Prolog - Mark

960 78 5
                                    

Mulmed: Elton John - Saturday Night alright for fighting

Aku merasakan sesuatu.

Aku tak tahu apakah itu hanya firasat konyolku ataukah aku memang betul-betul sedang diawasi.

Ya, benar. Diawasi. Kalian tidak salah baca sedikitpun. Aku merasa bahwa aku sedang diawasi oleh Stalker Payah (ini julukan yang kuberikan, bukan nama aslinya.) Tidak hanya sekali saja, tetapi beberapa kali setiap aku sendirian. Baik saat aku sedang diluar pagar sekolah, mengantarkan barang-barang konsumen, hingga pulang larut malam. Sudah seminggu ini terjadi dan aku belum tahu jati diri si Stalker Payah ini.

Bukannya aku tidak mencoba. Sekitar dua hari lalu, aku berpura-pura pergi ke Taman Citra dan membeli es krim coklat supaya aku tidak bereaksi berlebihan. Beberapa menit aku menunggu hingga Stalker Payah muncul. Sungguh, dia sangat payah. Tingkah lakunya begitu jelas di mataku. Tanpa banyak membuang waktu, aku menghabiskan es krim dengan sekali makan lalu perlahan kudekati dia. Sialnya, dia sadar dan langsung kabur. Aku mencoba mengejarnya tapi nihil. Dia menghilang.

Aku belum menceritakan hal ini kepada siapapun. Baik Neng, Clay, hingga Hans sekalipun tak kuberitahu. Aku tidak mau mereka khawatir denganku. Aku bisa menangani hal ini tanpa mereka. Lagipula, Neng dan Hans butuh waktu setelah apa yang terjadi pada Sera (dan juga, aku benci Clay. Tahu kan alasannya? Good.)

Jadi malam ini, aku akan menangkap si oknum laknat ini dan memberinya pelajaran ala Mark Widya.

Aku sengaja berputar-putar di dekat persimpangan jalan raya sambil sesekali melirik ke belakang. Seperti yang kuduga, si Stalker Payah masih membuntuti. Bagaimana aku tahu itu dia? Karena dia sering membawa mobil VW jelek yang begitu mencolok.

Dia pikir aku tak sadar? Think again, loser.

Pada akhirnya, aku mulai mempercepat laju motorku. Si Stalker Payah pun juga memajukan laju mobil jeleknya. Hebat juga. Sepertinya aku menemukan lawan yang pas denganku.

Bisa dibilang, setelah itu aku dan si Stalker Payah mulai mengadakan lomba kejar-kejaran seperti di serial Fast and Furious yang tersohor itu. Jujur saja, aku sungguh-sungguh menikmati momen tersebut. Maksudku, hei! Sudah lama aku belum diadu seperti ini. Setiap hari aku selalu saja bertemu dengan preman-preman tolol yang bertubuh payah dan bermuka badak yang masih memakai pisau sebagai ancaman padaku. Begitu aku memakai jurus berkelahiku, mereka malah kabur ketakutan. So stupid.

Kalau dipikir-pikir, sepertinya Stalker Payah tidak begitu payah-payah amat.

Sepertinya aku akan menikmati momen ini... Oh sialan! Ada segerombolan preman di depan!!!

Dengan panik, kuinjak rem motor secara langsung. Karena kejadian itu terjadi cepat, aku terjatuh ke jalan sambil berguling. Tak ditanggung-tanggung oleh takdir, motorku malah ikut berguling-guling, menebarkan banyak mesin-mesin yang baru kuganti dengan uang tabunganku selama 5 bulan. (Sialan! Padahal 5 bulan itu bukan waktu yang cepat.)

Semua anggota tubuhku terasa sakit. Tapi untungnya kepalaku oke-oke saja berkat memakai helm yang kubeli berkat saran Neng.

Sambil berusaha bangkit, aku menyadari bahwa aku sudah dikelilingi oleh preman-preman tadi. Mereka pasti sengaja melakukan tadi untuk menjatuhkanku.

"Mark Widya," ujar salah satu pria berbadan gemuk namun tinggi. "Lo benar-benar suka membuat masalah bagi preman-preman."

Ia memiliki banyak tato di kedua lengan. Aku mengenal salah satu tato bergambar gagak yang mencengkeram pisau di tangan kirinya. Itu adalah tato untuk Blade Crow, salah satu mafia preman di daerah Citra Pematra yang dikenal dengan reputasi buruk dalam tindakan kejahatan atas. Dulu aku pernah menangkap anak buah mereka yang nyaris mencuri motor tercintaku (yang sudah rusak gegara mereka juga.) Ia juga memiliki tato yang sama dengan si pria ini.

Malah, aku yakin betul bahwa gambar tato itu dimiliki oleh semua preman di sini.

"Wah, wah, wah!" sahutku senang. "Lihat siapa di sini! Grio si muka terjelek yang pernah kulihat sepanjang sejarah! Kenapa orang kayak lo muncul di sini?"

Grio meludah. "Seperti biasa, ternyata lo masih sama keparatnya."

Dengan cepat, ia memberi komando bagi anak-anak buahnya untuk menyerang. Sebelumnya, aku memakai earphone di kedua telinga dan menyalakan lagu Saturday Night's Alright for Fighting oleh Elton John.

Seketika, aku mendengar irama high up yang membuatku bersemangat berkelahi.

It's getting late have you seen my mates
Ma tell me when the boys get here
It's seven o'clock and I want to rock
Want to get a belly full of beer

My old man's drunker than a barrel full of monkeys
And my old lady she don't care
My sister looks cute in her braces and boots
A handful of grease in her hair

"Don't give us none of your aggravation. We had it with your discipline," nyanyiku sambil mulai menendang paha si Pesek, memukul hidung si Buncil, dan memberi jurus ninja Naruto pada si Lamban. Ketiganya langsung jatuh lunglai. Payah.

Si Kurus Tulang mulai mengarahkan pisau kusut kepadaku dan berlari. Dengan enteng aku mengambil pisau tadi, melemparnya ke langit, dan memberikan tendangan paha ke leher belakang si Kurus Tulang. Tiga suara besar terdengar dari belakang. Aku melihat si Topi Merah, si Banyak Gelang, dan si Pemakai Jins Rusak berlari bersamaan untuk menjatuhkanku. Saat mereka nyaris tiba, aku langsung berbungkuk dan mengeluarkan senjata yang kebetulan kubawa: kunci inggris. Aku mulai mengayunkan tangan kiriku pada ketiganya. Si Topi Merah menjerit kesakitan begitu ujung kunci inggris mengenai alisnya sementara si Pemakai Jins Rusak dan si Banyak Gelang mengalami luka lebam dan beberapa luka berdarah. Tidak begitu besar namun cukup menyakitkan.

Aku melihat lagi pada kerumunan preman. Sudah nyaris setengah kubasmi. Tak masalah, aku bisa menangani mereka semua.

"Ayo! Kenapa nggak lawan lagi?! Pada takut?!" tanyaku lantang.

Provokasiku cukup bekerja. Empat orang berlari mengejarku. Aku mulai memukul si Letoy dan si Gundul melalui kunci inggris yang sudah dipenuhi darah sementara kedua orang tadi kuberi tendangan ala Bruce Lee bercampur Jackie Chan yang sering kutonton semasa kecil.

Sebuah pisau kecil menancap bahu kiriku. Aku meringis kesakitan dan memegang hidung si penyerang itu kearah kawannya di seberang, mengakibatkan keduanya jatuh ke got yang penuh lumpur dan hal-hal menjijikan lainnya. Tanpa berpikir, kulepaskan pisau itu dan kembali memberi tendangan selangkaan pada si Keriting.

Selama beberapa menit kemudian, kegiatanku kurang lebih sama saja. Memukul, menendang, melempar, mengayunkan kunci inggris, dan sebagainya. Dan lama kelamaan, tubuhku mengalami kelelahan seiring berkurangnya preman-preman yang kulawan, menyisahkan Grio sendiri.

"Kenapa lo diam? Kenapa lo nggak nyerang gue?" tanyaku heran.

Grio mengangkat bahu. "Sejujurnya, klien gue meminta gue untuk nggak bunuh lo. Gue cuma ngasih peringatan saja."

"Dengan membiarkan anak buah lo kena luka? Lo gila."

"Intinya adalah, urusan kita belum selesai. Tapi bukan berarti kita nggak akan berhadapan lagi, Mark Widya."

Jleb!

Huh?

Tiba-tiba, aku merasakan sebuah benda dingin menancap pinggangku. Ternyata salah satu anak buah Grio masih bisa berdiri dan menancapkan sebilah pisau padaku. Berengsek.

Dengan tenaga tersisa, aku memukul balik si berdebah tadi sambil menahan luka yang sudah menetaskan banyak darah. Tubuhku langsung ambruk ke tanah.

Aku tidak peduli lagi. Kukeluarkan ponselku dan menelepon ambulans, meminta pertolongan. Grio dan anak buahnya sudah pergi sebelum aku sadar. Dan sebelum aku pingsan, aku menelepon Neng.

"Halo?"

"Neng... Neng..."

Dan tepat setelah itu, aku kehilangan kesadaran.

Masalah Persimpangan [4]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang