“Hanya karena itu?” Adrian tidak dapat menahan diri untuk tidak mendengus geli begitu mendengar penuturan Larissa. “Kau memintaku untuk mengampuninya hanya karena dia adalah orang yang mengobati lukamu?”
“Dia orang baik,” Larissa bersikeras, terlihat lupa bahwa beberapa hari yang lalu dia baru saja lepas dari cengkeraman Argani Adyatama. “Arkan juga yang memberitahu kalian tentang tempat mereka mengurungku. Tidakkah itu cukup untukmu?”
Adrian mengerutkan dahi begitu mengingat tentang surat yang membuat mereka berhasil menyelamatkan Larissa. “Terserah. Lagipula aku sudah mengobati dan membebaskannya. Aku tak peduli lagi.”
Larissa baru saja ingin memukul Adrian jika dia tidak ingat bahwa ada infus di tangan kirinya sedangkan Adrian tidak pernah melepaskan tangan kanannya. Jadi yang bisa dia lakukan hanyalah mendengus dan memalingkan wajah ke arah pintu.
Tepat saat itulah keributan terjadi sebelum Larissa bisa mencerna semuanya.
Arsen membuka pintu dengan keras sebelum menarik Adrian berdiri dan meninju wajahnya berkali-kali. Zora menyusul dan langsung berusaha melepaskan Arsen dari Adrian sementara Larissa hanya bisa menjerit ngeri, terutama dengan fakta bahwa dia tidak bisa melakukan apapun.
“As!” seru Zora, kepanikkan menguasai wajahnya ketika dia tidak melihat tanda-tanda bahwa Arsen akan berhenti. “Arsen Antariksa!” Suaranya berubah menjadi rengekan frustrasi ketika Arsen malah menepis tangannya yang mencengkeram tangan lelaki itu.
Ketika sudah merasa cukup puas dengan beberapa luka yang dia berikan di wajah Adrian—yang anehnya tidak melawan sama sekali—Arsen melepaskan lelaki itu hingga terduduk kembali di tempatnya. Adrian mendongak untuk mendapati bahwa Arsen sedang menyeringai penuh kepuasan ke arahnya, sementara Zora masih berusaha menariknya mundur.
“Kukira kau sudah berubah,” seringaian di wajah Adrian semakin melebar ketika Arsen mengatakan itu, “tapi ternyata tidak. Kau masih seberengsek dulu. Bagaimana mungkin kau tidak mampu menjaganya ketika dia berada dalam daerah kekuasaanmu?”
Adrian bangkit dari duduknya, membuat aura kekuasaan yang menguar dari kedua lelaki itu memenuhi udara dan membuat Larissa sesak napas. Perpaduan antara aura itu dan bau obat-obatan yang menyengat jelas bukanlah hal yang menyenangkan untuk dihirup oleh seseorang yang baru saja mengalami peristiwa tak menyenangkan.
“Yang terpenting sekarang adalah dia selamat dan kau tidak perlu merisaukan apapun setelah ini.” Cara Adrian berbicara seolah-olah Larissa tidak ada disana, dan ini membuat Larissa merengut karena lelaki-lelaki itu jelas tidak pernah belajar cara untuk menghormati wanita.
Arsen mendengus. “Ya, benar, dan kita bisa mengabaikan luka-luka di sekujur tubuhnya dan kenyataan bahwa dia hampir saja diperkosa,” katanya sarkastis.
Dengan gerakan cepat yang terlatih—mungkin karena dia sering melakukan ini juga, mengingat seberapa seringnya Arsen terlibat dalam kegiatan antar lelaki—Zora memposisikan dirinya di antara Arsen dan Adrian sebelum mendorong dada kekasihnya dengan satu tangan, membuat Arsen mau tak mau mundur karena Larissa tahu dia tidak pernah bisa menolak Zora.
“As,” panggil Zora lirih, suaranya terdengar selembut biasa dan tanpa sadar kerinduan memenuhi dada Larissa hinga membuatnya sesak, “berhenti, oke? Cukup. Dia benar. Yang terpenting adalah Rissa baik-baik saja sekarang. Kau percaya pada Paman Lucas, bukan?”
Arsen mengerang, terlihat kesal sekaligus tidak berdaya. “Aku percaya padanya, jelas, tapi aku tidak bisa percaya pada bajingan yang berada di belakangmu.”
“Semua orang bisa melakukan kesalahan, As, tapi kita tidak berhak menghakimi orang yang berniat memperbaiki kesalahannya. Berikan dia kesempatan, As, tolong.”
KAMU SEDANG MEMBACA
The Devil and A Cup of Coffee
RomansaLarissa la Armanno sudah biasa ditolak, terutama dengan fakta bahwa dia adalah Armanno pertama yang terlahir sebagai seorang perempuan. Bisnis gelap yang dijalankan keluarganya jelas tidak menerima sosok perempuan sebagai pemimpin mereka. Karena itu...