Pesan Terakhir

223 37 17
                                    

Patah menaikkan sebelah alisnya, sembari mendekatkan telinga kanannya. Namun, dia tetap tak bisa mendengar pesan terakhir itu. Padahal di hadapannya, mulut yang memerah karena mengunyah sirih pinang itu masih terlihat membuka menutup seperti seekor ikan. Anehnya tak ada suara yang terdengar. Sebaliknya, sayup-sayup telinga kiri Patah menangkap celotehan anak-anak di kejauhan sana.

Ah! Bola mata Patah pun membulat.

Dia ingat. Terakhir kali mendengar suara anak-anak memasuki hutan sekitaran setahun lalu. Saat itu Nenek Gitu malah mengurung dirinya. Tidak boleh keluar seharian. Nenek Gitu cuma mengatakan, "Seorang bocah biasa yang lewat depan rumah bukanlah tontonan." Kemudian Nenek Gitu membuat ramuan minuman dan memaksa Patah meminumnya sampai habis. Itu jamu terpahit yang pernah dia minum yang langsung membuatnya terlelap nyenyak sekali. Hingga baru terbangun keesokan siangnya.

Kali ini, Patah bertekad tak akan melewatkan pemandangan langka itu. Karena tak pernah ada anak lain yang memasuki hutan kecuali dirinya sendiri. Patah memang tinggal di dalam hutan, di sebuah gubuk beratap rumbia bersama Nenek Gitu yang merawatnya sejak bayi. Makanya, dia berharap telinga tua Nenek Gitu belum menyadari kedatangan anak-anak yang memasuki hutan. Dia ingin sekali bisa melihat anak-anak lain.

Ditambah lagi pesan pertama Nenek Gitu yang selalu Patah ingat, "Tak boleh meninggalkan hutan ini, ya. Kamu boleh bermain asalkan tidak keluar dari hutan." Alhasil dia tak pernah melihat anak-anak lainnya selama ini. Apalagi bisa bermain dengan teman sebayanya.

"Patah..." tegur suara Nenek Gitu. "Kamu dengar pesan Nenek, kan?"

"Iya, Nek!" seru Patah cepat-cepat sambil menganggukkan kepala. Hanya agar Nenek Gitu cepat menyelesaikan petuahnya. Hingga dia bisa melompat pergi sebelum mentari naik semakin tinggi, sebelum sepasang mata rabun Nenek Gitu menyadari cucu satu-satunya itu telah kabur lagi. Toh, besok dia bisa mendengarnya lagi. Nenek Gitu pasti mau mengulangnya lagi kapan pun dia meminta.

***

Anak-anak itu berjalan beriringan, berbaris dua-dua. Berjalan sembari mengobrol. Kadang saling dorong dan bercanda. Sering kali juga tangan-tangan mereka teracung tinggi-tinggi. Menunjuk-nunjuk binatang dan tumbuhan yang baru pertama kali mereka jumpai di sana-sini. Kentara sekali baru pertama kali memasuki hutan.

"Ah, aku udah nggak sabar, nih! kepingin cepat-cepat sampai!" seru seorang anak berkulit paling gosong.

"Aku juga!" sahut temannya. Anak paling kecil. "Biasanya, kan, kita malah dilarang bermain dekat-dekat hutan."

"Iya. Sekarang, kita malah boleh masuk ke dalam hutan seperti ini. Seru!" timpal anak di barisan paling depan. Sengaja membalikkan badan dan berjalan mundur kesenangan.

"Katanya, itu tempat paling menarik di hutan ini!" ucap anak paling tinggi.

"Beruntung kita terpilih, ya!" seru anak lainnya lagi yang bertubuh subur, berjalan di urutan paling belakang.

Di tempat persembunyiaan, Patah mengerutkan kening. Mereka mau kemana, sih? batinnya bertanya-tanya, sembari kaki-kaki kecilnya tetap melangkah hati-hati agar tidak tertinggal. Dia kan hapal tempat-tempat di hutan ini, jadi mudah baginya mengikuti dengan tubuh tetap tersembunyi. Walaupun terik matahari sudah sempurna hingga tercipta bintang-bintang siang yang mengintip di sela daun-daun pepohonan tinggi.

Sejauh yang bisa Patah ingat, dia sudah menjelajahi tempat-tempat menarik di dalam hutan. Dia sangsi ada tempat menarik lainnya yang belum diketahuinya. Apalagi sampai membuat anak-anak itu memasuki hutan bersamaan begitu. Makanya itu dia heran dan penasaran sekali. Diam-diam melanjutkan mengikuti sambil mengamati rombongan itu.

Semuanya anak laki-laki. Usianya nyaris sebaya dengan Patah. Kira-kira berumur sepuluh tahunan seperti dirinya. Ada sekitar sepuluhan anak bertelanjang dada dengan kepala dicukur bersih. Hanya mengenakan celana kain sebatas lutut dengan pita emas, dan berjalan tanpa alas kaki. Semuanya tampak rapi dan wangi. Aroma sabun tercium oleh Patah yang mengikuti tak jauh di belakang. Sangat berbeda dengan dirinya. Bahkan dia sendiri sudah lupa kapan terakhir kalinya mandi. Pakaian lusuh yang dikenakannya pun sudah lama tak pernah ganti.

"Berhenti di sini...!" Tiba-tiba terdengar suara orang dewasa memberi perintah.

Kaget, Patah pun memanjangkan leher. Melongok ke arah asal suara di depan sana. Ternyata ada seorang laki-laki di kejauhan sana. Seseorang berpakaian serba hitam yang semenjak tadi memimpin rombongan anak-anak itu.

"Nah, sebentar lagi kita sampai. Di balik tanjakan itulah tempatnya," ucap laki-laki tersebut. Lalu menunjuk tanjakan di depan. "Ingat pesan tetua desa sebelum kalian berangkat tadi. Kalian semua boleh bermain sepuasnya di situ. Karena kalian adalah anak-anak terpilih. Tapi menjelang petang, kalian semua sudah harus meninggalkan hutan ini. Jadi, saat nanti Bapak minta kalian semua kembali, jangan sampai ada seorang anak pun yang tertinggal di sini."

Anak-anak itu mengangguk-angguk dengan semangat.

Patah melihatnya, dan segera teringat kelakuannya sendiri saat bersama Nenek Gitu di rumah tadi. Saat dia ingin cepat-cepat Nenek Gitu menyelesaikan kalimatnya, agar dia bisa cepat pergi. Karena sebenarnya dia sudah tak mau mendengar pesan nasihat apapun lagi. Seperti itulah gelagat anak-anak itu.

Kemudian anak-anak itu pun berhamburan. Berlari, berebutan melalui tanjakan di depan mata. Menyibakkan dedauan yang menutupi jalan ke sana. Sebentar kemudian terdengar seruan-seruan bersemangat dan suara cipratan air.

Air?

Patah membeku hanya membayangkan anak-anak itu sedang bermain air. Berarti di balik tanjakan itu ada sumber air atau sungai. Dia ingat pesan kedua Nenek Gitu kepadanya, "Patah tidak boleh ke sungai sendirian, ya. Harus ditemani Nenek."

Biasanya Nenek Gitu mengajak Patah masuk ke hutan lebih dalam lagi untuk mencapai sumber air. Ada sebuah curug dengan air yang jerih. Dia bisa bermain-main air sepuasnya sementara Nenek Gitu mencuci pakaian. Tapi, tidak setiap hari Nenek Gitu mengajaknya ke sana. Bahkan, Nenek Gitu belum pernah mengajaknya ke sungai di balik tanjakan itu. Padahalnya jaraknya lebih dekat dengan rumah mereka.

Patah belum beranjak dari tempat persembunyiannya. Pertama, dia ragu untuk melanggar pesan Nenek Gitu lagi. Kedua, orang berpakaian serba hitam itu masih berdiri diam di sana. Tepat di dekat tanjakan. Seakan menunggu sebuah pintu agar tak ada yang menerobos masuk tanpa sepengetahuannya. Kini, Patah bisa melihat jari-jarinya yang berbonggol. Bukan, itu bebatuan yang menempel di cincin yang melingkari kesepuluh jarinya. Patah mengetahuinya, karena Nenek Gitu juga memakainya di salah satu jemarinya.

Lalu jeritan-jeritan riang itu terdengar lagi. Anak-anak sedang bermain air di balik sana. Patah jadi ingin bermain bersama mereka. Mungkin anak-anak itu baik dan mau berteman dengannya. Bukankah itulah tujuannya mengikuti anak-anak itu sedari tadi? Dia akan punya teman sebaya!

Patah pun melangkah mundur. Menjauhi si penjaga pintu tanjakan. Tanpa suara dia berbalik dan melangkah mencari jalan lain. Menerobos semak belukar untuk menemukan sungai dengan anak-anak calon teman-temannya itu. Itu tak begitu susah untuk seorang Patah yang sudah menjelajahi seisi hutan.

Akhirnya... di sinilah dia. Berdiri di sebongkah batu besar. Cukup tinggi untuk melihat semua anak yang sedang mandi dan bermain air di bawah sana. Anak-anak itu tampak bahagia sekali. Mereka semua berada di aliran sungai yang jernih. Di bagian sungai yang dangkal dan aman. Berbeda dengan tempat Patah berada. Di bawah batu besar yang dia pijaki, airnya tampak dalam. Dia pandai berenang. Dia bisa melompat dan membuat suara ceburan keras yang pastinya akan menarik perhatian anak-anak itu. mereka pasti akan kagum kepadanya, dan langsung mau menjadi temannya. Setelah itu, mereka akan minta diajarin melompat dan mereka pun menjadi teman dekat selamanya. Rencana yang sempurna! Hihihi...

Patah bersiap melompat dengan gaya, saat tiba-tiba sesuatu menahan bagian belakang celananya. Lalu, menariknya dengan kuat. Sreeet!

"Aaargh--!" pekik Patah tertahan. Karena sebuah tangan mendadak muncul membekap mulutnya.

Patah Sang Penjinak AnggaraksaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang