Larissa pernah pingsan, tapi ketika dia sadar, rasanya tidak pernah sepusing ini.
Dia mengerang beberapa kali ketika merasakan kepala dan tengkuknya menjerit kesakitan. Lalu ketika matanya berhasil beradaptasi dengan cahaya, hal pertama yang dia pikirkan adalah: Ini bukan kamarku.
Lalu ingatannya melayang kembali pada apa yang membuatnya terjebak di tempat ini, dan kepanikan memukulnya dengan telak hingga dia turun dari tempat tidur dengan tergesa-gesa, tidak mempedulikan rasa sakit yang menyengat di kepalanya.
Ketika dia berhasil menginjakkan kaki di lantai, dia tiba-tiba sadar akan kehadiran orang lain di ruangan ini.
“Halo, Larissa la Armanno.”
Suara yang sarat akan kebencian itu membuat Larissa berpaling cepat-cepat, tersentak ketika menemukan dua lelaki sedang duduk di sofa yang berada di sudut ruangan. Mereka mengamatinya dengan tatapan intens yang membuat Larissa merinding di tempatnya.
Lalu matanya membelalak begitu mengenali siapa mereka.
Lelaki dengan kemeja dan celana jeans itu—dia tidak mungkin melupakannya—adalah Arkan Prawira, pengkhianat yang pernah diceritakan oleh Adrian. Sementara lelaki satunya, yang duduk tegak dengan setelan lengkap, jelas adalah Argani Adyatama, pewaris tunggal kerajaan bisnis Adyatama, seperti yang dikatakan salah satu situs internet ketika Larissa sedang mencari informasi tentang musuhnya.Dia tahu siapa orang-orang sialan yang menculiknya sekarang.
“Kupikir kau sudah tahu siapa kami,” kata si Sialan Adyatama, dengan gaya arogannya yang membuat Larissa mual, “jadi aku tidak perlu memperkenalkan diri.” Dia lalu bangkit dan menatap si pengkhianat Prawira. “Urus dia untukku.”
Lalu Argani Adyatama pergi begitu saja, tanpa menatap Larissa sama sekali.
Arkan bangkit dari duduknya dan berjalan ke arah Larissa, membuat gadis itu memundurkan tubuh hingga terjatuh di tempat tidur. “Aku bukan orang jahat, Larissa, sungguh.”
Larissa mendengus, melemparkan tatapan penuh ancaman hingga Arkan berhenti melangkah. “Benar, jika kita mengabaikan fakta bahwa kau baru saja mengkhianati Adrian.”
Adrian. Nama itu menimbulkan rasa sakit yang beberapa waktu lalu terlupakan, dan Larissa membenci dirinya karena ini.
“Aku tidak mengkhianatinya. Aku hanya menembak orang-orang yang menghalangiku pergi. Lagipula, mereka tidak mati, kan?”
“Kau bekerja untuk Adyatama,” Larissa mendesis.
“Aku tidak bekerja untuk keluargaku.”
Larissa membulatkan mata begitu menyadari bahaya apa yang dia hadapi sekarang. “Kau….”
Arkan menarik napas dalam-dalam, lalu melirik ke arah pintu, seakan memastikan bahwa benda itu sudah tertutup rapat. “Oke, aku akan menjelaskan. Tapi jangan menyelaku, jangan anggap aku jahat sebelum aku selesai, oke? Setelah itu, kau berhak menyimpulkan apapun.”
Larissa ingin menolak jika saja dia tidak melihat binar kejujuran itu di mata Arkan. Jadi pada akhirnya, dia menurut saja ketika Arkan duduk di sampingnya, meski dia sedikit beringsut untuk menjauh dari lelaki itu.
Sepertinya, Arkan tidak terganggu dengan itu. “Namaku Arkananta Adyatama,” dia memulai. Larissa diam, tidak menyela seperti kesepakatan awal mereka, “dan benar, Argani adalah kakakku. Kau tahu, Larissa, dendam terlalu kuat mengakar di antara keluarga kita, bukan?”
Larissa mengangguk.
“Argani membunuh kakak Stefano,” pernyataan ini membuat Larissa melotot karena terkejut. “Stefano membunuh tunangan Argani. Ayahku membunuh ibumu. Kakekmu membunuh nenekku. Selamanya tidak akan berhenti. Permusuhan dan dendam ini, entah apa asalnya, menghancurkan keluarga kita, membuat mereka berlomba-lomba membunuh satu sama lain.
KAMU SEDANG MEMBACA
The Devil and A Cup of Coffee
RomanceLarissa la Armanno sudah biasa ditolak, terutama dengan fakta bahwa dia adalah Armanno pertama yang terlahir sebagai seorang perempuan. Bisnis gelap yang dijalankan keluarganya jelas tidak menerima sosok perempuan sebagai pemimpin mereka. Karena itu...