1. Nestapa

159 93 150
                                    

Orang-orang berhamburan keluar dari gerbong kereta. Menyesakkan pintu keluar dengan barang bawaan mereka. Beberapa orang memikul karung, kardus, dan tas plastik berisi bahan pangan maupun pakaian. Gegap gempita menyesakkan ruang untuk bernapas. Suhu pun menolak untuk bersahabat.

"Gendra!" aku yang tengah hati-hati melangkah di antara lautan manusia terhenti karena panggilan itu. Aku celingukan hingga mataku menemui seorang wanita paruh baya sedang melambaikan tangannya kepadaku. Praktis aku berlari menghampiri dan menghaburkan diri dalam pelukannya.

"Ya ampun, Gendra. Lama sekali kamu di Yogyakarta. Ibu sampai rindu," ucapnya sembari mengecup kedua pipi serta keningku.

"Aduh, Ibu. Ini baru dua minggu. Belum sebulan, setahun," aku menunduk dan menggelengkan kepala pelan.

Ah, leganya dapat pulang ke Bandung, kota kelahiranku. Dingin dan lampu-lampu yang kadang temaram di malam hari. Denting alat makan yang beradu di atas piring, gelak tawa anak kecil, lalu-lalang pedagang kaki lima. Apa yang kurang? Hidupku di Bandung sudah terasa sempurna. Terasa.

Aku mengamati ramainya stasiun kereta api. Ibu menggandeng tanganku, seperti anak kecil saja. Mata demi mata aku jumpai di sini. Bahkan di luar stasiun, suasana masih begitu ramai, mungkin karena hari ini hari Minggu. Ibu menghentikan langkahnya di tangga luar stasiun. Kepalanya ditolehkan ke kanan dan ke kiri, seperti mencari keberadaan seseorang.

"Lah, si Ganta mana. Katanya nunggu. Ah, budak eta teh meuni ... naon lah," ia menahan omelannya.

"Ganta jemput kita, Bu?" aku mengernyitkan dahi. Ibu merogoh tas jinjingnya. Ia mengeluarkan ponselnya lalu mengetik beberapa nomor untuk dihubungi.

"Bentar, kita telepon aja," ucapnya sedikit kesal. Ponsel tuanya itu ia tempelkan ke telinga kanannya. Sembari matanya yang masih jeli meneliti kanan dan kiri, mencari keberadaan Ganta.

"Kak Gendra!" praktis aku menoleh ke arah datangnya suara. Mataku mendapati Ganta sedang memegang ponselnya di samping tukang rujak yang jaraknya sekitar dua puluh meter dari tempat aku dan Ibu sedang berdiri. Ia memberi selembar rupiah berwarna hijau dan berlari kecil ke arahku dengan menenteng plastik hitam berisi rujak.

"Ganta, Ibu teh nyariin. Kirain diculik," Ibu memasukkan kembali ponselnya ke dalam tas.

"Dek, kamu libur atau bolos ini?" tanyaku dengan tatapan ingin menguliti.

"Ya ampun, Kak. Libur. Makanya SMS Ibu dibaca biar gak kudet," ledeknya menjulurkan lidah. Gantari Kanchana, adik perempuanku. Jika dalam bidang akademik aku tidak terlalu menonjol, Ganta melengkapiku. Ia menjadi kebanggaan keluarga berkat prestasinya di bidang akademik. Ia beberapa kali menduduki juara pertama kompetisi Sains tingkat provinsi. Ia juga pandai mengotak-atik hal-hal berbau teknologi. Ia bersyukur, atas kemenangannya mendapat medali emas, ia bisa masuk ke boarding school impiannya di Jakarta dengan beasiswa dari salah satu perusahaan swasta.

Maka dari itu, andai jawabannya adalah ia bolos, mungkin detik ini ia akan langsung meminta ampunan kepada aku dan Ibu.

"Nih, aku beliin rujak. Gak usah ditanya, pasti enak ini mah," ia menyodorkan plastik hitamnya kepadaku. Tercium aroma bumbu rujak yang pedas menusuk hidung. Aku berjalan tapi mataku fokus pada sebungkus plastik rujak yang tengah aku pegang. Dengan lincah aku menusuk buah-buahan di dalamnya. Ibu mengingatkanku untuk berhenti makan sebentar dan berjalan dengan benar, sayangnya aku terlalu lapar untuk menuruti perintahnya.

Cogito ergo sum, aku berpikir maka aku ada. Tanpa meminta ijin, aku membuka pintu mobil dan bersandar pada kursi di samping Ganta yang mengambil kendali. Jalanan begitu bercabang, luas, dan seperti memiliki jalur-jalur penghubung kecil antarjalan. Aku mengamati aktivitas para pedagang kaki lima di pinggiran jalan, menjual berbagai macam makanan serta kebutuhan. Motor-motor diparkir rapi selagi para pemiliknya mengantre untuk membawa pesanan mereka pulang. Seperti pagi pada hari lain yang sudah biasa, pedagang kupat tahu mendorong gerobaknya berkeliling kompleks perumahan maupun jalan-jalan besar. Dengan kentungan kecil di bawah pegangan tangan kanannya. Sesekali dipukulnya dengan ritme tertentu sebagai pertanda datang dirinya.

KhaosTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang