13. Janji

11.7K 1.5K 197
                                    

Ogif menyesal. Sungguh menyesal.

“Than?” dia mengangkat kepala Than pelan.

“Ogif…uhuk..huk..guk..guk..”  Than meraba anu-nya sembari terbatuk lemah—yang tak lama kemudian lebih mirip anjing menggonggong.

“Ngapain kamu?!” mendapati pemandangan tak senonoh secara terang-terangan, reflek Ogif menepuk tangan Than. Mencegahnya bertindak lebih jauh.

“Gue lagi nyari dompet,” jawab Than. “Eh, ternyata ketinggalan.”

Ogif menepuk jidat. Makin menyesal. Iya, penyesalan pertamanya adalah saat Than diharuskan opname oleh dokter. Dan sekarang penyesalan keduanya, dia (sepertinya) harus membantu mengambilkan dompet Than. Merepotkan.

“Dimana dompet lo?” tanya Ogif, lemah.

“Gue sembunyikan di sempak biru, tumpukan ke-3 dari bawah. Lemari asrama.”

Ogif shock. “Sempak?” ulangnya.

“Iya, s-e-m-p-a-k.”

Seketika itu pula Ogif melepas kepala Than. “Jadi, lo nyimpen duit di sempak? Jorok banget!”

“Cara terbaik mengelabui begal.” Than menggembungkan pipi kesal, “cepetan ambil uang gue.”

Hah! Cara terbaik darimananya? Diperkosa baru tau rasa lo.”

“Tinggal laporin polisi kan selesai.”

Ogif mengangkat tangan menyerah, “Iya deh, terserah. Dunia mental lo emang sulit.” Dia tau sampai matahari terbit dari barat pun, dia tidak akan pernah mengerti omongan rumit Than.

Bye, Ogif.” Bosan diceramahi, Than meremas burung Ogif kemudian mendorongnya menjauh. “Jangan lama-lama ya,” lanjutnya.

Seumur-umur baru sekarang 'punya'nya dipegang orang lain, Ogif menjauh sambil menutup mulut—mirip perawan yang baru digodain. “Kenapa lo lakuin ini ke gue Than? Kenapaaa????” batinnya, diam-diam menangis pilu dalam hati.

###

Hp Than yang terbaring manis dalam lemari asrama bergetar pelan. Ogif melirik nama si Pemanggil. Ayah Than.

Dia pura-pura gak melihat, terlalu takut untuk menekan telpon hijau.

Sementara itu, Dias mengerang frustasi. Seberapa banyak pun dia mencoba menghubungi anaknya, panggilan itu selalu berakhir dengan suara operator.

“Dijawab?” tanya Galang, menatapnya penuh harap.

Dias menggeleng lemah. “Kita udah keterlaluan.”

“Gue setuju.” Balas Galang, menengadahkan kepala menatap lampu ruang keluarga. Dia tau emosinya kadang sangat mengerikan untuk ukuran orangtua. “Ini pertama kalinya gue paham omongannya.”

Hah?” Dias mengalihkan pandangannya menatap Galang, merasa tersinggung. “Jadi, secara gak langsung lo ngatain anak gue idiot gitu?!”

“Nggak, bukan gitu. Meskipun gak sepenuhnya salah sih.” Galang menggeleng kuat. ”Awalnya gue pikir Than cuma bisa ngelawak. Nyatanya, dia ngelakuin itu buat mengelabuhi kita. Dia udah banyak terluka. Gue jadi merasa jahat sama anak gue sendiri. Bapak macam apa gue, hadeeh.” Keluh Galang, menahan air mata di pelupuk matanya.

“Lo emang Bapak gila.” Dias menepuk paha Galang pelan, “gue kesal sama emosi lo. Gak bisa ditahan dikit apa?” tanyanya.

“Maaf..” Galang menatap Dias. “Gue salah,” ucapnya sembari tersenyum lemah.

Gay Code 2Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang