Chapter 01 : Awal

1.1K 137 16
                                    

Beratus-ratus tahun yang lalu.

Laut merupakan tempat tinggal makhluk-makhluk air seperti ikan, predator laut, kuda laut, dan sebagainya termasuk si makhluk mitologi Yunani yang dianggap telah punah—Duyung. Namun, karena rata-rata adalah seorang wanita jadilah mereka dikenal sebagai Siren yang merupakan salah satu mitologi Yunani yang amat terkenal karena kecantikan serta suara merdu mereka juga permainan harpa mereka yang mengagumkan.

Siren adalah makhluk berwujud setengah wanita setengah burung yang menyanyikan lagu pada para pelaut yang lewat. Menurut mitos yang beredar di kalangan penduduk, orang yang mendengar nyanyian mereka akan menjadi tidak sadarkan diri, sebagian menabrakkan kapal mereka ke batu karang dan sebagian akan menenggelamkan diri ke laut (1).

Padahal sebenarnya Siren tak sembarangan ketika menyanyikan lagu legendaris mereka. Mereka bernyanyi hanya untuk para pelaut atau perompak yang memiliki niat jahat. Agar niat jahat mereka tidak terlaksana, maka dari itu Siren melenyapkan mereka dengan cara membuat para pelaut itu terbuai akan suara indah mereka dan secara tak sadar mereka menabrakkan kapal mereka ke batu karang (2).

Sudah beratus-ratus tahun yang lalu tetap seperti itu. Namun, beberapa tahun belakangan ini ternyata ada yang berubah.

Nyanyian Siren tak hanya digunakan untuk membuai para pelaut yang memiliki niat jahat, tetapi beralih untuk menarik perhatian mereka. Tak ayal, ada beberapa Siren yang jatuh hati pada para pelaut dan memutuskan untuk pergi dari tempat kelahiran mereka demi mengikuti cinta sejatinya ke daratan.

Karena itulah keadaan laut memburuk. Petir saling bersahutan, ombak dengan ganasnya mengombang ambing perahu serta kapal-kapal di atasnya tanpa ampun. Alam menunjukkan amarahnya, menghancurkan segala macam spesies di laut dengan beringas, tak tanggung-tanggung dengan yang mengapung di atasnya.

Biarlah mereka tahu akibatnya karena sudah mengacaukan takdir yang telah ditetapkan, biarkan sang alam itu sendiri yang memberi mereka pelajaran—menghukum mereka tanpa ampun.

Badai berkepanjangan melanda lautan, ikan-ikan serta duyung yang menjadikan laut sebagai rumah mereka pergi—ke tempat lain yang lebih tenang dan aman. Namun ternyata tak semudah itu, semuanya terkena imbas atas kemarahan sang alam. Para ikan dan duyung pun perlahan mulai meregang nyawa akibat tak tahan dengan kondisi ekstrim alam mereka.

Karena tak tahan akan keadaan laut, beberapa duyung nekat pergi ke dunia manusia, tak jarang pula ada yang lebih memilih untuk tetap tinggal di laut agar tak membuat sang alam lebih marah lagi. Biarlah mereka tetap disana hingga akhirnya sang alam menjadi tenang.

Murka sang alam pun akhirnya mereda, para duyung yang menyadari hal itu bersuka cita. Mereka bersorak, nyanyian merdu pun terdengar, suara harpa saling bersahut-sahutan di laut lepas. Bukan untuk mencelakakan pelaut ataupun perompak, mereka melakukan itu sebagai bentuk rasa suka cita mereka karena telah berakhirnya kemarahan sang alam.

Meski begitu, jauh di dalam lubuk hati; mereka bersedih. Kemarahan sang alam bukan hanya merusak ekosistem laut mereka, namun membumihanguskan sebagian dari spesies mereka.

Ya, sebagian besar dari mereka mati karena amukan sang alam itu sendiri dan hanya sebagian kecil dari mereka saja yang mampu bertahan dengan kondisi yang sama menyedihkannya dengan lautan.

Mereka ingin marah, tetapi mereka cukup tahu diri dan memiliki firasat jika kemarahan sang alam berawal dari mereka. Ya, banyak dari mereka yang menentang takdir hingga membuat sang alam itu sendirilah yang menghukum mereka. Karena itulah mereka tidak ingin memancing amarah sang alam lagi sebelum akhirnya sang alam benar-benar membumihanguskan mereka semua.

The Blue Sea (HIATUS)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang