5. Second In Command

5.8K 380 0
                                    

Hal pertama yang ada di pikiran Larissa ketika menginjakkan kaki di kamarnya adalah: Aku benci gelap, tapi aku lebih membenci Adrian.

Dia punya ketakutan yang aneh pada gelap, dimana dia tidak pernah merasa aman dalam kegelapan, seperti ada seseorang yang mengawasinya dan dia tidak menyukai sensasinya sama sekali. Sayangnya, tidak ada seorang pun yang tahu ketakutannya pada kegelapan.

Oh, ayolah. Dia tidak mungkin memberitahu siapapun, kan? Apa yang akan mereka pikirkan jika mengetahui bahwa puteri Lucas Armanno takut pada kegelapan? Tidak, Larissa tidak dapat membayangkannya. Dia sudah cukup dipandang lemah dan dia tidak butuh kelemahan lain yang akan membuat statusnya semakin rendah.

Seorang Armanno tidak seharusnya memiliki rasa takut, itu yang ditekankan ayahnya setiap hari sejak ibunya meninggal. Karena rasa takut adalah musuh terbesar yang bisa saja bekerja sama dengan musuhmu yang lain.

Bahkan sampai sekarang pun, Larissa masih belum bisa mengerti seluruhnya apa yang Lucas katakan di pemakaman Luna saat itu. Tapi satu hal yang dia pahami adalah, Aku akan terlihat lemah jika aku ketakutan.

Larissa menekan saklar lampunya dan sedikit menyipitkan mata ketika cahaya berlomba memasuki retinanya. Kemudian, ketika kegelapan sudah meninggalkannya sepenuhnya, dia baru bisa menghembuskan napas yang entah sejak kapan ditahannya.
Dengan perlahan, dia mengedarkan pandangan ke arah kamarnya, tersenyum simpul begitu merasakan kehadiran ibunya disini.

Dia tidak pernah mengganti tatanan kamar ini, karena dia tahu dia akan kehilangan ibunya jika dia melakukan itu. Cat merah mudanya mulai pudar, tapi dia tidak berniat mengecatnya kembali, meski sekarang dia sudah benci warna merah muda. Menakjubkan sekali betapa cat itu bisa tetap bertahan selama 12 tahun.
Atau mungkin Lucas pernah mengecatnya ulang ketika Larissa di Aussie?

Larissa menggelengkan kepala kuat-kuat. Tidak mungkin. Ayahnya tidak akan berani melakukan itu, karena dia tahu sepenting apa nilai kenangan untuk Larissa, meski dia berulang kali menyuruh Larissa untuk melupakan masa lalu dan meninggalkannya di belakang, tapi Larissa tetap bersikeras.

Lagipula, Larissa tahu bahwa ayahnya juga tidak meninggalkan masa lalu sama sekali setiap kali lelaki itu menatap foto Luna di meja kerjanya. Karena luka tidak mungkin terlupakan. Rasa sakitnya jelas masih membekas, rasa kosongnya semakin menjadi-jadi setiap hari, dan Larissa tidak tahu bagaimana ayahnya bisa bertahan sampai sejauh ini.

Barang-barang disini masih sama, lalu mata Larissa tiba-tiba tertumbuk pada benda asing yang tergeletak di nakas, di samping lampu tidur. Dia berani bersumpah bahwa dia tidak melihat benda itu saat dia meninggalkan ruangan ini tadi pagi.

Siapa orang yang berani memasuki kamarnya tanpa izin?

Didorong oleh rasa kesal dan penasaran, dia mengambil langkah perlahan-lahan sambil menajamkan inderanya untuk mendeteksi apakah ada seseorang di ruangan ini. Tapi dia tidak merasakan apapun, dan dia bersyukur karena itu.
Kemudian, ketika melihat lebih dekat dan mengetahui benda apa itu, Larissa menyeringai.

Ada secarik kertas juga disana, yang mana membuat dia bimbang apakah harus membacanya atau tidak. Tapi dia menyingkirkan ego dan logikanya, meraih kertas itu di antara jari-jarinya dan tertegun begitu mendapati apa yang tertulis disana.

Larissa la Armanno,
Jalankan tugasmu dengan baik atau aku sendiri yang akan menyingkirkanmu.

Stefano Adriano di Angelo

Larissa terdiam, sementara jarinya menyusuri tinta yang tergores disana, membentuk huruf-huruf ramping yang tegak dan terlihat misterius, seperti pemiliknya. Ternyata tulisan Adrian masih belum berubah, dia membatin. Apa lagi dari dirinya yang tidak berubah?
Oke, berhenti, Larissa mengomel pada dirinya sendiri. Lagipula, hubungannya dengan Adrian sekarang hanyalah bawahan dan atasan, kan?

The Devil and A Cup of CoffeeTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang