The Past ; 2

2.8K 504 6
                                    

Kalau kalian mungkin ada yang bingung kenapa chapternya ada second,third,fourth/2,3,4 itu karena chapternya terlalu panjang makanya kupotong sekitar 1200-1800 words.Terima kasih bagi yang masih baca sini 💞


   🔹🔹🔹

"aku berharap tidak terlambat. Tapi kecelakaan dijalan raya membuat kemacetan panjang dan—"

"aku mengerti."

Ketel tua berwarna coklat yang luruh termakan usia itu kembali menjadi saksi kebisuan Jungkook ditengah riuh suasana makan siang yang padat. Mengambil tempat dimana pertama kali mereka bertemu Jungkook menungguinya dalam diam. Perlahan mulai berpikir sebenar atau sesalah apakah keputusannya kali ini.

"kookie, jangan marah"

Nada rendah tu meluruhkan banyak hal. Tapi tanpa itu, Jungkook tetap bisa untuk tidak marah. Menatap Jimin saja sudah membuat tungkai lututnya bertransformasi menjadi agar-agar. Namun Jungkook memilih diam. Ini pertemuan kedua mereka, dalam sebuah janji manis yang Jimin pinta minggu lalu.

" kau baik-baik saja?" Jimin kemudian menunduk setelah membuka sarung tangan coklat dan coat miliknya. Menyampirkannya pada kursi disamping dan kembali terfokus pada Jungkook. "katakan sesuatu, kookie~" pintanya hangat.

Jemari Jimin menjalar tanpa aba-aba menyentuh pipi kiri Jungkook, dan semua terjadi dengan cepat. Dentuman kecil itu menyayat ujung hati Jungkook dengan perih. Jimin menyentuhnya. Menganngkat wajah Jungkook untuk menghentikan aksi apatisnya yang terus menunduk lalu tersenyum tipis. "aku ingin menemui gadis kecilku yang periang dan tak tau malu. Namun jika ini menjadikan bebanmu terasa lebih berat, maka sebaiknya kita memang tak perlu lagi bertemu"

Kata-kata singkat yang kemudian membuat Jungkook sadar jika ia telah berbuat suatu hal yang konyol. Bukan salah Jimin sepenuhnya mereka bisa berada disana. Persetujuan dari Jungkook  jugalah yang membuat takdir terus tertawa dusta diantara mereka. jika memang tidak menginginkannya, seharusnya Jungkook menolak permintaan lelaki itu tempo hari.

Tapi Jungkook memang egois. Menilik masa lalu, tanpa pertimbangan berlapis ia menerima tawaran Jimin dengan mudah. Masa lalu mereka memang benar-benar membahagiakan. Karena alasan itulah, mungkin, hanya mungkin, Jungkook tengah berusaha membangkitkan kebahagiaan itu kembali. Meski hanya dalam kukungan dosa, ia ingin mencoba. Sekali ini saja.

Jimin tersenyum saat Jungkook mengulas lingkar tipis pada bibirnya. Senyuman polos ala remaja tanggung yang dulu masih ada hingga saat terakhir ia pergi. Jimin meringis, tak sempat memikirkan sesakit apa Jungkook saat itu. Tapi demi suatu hal yang tak dapat ia hindari, Jimin memang benar-benar harus pergi.

"aku sudah memesankanmu milkshake vanilla dan waffle panggang. Kau bisa memesan yang lainnya jika kau mau"

Bahasa rendah dengan ego yang kemudian tertekan dalam membuat perbincangan mereka terkesan hangat. Romansa picisan tujuh tahun yang lalu bukan lagi sekedar bayangan ketika Jimin mengulas senyum puasnya.

Jungkook masih ingat. Dan itu luar biasa membuatnya bangga.

Lelaki itu menggeleng lalu menatap Jungkook sendu. Merindukan wajah Jungkook adalah hal tersulit sekaligus menyenangkan yang hadir dalam kesehariannya selama tujuh tahun ini.

"aku senang kau masih mengingatnya dengan jelas. Tujuh tahun kurasa cukup untuk mengikis memorimu, kookie. Tapi-"

"tapi terkikis bukan berarti hilang,, oppa~"

『Unexpected 』v.kTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang