Lima

19K 1.3K 21
                                    

Tatapan Rein tertuju ke rumah megah dengan dua pilar besar yang didominasi warna putih, mirip dengan istana yang selalu ada dibayangannya kala dia masih kecil. Rein lalu menatap rumah di depannya dengan kagum.

"Ini rumah siapa?"

Lean menoleh, melihat Rein yang menatap bangunan di depannya dengan kagum. Sesekali Rein mengernyit lantas menggeleng. Seolah ada hal aneh yang mengganggu pikirannya. Lean menarik tangan Rein dan menarik gadis itu mendekat ke pintu utama.

"Le!! Ini rumah siapa!"

Tangan Rein yang bebas memukul lengan Lean. Sejak dari apartemen lelaki itu hanya diam. Padahal setahu Rein, lelaki itu ingin membawanya untuk makan.

"Lean!!" Rein memberontak dengan menghentikan langkah.

Langkah Lean pun terhenti. Dia menoleh dan menatap gadis yang sekarang memberenggut kesal itu. "Ini rumah gue. Yuk!" ajaknya seraya menarik tangan Rein.

"Tunggu deh. Lo kan mau ngajak gue makan. Kenapa malah ke rumah lo? Lo beneran mau makan gue? Sialan lo!! Gue nggak mau!!"

Rein mulai panik. Dia menoleh ke sekitar yang terlihat sepi, takut kalau Lean benar-benar memakannya. Apalagi di rumah sebesar ini, tentu Rein tidak akan bisa lolos.

"Enggak, Lean!!!"

Lean menghentikan langkahnya dan melihat raut ketakutan Rein. Senyum Lean langsung terukir tahu apa yang membuat wanita itu ketakutan. Tentu karena kata 'makan' yang sempat dia ucapkan di apartemen tadi.

"Gue nggak bakal makan lo. Lo tenang aja," jawabnya.

Di belakangnya, Rein berjalan dengan menatap ruang sekitar. Rumah yang terlihat megah ternyata bukan apa-apanya dibandingkan dengan apa yang di dalamnya. Dan bodohnya, Rein sempat mengagumi interior rumah Lean, disaat dia sedang ketakutan seperti sekarang.

"Bik!!!!"

Sesampainya di dapur Lean berteriak memanggil pembantunya. Tak lama dia mendengar suara sendal yang beradu dengan lantai. Lalu seorang pembantu berperawakan kurus masuk ke dapur.

"Siapin makanan! Ada macan kelaperan."

"Macan? Ya Allah den Lean, ngapain ngasih makan macan? Kalau macan itu nanti makan den Lean bahaya."

"Hahaha."

Mau tak mau Lean terbahak mendengar bik Sumi yang selalu heboh sendiri tiap menanggapi sesuatu. Bik Sumi memang orangnya seperti itu, tak gampang mengerti maksud dari kata ganti.

Rein yang baru gabung seketika mengernyit, menatap Lean yang terbahak itu. Dia lalu menatap Lean dan bik Sumi sambil menggaruk tengkuk kebingungan. Rein tak tahu apa yang terjadi sampai Lean tertawa terbahak seperti itu. Dia lalu menyenggol lengan Lean hingga lelaki itu menoleh.

"Kok lo malah ketawa sih? Lo ngerencanain sesuatu ya? Hayo ngaku!!" tuduhnya.

Lean menghapus sudut matanya yang berair karena tawanya. Dia menatap Rein yang menatapnya penuh selidik. Lalu dia menatap bik Sumi yang masih berdiri di tempatnya.

"Bik Sumi. Saya bukan mau ngasih makan macan beneran. Nih, macan yang saya maksud," kata Lean sambil menunjuk Rein.

"Lo ngatain gue macan!!"

Seketika Rein melotot kesal. Sebenarnya dia masih bingung apa yang dibicarakan Lean dengan bik Sumi tapi mendengar lelaki itu yang menyamakan dirinya dengan macan, jelas dia tak terima.

"Oalah Den, bibik kira ngasih macan beneran," jawab bik Sumi lega. Bik Sumi lalu mengusap dadanya naik turun. "Tunggu sebentar ya, Den. Bibik buatkan makanan dulu."

Lean mengangguk. Dia menoleh ke Rein yang menatapnya garang. Lean tersenyum tipis lantas menarik pundak Rein agar gadis itu memunggunginya. Setelah itu dia mendorong Rein keluar dapur.

"Le!! Gue butuh penjelasan!"

"Penjelasan apa? Gue nggak mutusin lo tiba-tiba. Jadi lo nggak perlu minta penjelasan."

Rein memutar bola matanya malas. Dia menjauhkan tangan Lean dari pundaknya lantas balik badan menghadap lelaki itu. "Gue serius."

"Gue juga."

Senyum Lean terukir kala melihat kekesalan di wajah Rein. Malam ini Lean banyak sekali membuat gadis itu cemberut, apalagi saat sedang lapar. Tambah terlihat garang, tak salah kan Lean menyebut Rein macan? Lean mengangkat bahu tak acuh lantas memilih duduk di sofa ruang tengah.

Melihat Lean yang berlalu, Rein menghentak. Rein berjalan mendekat lalu duduk di sebelah lelaki itu. "Gue mau tanya. Pertama ngapain lo ngajak gue ke rumah lo? Lo kan tahu gue anak dari musuh mama lo? Kalau mama lo ngamuk gimana?"

Lean menarik bantal sofa dan memeluknya erat. Dia geleng-geleng karena pertanyaan Rein yang beruntun itu. "Karena lo laper."

"Gue tahu tapi nggak ada tempat lain apa? Restoran gitu?"

Rein mengikuti tindakan Lean, memeluk bantal sofa. Sesekali Rein melirik untuk melihat eskpresi lelaki itu.

"Gue males, Rein. Hari ini banyak paparazi. Gue males."

"Ha? Lo diikutin. Emang kenapa?"

Pletak!

Lean menjitak kepala Rein karena pertanyaan itu. Dia merasa Rein kepo dan keluar dari topik pembicaraan. "Out of  the topic."

"Nggak pakai jitak juga kali!" gerutu Rein sambil mengusap puncak kepalanya.

"Sakit ya?"

"Menurut lo?"

Tangan Lean terulur ke puncak kepala Rein dan mengusapnya pelan. Tindakannya itu membuat Rein menatap Lean sambil melongo. Lean tersenyum tipis, entah kenapa melihat Rein yang bergitu ekspresif membuatnya ingin menyungingkan senyuman. Hal yang jarang Lean perlihatkan di depan publik.

Rein masih melongo seiring usapan Lean di puncak kepalanya. Ini bukan pertama kalinya dia merasakan diusap rambutnya oleh lelaki. Tapi kali ini dia begitu kaget dengan sikap Lean.

Arah pandang Rein lalu tertuju ke wajah bersih Lean. Lelaki itu memang tampan, Rein akui itu. Tatapannya tertuju ke bibir Lean yang memerah alami. Rein iri dibuatnya.

"Rein. Lo nggak kesambet kan?"

Seketika Rein tergagap, hilang sudah kekagumannya ke Lean. Dia lalu menjauhkan tangan Lean yang masih bertengger di kepalanya. "Out of the topic, Le."

"Iya-iya nggak usah cemberut gitu dong."

Lean terkekeh melihat Rein dengan bibir cemberut. "Lo mau tanya apa lagi?" tanyanya agar Rein melupakan cemberutnya itu.

Terdengar helaan napas panjang dari Rein. Perlahan dia menoleh ke Lean dan mengajukan pertanyaan lagi. "Terus yang macan-macan itu apa maksudnya?"

Jari telunjuk Lean mengusap dagu seolah sedang berpikir. Tindakan itu membuat Rein penasaran. "Bukan apa-apa kok."

Bibir Rein terbuka hendak memprotes, tapi suara dari dapur menginterupsi.

"Den Lean makanannya udah siap!"

Lean mendengar teriakan bik Sumi. Dia beranjak dari sofa dan mengulurkan tangannya. Rein pun menerima uluran tangan itu dan mereka berjalan beriringan.

"Yang gue maksud macan itu lo. Lo kelaperan. Ganasnya kayak macan," kata Lean sambil berjalan ke dapur.

"Sialan!!"

"Tapi macan yang satu ini bukan macan biasa. Macan, manis cantik."

Umpatan yang hendak keluar dari mulut Rein seketika tertelan. Dia senyum senyum-senyum sendiri. Ah!! Lean selalu bisa membuatnya kesal tapi... Udah-udah gue nggak mau mikir aneh!!

Romantic ScandalTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang