Wajah Patah memerah. Mungkin sudah semerah tomat di kebun belakang rumah Nenek Gitu. Dia bukannya sedang marah. Walaupun barusan tubuhnya ditarik tiba-tiba sampai membuatnya terjengkang. Bukan. Tapi, gara-gara itu, sekarang tali pengikat celananya putus. Celananya pun melorot semata kaki saat dia berdiri. Ditambah lagi, Patah baru menyadari ada seseorang yang berdiri tak jauh di dekatnya. Seseorang yang tadi menariknya dari atas batu. Seorang anak perempuan.
Waaa...!
Belingsatan Patah berusaha menutupi pangkal pahanya dengan kedua tangan. Sedetik kemudian dia teringat untuk menarik celananya ke atas. Tapi tanpa talinya, dia harus memegangi ujungnya kuat-kuat kalau tak mau melorot lagi. Dan, dia malu sekali sekarang ini.
"Kamu... anak laki-laki?" gumam anak perempuan itu terkejut.
Patah masih mematung begitu saja. Menundukkan kepala dalam-dalam. Tak berani bergerak ataupun bernapas. Takut perutnya mengempis dan celananya terjatuh lagi.
"Maaf, kukira tadi kamu anak perempuan," ucap anak itu lagi. "Habis rambutmu panjang, sih. Di desaku cuma anak perempuan yang memanjangkan rambutnya."
Rambut Patah memang sepanjang bahu. Kemerahan dengan ujung-ujung mencuat tak beraturan. Sudah lama Nenek Gitu tak sempat memotongnya. Karena selama ini dia tak pernah melihat anak laki-laki lain, dianggapnya wajar saja kalau rambutnya gondrong begitu.
"Makanya aku tarik kamu jauh-jauh dari sungai tadi. Kuatir ketahuan Amang. Kamu bisa dihukum nanti. Apalagi anak perempuan kan nggak boleh ngintip anak laki-laki mandi. Apa emak bapakmu nggak pernah menasihati?" lanjut anak itu menyerocos lagi.
Patah diam mendengarkan. Anak perempuan itu cerewet sekali, ya? batinnya masih tak berani menegakkan kepala. Tapi dia bisa melihat bayangan yang sibuk mondar-mandir ke sana kemari.
Beberapa saat kemudian, Patah merasa pinggangnya dibebat. Dan seutas tali darurat telah melingkari tubuhnya dengan erat.
"Sekarang kamu bisa melepaskan pegangganmu. Maaf juga untuk yang satu itu," kata anak itu. "Tak perlu malu-malu begitu, aku sudah biasa melihat anak laki-laki mandi telanjang kok. Di desa anak laki-laki suka mandi ramai-ramai di sumur."
Eh, bukannya tadi dia bilang melarang itu? Terus sekarang dia mengaku ini? batin Patah berusaha mencerna. Lalu, dia menepis kebingungannya sendiri dan mulai melepaskan tangannya dari ujung celana pelan-pelan. Ternyata sudah aman. Dia pun menegadahkan kepala untuk menatap teman barunya. Rupanya, anak perempuan itu sedang tersenyum manis sekali. Cantik sekali.
"Jadi, siapa namamu? Namaku Endit. Karena sepertinya aku lebih tua darimu, panggil aku Teteh. Atau cukup Teh Endit saja."
"Patah," sahutnya singkat kemudian.
Rupanya, Endit sudah dua belas tahun. Pantas anak perempuan itu sejengkalan lebih tinggi dari Patah. Rambutnya pun lebih panjang dari rambut Patah, rambut Endit lurus dan halus sampai ke pinggang. Endit mengaku cukup sering ke sungai ini untuk menangkap ikan. Ditunjukkannya sebuah tongkat kayu panjang dengan ujung yang sudah diruncingkan. Selain itu, Endit juga mengambil air dan membagikan ke para tetangga saat musim kemarau karena sumur-sumur di desa akan kekeringan.
Orang-orang desa jarang yang mau mendekati sungai ini. Atau lebih tepatnya takut. Mereka bahkan terang-terangan melarang anak laki-laki mendekati hutan karena adanya sungai ini dengan menyebarkan cerita-cerita seram. Dari jurig penunggu hutan yang suka menculik anak-anak, sampai siluman penjaga sungai yang suka memakan anak manusia.
"Kalau anak perempuan sih, aman. Nggak ada larangan," kata Endit mengakhiri cerita.
"Terus mereka itu ngapain?" cetus Patah bertanya, sembari menunjuk ke arah sungai dan mengingatkan pada teriakan-teriakan menggoda sekumpulan anak laki-laki sedang bermain di sungai. Sejak tadi dia kebingungan karena cerita Endit bertentangan dengan kenyataan.
KAMU SEDANG MEMBACA
Patah Sang Penjinak Anggaraksa
FantasíaTahukah kamu Legenda Situ Bagendit? Benarkah karena sebuah lidi yang tercabut di masa Bagenda Endit menyebabkan terjadinya sumber air bah dan menenggelamkan semuanya hingga terbentuklah situ (danau)? Bagaimana bila ada kisah lain di baliknya? Sebuah...