Jika bukan dari Arkan, Larissa tidak akan tahu sudah berapa lama dia berada di tempat ini.
Ketika lelaki itu menunjukkan angka 3 dengan jarinya, Larissa mengerang. Selama tiga hari itu, dia menjalani rutinitas yang sama setiap harinya. Dimandikan pelayan, makan, dipukuli Argani, diobati Arkan, makan lagi, dipukuli lagi, diobati lagi. Terus seperti itu sampai dia merasa bosan pada dirinya sendiri.
Tidak terhitung berapa lebam yang dia dapatkan di sekujur tubuhnya. Argani memang bajingan. Tanpa ragu dia sering membenturkan kepala Larissa ke tembok atau menendangnya jika dia masih menolak. Tapi yang benar saja. Larissa tidak mungkin menyerahkan dirinya pada iblis. Jika sekarang saja sudah seperti ini, dia tidak bisa membayangkan apa yang akan dia terima nanti jika dia menyerah dan memutuskan untuk menikah dengan Argani.
Oke, itu terlalu menyeramkan.
“Jangan menyerah,” kata Arkan sambil mengobati lebam di pipi Larissa. Lebamnya yang kemarin belum menghilang, tapi dia harus mendapatkan luka yang sama di tempat yang sama lagi. “Aku masih mencari cara untuk memberitahukan keberadaanmu pada Lucas Armanno.”
Larissa mendengus. “Kenapa kau tidak memberitahukannya secara langsung?”
Arkan menghentikan tangannya di udara dan mengangkat alis ke arah Larissa. “Jika semudah itu, aku pasti akan melakukannya sejak pertama kali melihatmu disini.” Dia lalu melanjutkan tugasnya dan bercerita dengan nada lirih yang aneh. “Argani menyewa beberapa orang untuk mengawasi kegiatanku di luar rumah. Dia bahkan menyadap semua telepon yang aku terima dan aku tidak bisa melawan sedikit pun. Kau tahu, dia agak gila menurutku.”
“Jika aku jadi Argani, aku juga pasti akan melakukan hal yang sama, terutama jika aku tahu apa yang sedang kau lakukan saat ini,” Larissa berkomentar, tidak dapat menghilangkan nada sinis yang menjadi ciri khasnya.
Alih-alih marah, Arkan malah menyeringai. “Ini satu-satunya tempat yang aman untukku. Tidak ada jendela, pintu tertutup rapat, dan jika boleh kutambahkan, ruangan ini juga kedap suara.” Binar jahil muncul di matanya. “Kupikir, sepertinya berduaan denganmu tidak begitu buruk juga.”
“Sangat buruk untukku,” Larissa mendengus.
“Kau hanya sedang menyangkal.”
“Lucu sekali.” Larissa lalu terdiam sementara matanya menerawang. “Arkan, kenapa kau sampai setega itu menyusup ke mansion Armanno dan mengkhianati Stefano?”
Arkan berdecak, menyimpan kapasnya ke atas nakas sebelum duduk tepat di hadapan Larissa yang sedang bersandar di kepala ranjang. “Kau tahu, Larissa. Aku tidak bisa menolak perintah dari Argani. Aku mungkin sudah tidak bernyawa sekarang jika aku berani melakukan itu.”
“Apa alasanmu menyusup ke mansion kami?” tanya Larissa penasaran. Dia sudah bertanya-tanya tentang hal ini sepanjang malam. Jika Arkan memang sebaik ini, untuk apa dia melakukan itu?
Arkan memutar bola mata sebal, seakan pertanyaan Larissa adalah pertanyaan paling bodoh sedunia. “Bukankah sudah kubilang bahwa aku tidak dapat menolak perintah Argani?” Dia berdecak begitu melihat kebingungan di wajah Larissa. “Argani menyuruhku, itu alasanku.”
“Lalu apa alasan Argani menyuruhmu?”
“Tentu saja untuk mengetahui apa yang terjadi di markas Armanno. Lagipula, informasi tentangku tidak pernah terkuak oleh media, jadi dia pikir, akan menguntungkan jika dia bisa memanfaatkanku.”
“Informasi apa yang kau katakan pada Argani?”
Arkan mengedikkan bahu. “Aku bilang puteri Lucas Armanno sudah sampai ke Indonesia.”
Refleks, Larissa mengambil bantal dan memukulkannya ke wajah Arkan dengan cepat hingga lelaki itu terkejut dan tidak sempat memberikan perlawanan apapun. “Kenapa kau lakukan itu, sialan?!”
KAMU SEDANG MEMBACA
The Devil and A Cup of Coffee
RomanceLarissa la Armanno sudah biasa ditolak, terutama dengan fakta bahwa dia adalah Armanno pertama yang terlahir sebagai seorang perempuan. Bisnis gelap yang dijalankan keluarganya jelas tidak menerima sosok perempuan sebagai pemimpin mereka. Karena itu...