The Greatest Moment

513 23 0
                                    

Ini udah hampir seminggu kami bertiga di rumah. Dan rasanya jadi kangen sama Mama dan Ayah. Aku sedang asik membaca novel baru yang kubeli dua hari yang lalu, sedangkan Kak Bryan sibuk dengan tugas kuliahnya. Dan coba tebak apa yang dilakukan Kak Elma, dia lagi minum susu hamil. Yeah, sebenernya aku excited banget mau punya ponakan.

“Kak, Kak Deo apa kabar?” tanyaku basa-basi memecah keheningan di ruangan ini.

“Baik kok. Tumben amat kamu nanyain kabar Kak Deo,” jawab Kak Elma setelah meneguk segelas susu coklatnya.

“Gue pergi dulu ya. Ada yang perlu dibeli diluar,” ujar Kak Bryan dengan datar seperti biasanya lalu menyambar jaket dan kunci motor dan berlari keluar rumah. terdengar suara motor lalu nggak terdengar lagi.

“Busett, itu Kak Bryan cepet banget ngilangnya,” ujarku terkesiap.

Kak Elma hanya diam, aku merasakan keanehan dengan diamnya kakak perempuanku itu. Jadi aku menoleh ke arahnya. Ada air di bawah badannya, ia pun tampak meringis.

“Kak, kenapa? Kakak kenapa?” ujarku panic.

“Kayaknya air ketuban kakak pecah deh,” ujar Kak Elma sambil meringis.

“haaah?” aku tetap panic dan kebingungan. Segera kusambar ponsel dan mencari nomor Kak Bryan. Kenapa pake pergi pula tuh orang…

Lama banget diangkatnya. Aduhh, gimana nih, kalo Kak Elma… berbagai pikiran aneh sudah terselubung dalam otakku. Semuanya. Yang buruk yang baik. Aku bingung. Sumpah bingung banget, mana ini udah malem. Yang bisa naik motor ya Cuma Kak Bryan. Emang aku dan Kak Elma sebagai anak perempuan nggak dibolehin bisa naik motor sama Ayah.

Tuuut-tuuut. Aku mendengar nada sambung.

“Halo,” sapa Kak Bryan datar.

“Kak. Lo dimana?! Kak Elma air ketubannya pecah!!” pekikku panic. Kak Bryan langsung menutup telpon, dan entah kenapa aku semakin cemas.

“Re, kamu masukin baju-baju kakak ke dalam tas ya. Nanti kalau Kak Bryan datang biar Kakak langsung ke rumah sakit aja,” pinta Kak Elma sambil meringis. Aku mengangguk menahan tangis saking bingungnya.

Aku segera berlari ke kamar Kak Elma dan membereskan semuanya.

Tin-tin. Terdengar suara klakson motor. Kak Elma dengan cepat berjalan keluar. Sedangkan aku membawa tas besar berisi perlengkapan Kak Elma, menutup pintu dan menyetop ojek di depan rumah. untunglah dapat!

***

Setelah sampai di rumah sakit, Kak Elma segera dilarikan ke ruang bersalin. Aku hampir menangis di lorong rumah sakit yang sepi.

“Dek, lo tenang ya!” pinta Kak Bryan.

“Gimana bisa tenang?! Coba kalo lo nggak keluar rumah! pasti KAk Elma bakal lebih cepet ditangani!” isakku pada KAk Bryan.

“Gue minta maaf,” gumam Kak Bryan.

“Kapan sih lo pernah peduli sama keluarga kita?! Sama Kak Elma, sama Mama, Ayah, atau sama gue?!” pekkikku sambil menangis.

“Re, ngomong apaan sih?” tanyanya sinis.

“Kak. Lo tau! Semua perhatian selalu ke elo semenjak Kak Jo meninggal! Semuanya! Semua orang pikir lo yang paling terpukul karena kembaran lo meninggal. Tapi dia juga kakak gue, gue juga terpukul. Dan kita harus bangkit kak. Hidup kita harus tetap jalan. Lo nggak bisa terus-terusan kalah sama masa lalu!” kataku membuat KAk Bryan benar-benar terdiam.

“Gue capek, Kak. Gue capek terus-terusan ngalah sama lo. Terus-terusan lo kacangin atau lo cuekin. Karena lo terlalu dingin. Lo terlalu datar sama setiap masalah!” lanjutku. Napasku berderu-deru tapi ada setitik perasaan lega yang amat sangat.

Setelah itu kami sama-sama terdiam. Aku duduk di ujung bangku di koridor sedangkan KAk Bryan berdiri di depan pintu. Aku merogoh kantongku dan meraih ponselku. Dengan cepat aku menelpon Ayah.

“Halo, Yah.” Sapaku parau.

“Kenapa, Re?” tanya Ayah lembut.

“Kak Elma… dia di rumah sakit sekarang. Tadi air ketubannya pecah,” lanjutku disambut ekspresi terkejut luar biasa oleh Ayah.

Setelah berbicara ini itu aku menutup telpon dan berusaha mencari nomor KAk Deo.

“Nggak usah nelpon Kak Deo. Gue udah telpon tadi,” kata Kak Bryan dingin. Aku nggak menyikapinya, tapi aku menggagalkan niat menelponku.

Aku melihat jam tangan, sekarang sudah jam satu malam. Dan harusnya ini hari Ulang Tahun Kak Bryan dan Kak Jo. Ini ulang tahunnya yang ke 19. Hanya saja, aku masih tertutupi rasa gengsi yang amat tinggi sehingga bilang Happy Birthday pun nggak sanggup.

***

Suster membuka pintu perlahan sambil tersenyum. Ia melihat kami berdua bergantian.

“Selamat ya, kalian punya ponakan cowok yang imut. Wajahnya mirip kamu,” ujar Suster itu dan pada kata-kata ‘mirip kamu’ ia melihat Kak Bryan. Benar-benar melihatnya. Aku meneteskan air mata yang sejak tadi memang benar-benar ku tahan, begitupula Kak Bryan. Ia menangis sambil memasuki ruangan bersalin.

Aku melihat seorang wanita sedang tersenyum sambil menangis dan ada seorang bayi mungil sedang tidur di gendongannya. Itu kakakku, dan anaknya yang baru lahir. Sumpah demi apapun. Aku terharu, benar-benar terharu. Aku nggak tau harus bilang apa lagi.

“Hei, adik-adikku,” ujar Kak Elma lembut sambil menangis. Aku dan Kak Bryan segera menghampirinya sambil menangis.

“Kak Selamat ya.” Ujarku.

“Iya selamat kak.” Tambah Kak Bryan.

“Kakak tau apa yang terjadi di luar sana,” gumam Kak Elma membuat kami berdua terkejut. “Ingat? Kita kakak-adik. Meskipun kakak sudah punya anak. Kakak masih punya hubungan batin dengan kalian berdua.”

Seketika Kak Bryan menangis sejadi-jadinya. “Aku yang buat hidup keluarga kita berubah, seandainya waktu itu aku nggak ambil layangan, pasti Jo nggak akan nolongin aku, dan Jo pasti masih ada sama kita disini sekarang,” isaknya membuatku ikut terisak-isak. Ternyata dia benar-benar terpukul.

Seketika itu juga, kami mendengar suara pintu dijeblakkan dan tampaklah wajah lelah Kak Deo. Masih dengan baju kerjanya, ia tersenyum dan menangis melihat istri dan anaknya. Ia sekarang sudah jadi seorang Ayah.

“Kak Deo… selamat ya,” ujarku dan Kak Bryan hampir berbarengan.  Kak Deo mengangguk lalu mencium puncak kepala KAk Elma dengan lembut.

***

Sudah pukul tiga pagi, dan aku masih belum berani bilang selamat ulang tahun pada kakakku.

“Liat deh, wajahnya mirip sama Bryan.” Ujar Kak Deo memecah keheningan. Aku teringat kata Suster sekitar beberapa jam yang lalu. Hal itu membuatku langsung melihat kea rah bayi mungil yang baru lair ke dunia itu.

“Dia bukan mirip Kak Bryan. Dia mirip…” omonganku terpotong.

“Dia mirip Joseph. Dia mirip Jo.” Potong Kak Bryan.

“Kak, selamat ulang tahun, ya.” Gumamku sambil meneteskan air mata lalu memeluk kakakku itu. “Kak, aku minta maaf, tadi sudah berlebihan sama kakak.”

“Kakak juga, Re. Kakak juga minta maaf sama semua hal yang kakak lakuin yang pernah bikin kamu kecewa,” balas Kak Bryan.

“Bang, gimana kalau anak kita namanya Joseph?” tanya Kak Elma pada Kak Deo. Kak Deo tersenyum sumringah menandakan ia setuju.

Inilah dia, Joseph, keponakan baruku yang emang mengingatkan kami pada almarhum kakakku. Wajahnya mirip sekali. Seperti Kak Jo yang emang turun lagi ke dunia.

Childhood ZoneTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang