Bocah Kesebelas

274 44 30
                                    



"Empat kaki, ekor panjang, moncong dengan sungut, rambut, dan... perut gendut!" ucap Nimbus kebingungan sembari meraba-raba tubuhnya. "Apa-apaan ini?"

Nimbus pun berdiri dengan kedua kaki belakangnya. Dengan moncong barunya dia berusaha mengendus-endus aroma air. Bisakah?

Biasanya, Nimbus dapat mencium pergerakan air di manapun itu. Dia memang bukanlah Pengendali Air, namun air selalu mau bekerjasama dengannya. Demi keseimbangan alam. Air di bawah, air ke atas, air turun lagi ke bawah. Selalu begitu perputarannya. Tak pernah lebih ataupun kurang. Walau saat ini, dia mencari tempat sumber air bukanlah untuk urusan sepenting keseimbangan alam, tapi urusan genting lainnya.

Kemudian, buru-buru Nimbus melarikan keempat kaki-kaki kecilnya. Dia tak mempedulikan sedang berada di mana. Tak penting untuk saat ini. Dia harus melihat wujudnya segera. Sejak tubuhnya tersedot ke lorong waktu kedua kalinya, lalu merasakan tubuhnya menciut lebih kecil lagi, dan akhirnya terjatuh menjejak tanah dengan keempat kaki, Nimbus merasakan keganjilan yang sangat mengawatirkan.

Akhirnya, terdengar suara aliran air. Sekali lagi Nimbus berdiri dengan kedua kaki belakangnya sejenak. Dan ditemukannya pemandangan yang dicarinya terhampar tak jauh di hadapan, segera dia berlari gesit. Melompati bebatuan. Hingga memijaki pada sebuah batu yang diincar sejak tadi.

Kini, tepat di bawahnya mengalir air yang dangkal dan amat jernih.

Tanpa membuang waktu lagi, Nimbus melongokkan kepala. Menatap bayangan diri yang terpantul di bawah sana.

Tapi, di mana tubuhnya?

Alih-alih memandang sosok anak laki-laki dua belas tahun dengan sepasang mata biru, di permukaan air itu Nimbus mendapati sosok mungil dengan rambut abu-abu sekujur tubuh dan sepasang mata hitam membulat...

"TIKUUUSSS?" jerit Nimbus melolong. Eh, bukan... mencicit tepatnya!

Nimbus si Tikus pun melompat-lompat geram. Menumpahkan segala kekesalannya dengan mencericit menyumpahi si Penganggu Penjaga Waktu. Bukannya membantu, malah memerangkap tubuhnya dalam wujud makhluk mungil ini! Siapa lagi coba yang tega mengerjainya? Dan fatalnya, Nimbus sadar dia tak bisa mengubah sosoknya tanpa bantuan tongkat mustikanya yang kini menghilang entah kemana. Sungguh, sial sekali nasibnya! Sial, sial, sial!

"Anggaraksa... aku merindukanmu, teman," gumam Nimbus sedih.

Sebelumnya mereka tak pernah terpisah jauh. Sebetulnya, Nimbus merasa beruntung sekali Anggaraksa memilih bersamanya. Karena banyak pejabat lain yang mengincar mustika sakti yang sudah amat lama tak bertuan itu.

Anggaraksa adalah salah satu mustika yang amat spesial. Sang Hyang sendiri yang menciptakannya dari cuwilan batang tongkat mustikanya sendiri, khusus untuk diberikan kepada satu manusia pilihan kesayangannya. Dan, Anggaraksa berhasil mengukir sejarah manusia setelah membelah lautan.

Setelah itu nama Anggaraksa pun termasyur di antara manusia dan makhluk di dunia fana. Walaupun mereka semua menyebutnya dengan nama-nama berbeda. Hingga tuannya diketahui tutup usia, para manusia sakti pun mulai berebutan mencari dan menjinakkannya. Namun, untunglah Sang Hyang segera memanggilnya kembali. Menempatkan Anggaraksa pada salah satu istana di khayangan, menunggu tuan baru pilihan Sang Hyang.

Siapa sangka, muncul seekor kera amat sakti mengobrak-abrik istana itu. Mengaku sebagai Penjinak Anggarakasa dan berhasil menguasainya. Bahkan mengubah Anggaraksa menyerupai tuan barunya itu. Suka bermain-main dan membuat banyak kekacauan.

Saat sang kera usil berhasil ditaklukkan, Anggaraksa sudah tak sama lagi. Tak terkendali. Terhitung sepuluh pejabat sudah yang diutus ke istana baru Anggaraksa. Namun, tak satupun yang diacuhkannya. Tak satupun berhasil menjinakkannya.

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: Jun 15, 2017 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

Patah Sang Penjinak AnggaraksaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang