Mendung datang tak berarti akan turun hujan.
Begitulah cibiran khas saat Nimbus datang. Terutama sejak Nimbus bersama Anggaraksa. Nimbus yang seharusnya akan tampak semakin gagah bersanding dengan mustika sakti tersebut. Membuatnya lebih dipercaya dan disegani. Meneguhkan jabatannya sebagai Pengendali Musim Penghujan. Namun kenyataannya, Nimbus malah jadi bulan-bulanan dengan julukan baru: Nimbus Sang Tak Becus. Pasalnya, mustika berwujud tongkat itu menjerumuskan Nimbus dalam banyak kekacauan. Seperti sore itu...
Nimbus sudah bergelung-gelung. Menggiring titik-titik air dalam wujud awannya. Mengendalikan hujan dengan cara terbelakang sekali. Bersiap menjatuhkan bawaannya menjadi guyuran hujan. Ah, andai Anggaraksa mau sedikit mengalah. Tunduk kepada tuannya seperti saat memilihku menjadi pemiliknya. Tentu mudah bagiku mengendalikan musim penghujan dengan cara lebih elegan, batinnya muram.
Lengah sedikit. Tiba-tiba Anggaraksa meloloskan diri dari genggaman Nimbus. Tanda-tanda Sang Mustika hendak berulah lagi.
"Oei... Apa yang kau lakukan?" teriak Nimbus geram.
Anggaraksa melompat kesana-kemari. Meliuk-liuk. Menusuk-nusuk bagian tubuh Nimbus di sana-sini sampai kegelian.
"Hentikan! Hentikan!" jerit Nimbus tak tahan. "Sekarang bukan saatnya main-main! Nanti saja. Oke?"
Rupanya Anggaraksa enggan menunggu. Tongkat Sakti itu terbang berputar-putar, lalu berdiri tegak tepat di atas sosok Nimbus yang semakin menggemuk.
Nimbus menggela napas. Setiup angin berhembus kencang, keluar dari bagian tubuhnya yang semakin menghitam. "Baiklah," ucapnya kemudian. Sekadar bertaktik saja. "Segera setelah hujan hari ini turun dengan sempurna, kita bermain. Aku Janji!"
Entah sudah berapa kali Nimbus mendapat teguran belakangan ini. Alih-alih menurunkan hujan sejuk dengan air menyirami bumi, manusia di bawah sana terperanjat saat dihujani bongkahan es batu sekepalan tangan. Hingga dia didatangi Sang Magi, "Bila sekali lagi kelalaian terjadi, Sang Hyang akan turun langsung memberimu sanksi."
Jelas Nimbus ngeri, dan berusaha sangat-sangat-sangat berhati-hati kali ini.
Namun, di atas sana Anggaraksa tak bergeming.
"Ayolah... lakukan saja tugasmu. Gunakan sedikit petirmu, cairkan semua ini," mohon Nimbus. "Kau tak mau kan, kemarahan Sang Hyang mematahkanmu?"
Patah. Semoga kata itu cukup sakti untuk menyadarkan Anggaraksa betapa seriusnya urusan hujan ini.
Dan, tiba-tiba Sebatang Jarum Baja Raksasa mewujud. Meluncur cepat ke arah Nimbus.
Uh-Oh... tidak!!!
Jelas ancaman tak mempan bagi Anggaraksa. Nimbus salah langkah.
Benturan pun tak terhindarkan.
DUARRRRR...!
Petir maha dahsyat menggelegar. Gemanya menggetarkan hingga Kerajaan Langit. Memecahkan wujud awan Nimbus berkeping-keping. Membuyarkan bawaannya dalam wujud serpihan es batu. Terbayang sudah manusia-manusia mengaduh dan mengeluh. Lagi, bencana alam terjadi di bawah sana. Merusak dan mungkin membunuh makhluk tak bersalah.
"Anggaraksa! Kembali kau ke sini!" sergah Nimbus murka.
Tapi Sang Mustika melesat pergi. Menembus sebuah pusaran yang tiba-tiba muncul tak jauh dari mereka. Itu sebuah... Pintu Waktu!
Nimbus pun tak membuang waktu. Terbang cepat membuntuti. Tapi, sial. Di depan Pintu Waktu, dia tertangkap basah Sang Penjaga Waktu.
"Mau melarikan diri, hah? Jadi, inilah yang akan kau dapati," tandas Sang Penjaga Waktu. Kemudian menghempaskan Nimbus.
Seakan terjatuh tanpa daya. Nimbus mewujud kembali dalam sosok anak laki-laki berusia 12 tahun berambut biru. Sosok yang paling sesuai dengannya. Sayangnya, sama sekali tak menguntungkan posisinya saat ini. Sama sekali tak berdaya melawan tarikan kuat yang membuatnya jatuh menembus Istana Cahaya.
Tubuh Nimbus membentur lantai istana tanpa suara. Sehening kelengangan yang menyambutnya. Tapi dia tersungkur sempurna. Dan saat menengadah... seketika Nimbus pun membeku. Beruntung tubuhnya kini sebening embun.Tak terlihat. Entah sejak kapan. Padahal dia ingat betul, segala kekuatan tak berlaku di lingkungan istana ini. Jadi, siapa yang melakukannya kepadaku? Melindungiku? Ataukah agar aku tidak mengganggu? batinnya bertanya-tanya. Sedikit berharap bukan yang terakhir jawabannya.
Lalu, dia segera menyadari arti keheningan di sekelilingnya.
Nimbus melihat 16 pejabat berkumpul di sana. Tentu saja dia mengenal mereka semua. Walaupun dia sangsi apakah dirinya cukup penting untuk dikenal, apalagi berada di pertemuan ini. Lalu, tampak Sang Hyang di singgasananya. Sungguh, dia berharap keberadaannya tidak disadari oleh siapapun di ruang ini. Dia tamu tak diundang.
Salahkan Sang Panjaga Waktu yang mengirimnya ke sini! Salahkan Anggaraksa yang membuat kekacauan lagi! Rutuknya dalam hati.
Lalu, Nimbus mendengar suara Sang Penguasa Bawanapraba. Menitahkan 17 pejabat tinggi kerajaan untuk mencari pecahan kristal di ujung tongkatnya yang dulu hancur berkeping-keping. Mustika sakti yang telah berhasil mengalahkan Sang Iblis dalam pertarungan terbesar sejarah Dunia Cahaya. Walau Sang Iblis sudah berhasil diamankan dalam Jeruji Keabadian, namun rupanya Sang Hyang melihat pecahan kristal dari mustikanya itu akan menjadi benih-benih penerus Sang Iblis di alam Nusantara. Karena manusia atau makhluk lain yang menemukannya menggunakan kekuatan pecahan kristal untuk merusak.
"Nimbus... berdirilah." Sang Hyang berbicara kepadanya.
Nimbus yang masih tertelungkup di lantai, akhirnya tersadar kini tubuhnya normal kembali-jelaslah kekuatan siapa yang melindunginya tadi. Dan ruangan pertemuan telah sepi. Para utusan telah pergi. Meninggalkan Sang Hyang dan Nimbus berdua. Segera dia bangkit, tapi tak berdiri.
Nimbus bersujud. Tak berani memperlihatkan wajah. Apalagi menatap Sang Hyang dengan sepasang mata birunya. "Hamba bersalah, Yang Mulia. Mohon hukum hamba..." ucapnya berserah diri.
"Bukan kebetulan kau berada di sini, Anakku. Hari ini, sekali lagi kau berperan penting sekali, melebihi yang kau kira. Kau melakukannya bersama Anggaraksa," ujar Sang Hyang dengan suara kebapakan.
Aku dan Anggaraksa kompak? Nimbus kebingungan. Tak mampu mencerna sabda Sang Hyang kepadanya. Dahulu dia memang pernah membantu Sang Hyang menciptakan Tsunami dahsyat. Membunuh ratusan jiwa manusia dan ribuan makhluk lainnya. Bahkan beberapa pejabat penting kerajaan, Pengendali Air dan entah siapa lagi... beruntung Sang Hyang merahasiakan perannya. Bila tidak, tentu dia sudah habis oleh kedua putra Sang Pengendali Air. Nimbus tak percaya diri akan bisa menghadapi kekuatan Dhanu dan Baruna, walaupun cuma sekadar bertahan saja.
Lalu, apa yang telah dilakukannya kali ini? Apa yang telah dilakukan Anggaraksa kepada Sang Penguasa Bawanapraba? Apakah hujan es batunya akhir-akhir ini telah membunuh lebih dari jiwa manusia dan makhluk fana? Nimbus semakin ngeri memikirkannya.
"Sekarang pergilah. Bila berhasil, kamu akan menyelesaikan tiga hal sekaligus. Mengambil kembali pecahan kristal mustika milikku, menaklukkan Anggaraksa untukmu, dan-"
Apa?
Mendadak Tubuh Nimbus merosot ke bawah. Tersedot dalam lubang waktu.
"Sial, kau Sang Penjaga Waktu! Apa yang kau lakukan kepadaku! Aku belum tuntas mendengar pesan terakhirnyaaaa..... aaaaarrrrgghhh!" jeritan Nimbus teredam dalamnya lorong waktu.
KAMU SEDANG MEMBACA
Patah Sang Penjinak Anggaraksa
FantasyTahukah kamu Legenda Situ Bagendit? Benarkah karena sebuah lidi yang tercabut di masa Bagenda Endit menyebabkan terjadinya sumber air bah dan menenggelamkan semuanya hingga terbentuklah situ (danau)? Bagaimana bila ada kisah lain di baliknya? Sebuah...