penuh kursi yang lainnya." Ia menunjuk kursi kosong di depanku.
"Oh, boleh, Mas. Silakan," jawabku seraya menegakkan posisi duduk. Ia lalu mengempaskan tubuhnya pada kursi kosong di depanku, merapikan kerah kemejanya yang terlipat di luar sweater.
Kami hanya berdiam-diaman, aku terlalu canggung untuk memulai pembicaraan. Ia pun tampak sibuk mengotak-atik tangannya di bawah meja. Tak lama, ia berdehem. Aku mengangkat sebelah alisku heran ke arahnya.
Tangan kanannya diulurkan ke arahku, "Nagendra Arkhabiwana, panggil aja Gendra." Aku menurunkan buku sketsa yang menutupi sebagian wajahku lalu membalas jabatan tangannya.
"Nayanika Beyulian, Nika."
Sejenak kami saling tersenyum kaku, sampai kami melepas tangan kami yang masih berjabat. Laki-laki yang baru memperkenalkan diri dengan nama Gendra ini bergerak gelisah, putar ke kanan, lalu kiri. Mendongak ke atas, lalu menunduk. Mengusap wajahnya yang pucat, lalu tersenyum ke arahku yang jelas sedang memperhatikan tingkahnya.
Mataku tiba-tiba tertuju pada benda di genggaman tangan kanannya, sebuah portable disk player tua. Terlihat dari bagian atasnya yang sudah lecet-lecet.
"Itu buat apa, Mas?" tanyaku dengan mata mengisyaratkan agar ia menengok ke arah disk player-nya.
"Disk player-nya?" manik matanya menatapku. Aku hanya mengangguk, "Em ... kerjaan."
"Boleh liat?" aku mengulurkan telapak tanganku, hendak melihatnya di genggamanku sendiri. Barang itu seperti barang tahun 90-an, dari luarnya sudah tampak unik. Seperti kataku tadi, sebuah disk player tua.
KAMU SEDANG MEMBACA
Khaos
ActionApa kau pernah merasa seperti hidup di dalam pusaran air yang membawamu pada ruang hampa waktu? Atau merasa seperti suatu skenario menghidupkan peran seorang Khaos dalam dirimu. Khaos, kehampaan dan kekacauan. Ada suatu titik di dalam hidup yang mem...